Seperti tak berkaca pada bangunan-bangunan sebelumnya yang terkesan asal bangun tanpa memperhatikan identitas Morowali dan tata ruang, Pemda Morowali mengulanginya lagi di Taman Kota Fonuasingko. Alih-alih mengubah taman menjadi ikon baru, revitalisasi justru memperburuk wajah Taman Kota Fanuasingko.
Beberapa pelaku usaha yang pernah berjualan di Taman Kota sebelum direvitalisasi mengaku tidak akan pindah ke bangunan baru. Sebut saja namanya Sau (untuk alasan keamanan, namanya tak ingin disebutkan), kepada Kamputo.com ia mengatakan akan mencari lokasi baru dan merintis usahanya dari awal karena bangunan baru yang dibuat Pemda dianggap tidak layak untuk berjualan.
“Bangunan barunya jelek, mana dempet-dempetan. Orang mau datang nongkrong tapi bingung mau duduk di mana. Jadi mending pindah di lokasi yang nyaman”, ucapnya saat wawancara, Minggu (04/9/2022).
Senada dengan apa yang diucapkan Sau, Ine (juga nama samaran) pada awalnya merasa cukup antusias saat mendengar wacana pembangunan taman yang nantinya akan lebih tertata dan modern, tapi ia mengurungkan niat untuk kembali ke lokasi awal saat melihat hasil dari bangunan tersebut.
“Bangunannya kecil. Per orang hanya dikasih ruangan sebesar 1×1 meter, mana pas”, ujarnya ketus.
Pembangunan Taman Kota Fonuasingko yang digadang-gadang akan menjadi ikon wisata baru di Morowali dimulai pada Juni 2021. Pembangunannya menghabiskan APBD sebesar Rp 3.155.957.000, dengan PT Tryputra Morindo Indonesia selaku pihak kontraktor yang dipercaya menyelesaikan pembangunan taman kota dalam waktu 5 bulan.
Pembangunan Taman Kota Fonuasingko harus merelokasi sejumlah pelaku usaha yang sebelumnya berdagang di sana. Pelaku usaha dipindahkan di depan kantor Dinas PUPR (Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang).
Wacana pemindahan tersebut menuai kontra dari berbagai pihak. Para pelaku usaha ini menilai jika lokasi baru yang dipilih oleh Pemda tidak strategis baik secara visibilitas, lingkungan, maupun fasilitas. Sedangkan masyarakat mau tidak mau harus beradaptasi dengan lokasi baru yang boleh dikata sangat jauh dari nuansa ruang publik seperti yang ada di taman kota saat itu.
Namun Pemda Morowali melalui Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan memaksa para pelaku usaha pindah dengan dalih bahwa taman kota baru nantinya akan menjadi wajah baru Morowali. Pemda beranggapan booth-booth container yang ada saat itu terkesan kumuh dan tidak enak dipandang mata.
Proyek pembangunan Taman Kota Fonuasingko kemudian dinyatakan selesai pada Oktober 2021, atau hampir setahun yang lalu.
Sayangnya, ekspektasi sangat jauh dari realita. Pembangunan taman kota baru nyatanya sangat jauh dari apa yang diharapkan. Taman Kota Fonuasingko bukannya disulap menjadi area publik yang nyaman baik bagi masyarakat maupun para pelaku usaha, malah berubah menjadi bangunan yang jauh dari kata estetik.
Pembangunan taman kota baru memang sudah salah kaprah sejak awal. Jika mengacu pada grand desain pembangunan Taman Kota Fonuasingko, siapapun yang melihatnya pasti akan punya pemikiran yang sama. Bangunan yang dibuat sangat tidak ideal untuk memenuhi kebutuhan para pelaku usaha dan masyarakat.
Seorang konsultan perencanaan yang tidak ingin disebutkan namanya menjelaskan bahwa Pemda Morowali melalui Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan telah keliru dalam menginterperetasikan arsitektur perilaku dan kebutuhan ruang hidup masyarakat Morowali. Ia menilai jika desain bangunan baru mengikuti kondisi Covid yang saat itu membatasi interaksi masyarakat di area terbuka.
