Jika ditanya siapa perempuan di Kabupaten Morowali dengan semangat perjuangan Kartini yang begitu gigih, maka jawabannya bisa disematkan pada sosok Nursiah Hafid. Boleh saja beliau seorang Pegawai Sipil Negara (PNS) yang memang memiliki kewajiban untuk mengabdi dan berkontribusi pada masyarakat, namun gebrakan yang dilakukannya dalam rangka pembangunan daerah terkhusus pada pemajuan kebudayaan Morowali sampai saat ini masih sulit ditandingi.
Ibu Cia, begitulah orang-orang di lingkungan kantor memanggilnya. Terhitung sejak Februari 2021, beliau diamanatkan oleh Bupati Morowali untuk memegang jabatan sebagai Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Daerah. Dalam setahun terakhir, sepak terjang beliau dalam pengembangan budaya dan sejarah Tobungku mengundang banyak decak kagum sebab bidang kebudayaan selama ini sering kali dianggap sebagai sesuatu yang norak dan kampungan.
“Gesit, lincah, makanca, tidak kohili, inovatif” begitulah orang-orang menggambarkan sosok Ibu Cia. Selama menjalankan tugasnya sebagai Kabid Kebudayaan, Ibu Cia telah melakukan begitu banyak terobosan. Di awal pelantikannya, Ibu Cia langsung membentuk tim penyusun dokumen PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) dan kemudian menggelar acara serah terima dokumen PPKD kepada Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Indonesia. Walaupun hanya diberikan waktu dua bulan, namun Ibu Cia bersama tim mampu membuat acara tersebut meriah dengan turut menggandeng generasi muda dan generasi tua untuk sama-sama terlibat menyukseskan acara. Kolaborasi yang begitu apik.
Acara yang digelar di Taman Kota Fonuasingko tersebut juga dirangkaikan dengan pementasan cerita rakyat Mateantina dan memantik ribuan pasang mata untuk hadir menyaksikan. Kebudayaan tradisional yang mulai menghilang dan kemudian ditampilkan kembali pada acara tersebut membuat orang-orang kembali bernostalgia dan mengenang bahwa Bungku saat ini masih memegang teguh nilai-nilai keluhuran. Salah satunya adalah mehule (gasing) yang saat ini menjadi trend baru di kalangan masyarakat Bungku. Generasi tua maupun muda, tak peduli perempuan maupun laki-laki sangat antusias untuk kembali memainkan permainan tradisional tersebut. Bahkan hampir di setiap desa di beberapa kecamatan di Morowali saat ini menjadikan mehule sebagai pengisi waktu di kala senggang. Setiap sore dan malam, mereka akan berkumpul pada areal terbuka untuk bertanding hule.
Penyusunan Dokumen PPKD
Dokumen PPKD bukan dokumen biasa sebab untuk menyusunnya dibutuhkan tim khusus yang memang memahami seluk-beluk kebudayaan Morowali. Sejak diterbitkannya UU. No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Permendikbud No.45 Tahun 2018, maka semangat baru tercipta dalam upaya perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan nasional dari, oleh, dan untuk daerah. Namun seperti yang telah lalu, PPKD Morowali tak kunjung terealisasi. Memang untuk urusan satu ini, bidang kebudayaan selalu menjadi hal yang disepelekan dan dianggap tidak penting untuk dikembangkan. Hingga kemudian Srikandi itu datang dan menghancurkan sistem yang turun-temurun diemban.
Namun tak semudah itu untuk membuat perubahan. Kendala besar dihadapi oleh tim penyusun sebab sumber untuk mendapatkan sejarah dan kebudayaan Tobungku sangat nihil. Tetua-tetua Tobungku yang diharapkan menjadi narasumber sudah banyak yang mangkat. Beruntung, dokumen tertulis yang lengkap dimiliki oleh salah satu putra daerah yang saat ini bermukim di kota Manado sehingga Ibu Cia harus terbang ke kota tersebut untuk mendapatkannya.
Musyawarah Adat Tobungku
Selang empat bulan kemudian, Ibu Cia melakukan gebrakan besar dengan menyelenggarakan musyawarah Adat Tobungku untuk pertama kalinya. Berbekal kemampuan persuasifnya, beliau meyakinkan semua pihak untuk ikut serta. Dewan Adat tersebut dapat diisi oleh berbagai macam latar belakang maupun usia baik akademisi, tetua adat, tokoh agama, kalangan bangsawan Bungku, tokoh masyarakat, dan para stakeholder terkait. Acara tersebut sukses besar sebab setiap kecamatan mengirimkan delegasinya untuk berembuk dan membahas arah kebudayaan Tobungku ke depan. Saat ini, setiap kecamatan telah membentuk Dewan Adat Tobungkunya masing-masing.
FYI, Dewan Adat Tobungku dan Dewan Adat Kerajaan adalah dua hal yang berbeda. Dewan Adat Kerajaan merupakan sebuah lembaga adat eks Kerajaan Bungku yang di dalamnya diisi oleh turunan raja-raja Bungku, sao sio sangadji, dan sangaji hopulu kaorua. Sedangkan Dewan Adat Tobungku disii oleh berbagi kalangan, tak terbatas pada turunan bangsawan saja.
Desa Budaya
Saat berlangsungnya musyawarah adat Tobungku, fokus Ibu Cia juga sedang terbagi karena harus mengurus penetapan Desa Budaya. Melalui program Pemajuan Kebudayaan Desa yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dua desa di Kabupaten Morowali yaitu desa Topogaro di Kec. Bungku Barat dan desa Mbokita di Kec. Menui Kepulauan dipilih sebagai desa budaya percontohan.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, rupanya kedua desa tersebut memiliki potensi budaya berupa situs-situs arkeologis yang belum dimanfaatkan dan dikembangkan oleh stakeholder terkait. Sehingga dipilih dua orang Pembina Budaya Desa atau disebut Daya Desa yang ditunjuk langsung oleh Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Morowali untuk mengembangkan potensi budaya di wilayah tersebut.
Batik Tobungku
Tak berhenti sampai di situ, Ibu Cia kemudian menggarap Batik Tobungku. Bersama dua anak daerah yang saat ini bermukim di Yogyakarta dan Manado, mereka sama-sama menyusun Batik Tobungku yang saat ini telah memiliki HAKI (Hak Atas Kekayaan Inetelektual). Sebelumnya, wacana peresmian Batik Tobungku terlebih dahulu dirapatkan di Dewan Adat Tobungku sebelum kemudian Pemda Morowali mendaftarkannya pada Kemenkumham. Penyerahan hak cipta Batik Tobungku kemudian dilakukan bertepatan pada perayaan HUT Morowali yang digelar pada Desember tahun lalu. Saat ini, penggunaan Batik Tobungku telah diatur melalui Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Bupati Morowali dengan Nomor 118.5/0147/Disdikda/1/2022.
Tim Ahli Cagar Budaya
Semangat membangun dan mengembangkan kebudayaan di Morowali ternyata masih membara. Pada tahun ini tepatnya awal Februali lalu, Ibu Cia membentuk TACB (Tim Ahli Cagar Budaya) yang berjumlah delapan orang dengan komposisi 1 orang dari Gorontalo, 2 orang dari Manado, 1 orang dari Makassar, 1 orang dari Yogyakarta, dan 3 orang dari Morowali. Untuk mendapatkan sertifikat TACB, mereka diharuskan mengikuti ujian sertifikasi di Jakarta selama 3 hari. Beruntung, mereka berhasil lulus asesmen dan dengan sigap Bupati Morowali langsung membuat Surat Keputusan (SK) agar tim tersebut dapat segera menunaikan tanggung jawabnya.
Di Sulawesi Tengah, Kabupaten Morowali merupakan daerah kedua yang memiliki TACB setelah kota Palu. Keputusan untuk membentuk TACB pada dasarnya menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan setiap daerah sesuai instruksi dari UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menyatakan bahwa tiap daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota wajib membentuk TACB. Pembentukan TACB tersebut sangat penting dalam upaya mendorong percepatan penetapan Cagar Budaya sebagai warisan budaya yang berada di suatu wilayah.
Mereka bertugas untuk mengidentifikasi dan mengkaji temuan ODCB (Objek yang Diduga Cagar Budaya) apakah masuk dalam kriteria benda Cagar Budaya atau tidak. Pengkajian yang dilakukan berupa identifikasi dan klasifikasi dari setiap ODCB yang telah didaftarkan. Hasil kaijan berupa rekomendasi tersebut kemudian diserahkan ke Bupati untuk ditindak lanjuti lebih lanjut.
Bimtek TACB
Tak hanya TACB saja, Ibu Cia juga membentuk tim pendaftar ODCB (Objek yang Diduga Cagar Budaya). Jika TACB bertugas untuk mengkaji kelayakan dari hasil pendaftaran ODCB untuk kemudian memberi rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya, maka tim pendaftaran Cagar Budaya berfungsi sebagai tim pendukung atau unit pelaksana teknis TACB.
Pada bulan puasa saat terik matahari sejajar dengan kepala, rombongan tim pendaftar didampingi 3 orang pelatih Bimtek dari Unhas, UNM, dan BPNB Sulawesi Utara melakukan observasi di Situs Masjid Tua Bungku dan Situs Gua Vavompogaro. Mereka bertugas mengumpulkan dan menyiapkan data lapangan berupa informasi objek yang akan didaftarkan sebagai Cagar Budaya seperti kondisi terkini objek, tata letak, ukuran, bahan pembuat, data pemilik/pengelola, sejarah, dan nilai penting objek bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan.
Festival Montunu Hulu
Berselang empat bulan setelah terbitnya HAKI atas Batik Tobungku, Pemda Morowali melalui Dinas Pendidikan Daerah Morowali kembali melakukan acara serah terima HAKI atas objek kebudayaan Tobungku lainnya yaitu mehule (gasing), luminda, dan ndengu-ndengu. Penyerahan HAKI dilakukan saat acara Festival Montunu Hulu digelar di Lapangan Sangiang Kinambuka pada Rabu (27/4).
Dalam acara serah terima tersebut, Surat Pencatatan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal Ekspresi Budaya Tradisional atas tari luminda tercatat dengan No. EBT72202200062, mehule dengan No. EBT72202200063, dan ndengu-ndengu dengan No. EBT72202200066. Ibu Cia mengungkapkan bahwa kebudayaan Tobungku harus mendapatkan perlindungan hukum untuk menghindari kasus saling klaim di kemudian hari.
Loka Karya Pemajuan Kebudayaan Desa
Tak hanya itu, pada bulan puasa lalu, Ibu Cia juga menggelar Loka Karya Pemajuan Kebudayaan Desa dengan mengundang seluruh kepala desa, karang taruna, dan sanggar di Kabupaten Morowali sebagai peserta. Loka karya tersebut diharapkan dapat diimplementasikan dalam upaya pemajuan kebudayaan di desa melalui program pembangunan desa. Pada acara tersebut, turut hadir pemateri dari Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Dirjen Kebudayan Kemendikbud, perwakilan dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) wilayah Sulutenggo.
Buku Kumpulan Cerita Rakyat Tobungku
Last, Ibu Cia juga menerbitkan buku kumpulan cerita rakyat Tobungku. Sebanyak 200 eksamplar buku akan diedarkan ke sekolah-sekolah di Kabupaten Morowali. Buku tersebut beliau dapatkan melalui kerjasama dengan salah satu putri daerah yang saat ini bermukim di kota Yogyakarta. Ibu Cia menuturkan bahwa etnis Bungku di Kabupaten Morowali memiliki beberapa carita atau cerita terkait dongeng sebagai bentuk pembelajaran bagi anak-anak. Para orangtua etnis Bungku berkeyakinan bahwa setiap carita memiliki pesan moral dan nilai-nilai keluhuran serta budi pekerti yang bersifat mendidik bagi tumbuh-kembang anak. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah strategis dan terarah untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan Kabupaten Morowali agar tetap lestari di masa mendatang, salah satunya dengan menerbitkan buku cerita sebagai media pembelajaran bagi anak-anak.
Well, sebagai seorang PNS, gebrakan besar beliau acap kali dianggap hanya sebagai alibi untuk mengambil hati pemimpin agar ditempatkan pada jabatan yang lebih mentereng. Namun bagi mereka yang pernah berkolaborasi dengan beliau pasti akan setuju bahwa beliau memiliki hati yang tulus untuk berbuat pada daerah. Beliau sama sekali tidak memiliki basic kebudayaan, namun kemauan, kerja keras, dan semangat untuk mengembangkan kebudayaan Tobungku menjadi nilai plus yang dimiliki olehnya. Selain itu, kapabilitas kepemimpinan beliau walaupun seorang perempuan tak bisa dipandang remeh sebab beliau bisa mengayomi semua kalangan. Dan sosok seperti inilah yang dibutuhkan di Morowali saat ini, ikhlas membangun untuk kemaslahatan bukan hanya bija dan gila hormat, pun jabatan tanpa memiliki andil ke masyarakat.
Discussion about this post