“Mungkin yang desain berpikir covid ini akan selamanya, padahal kan tidak. Desain arsitektur itu dua kemungkinannya, boleh desain mengubah perilaku seseorang dan boleh mengikuti atau menyesuaikan arsitektur kita. Seharusnya di sini desain mengikuti pola ruang hidup terutama soal UMKM dan masyarakat. Di sini malah terbalik. Mereka buat desain baru yang coba menggiring pola hidup dan kebiasaan masyarakat yang sudah lama terbentuk. Walhasil, mereka tidak terima”, jawabnya saat wawancara, Senin (05/9/2022).
Sejak awal pembangunan hingga bangunan taman kota selesai, banyak permasalahan yang mengirinya. Mulai dari info pemindahan yang hanya memberikan waktu sehari kepada para pelaku usaha untuk beres-beres pindah, listrik di lokasi baru yang sering kali mati, hingga hasil bangunan warna-warni yang menyilaukan mata. Sangat tidak estetik. Kondisi ini membuat para pelaku urung untuk pindah nantinya kendati telah diresmikan oleh Pemda.
Hasil pembangunan Taman Kota Fonuasingko tentu sangat disayangkan. Sejak dulu, Morowali kekurangan ruang publik, sehingga ketika taman kota yang awalnya hanya merupakan padang ilalang tak terurus berubah menjadi area publik pada 2020 lalu, masyarakat Morowali cukup antusias untuk berkunjung kesana.
Pandemi yang saat itu masih berkecamuk tak menyulutkan animo masyarakat untuk mendatangi tempat ini. Hampir setiap hari, masyarakat dari segala penjuru datang berkunjung. Bahkan sering kali para pengunjung ini tidak kebagian tempat ketika weekend atau saat gelaran acara tertentu yang mengambil lokasi di taman. Tak pelak, kondisi ini turut menggerakan perputaran ekonomi di Morowali yang saat itu cukup lesu akibat pembatasan gerak masyarakat di area publik.
Baik Pemda dan komunitas pun tidak kesusahan lagi untuk mencari audiens. Bahkan jika menggelar acara yang mengambil lokasi di taman kota malah akan membuat audiens tumpah ruah. Sebagai satu-satunya area publik di Morowali yang memberikan ruang pada masyarakat untuk menikmati acara pun kulineran, taman kota saat itu menjadi idaman untuk melepas penat dan bersantai ria.
Taman Kota Fonuasingko awalnya tumbuh tanpa perencanaan. Segalanya berjalan seperti gerakan akar rumput, lahir dari kebiasaan masyarakat Morowali. Mereka yang datang bisa duduk, bercengkrama, kulineran, dan yang terpenting adalah tata letak bangunan membuat masyarakat bisa berkumpul dalam satu area yang luas dan terintegrasi penuh. Dan hal seperti ini tidak akan ditemukan kembali pada bangunan baru karena model bangunannya kecil, dempet-dempatan, dan tidak memiliki area duduk. Dengan kata lain, struktur ruang yang dibuat sangat keliru.
Jika merujuk pada alasan Pemda yang sebenarnya lebih terkesan pada usaha mencari proyek, pembangunan taman kota baru sangat jauh dari apa yang diharapkan. Dan boleh dikata, Pemda menghancurkan ekonomi masyarakatnya sendiri. Sekarang para pelaku usaha kehilangan sumber pendapatannya dan juga lapangan pekerjaan. Dulu, para pelaku usaha bisa meraup untung belasan hingga puluhan juta dalam sebulan. Dan sekarang mereka hanya bisa mendapatkan 3-5 juta saja dalam sebulan. Miris.
Padahal dulunya Taman Kota Fonuasingko sangat ramai dikunjungi. Pun model dan tata letaknya hampir sama dengan Cafe Hanggar Talasalapang di kota Makassar. Perbedaannya hanya terletak pada booth-booth container yang dibuat lebih modern, namun tetap mempertahankan posisi booth yang berbentuk letter U. Kondisi booth yang berada di area luar dengan seluruh pengunjung yang terkonsentari di dalamnya membuat setiap pengunjung bisa menikmati hiburan dengan santai.
Bagi yang pernah berkunjung ke sana, pasti akan merasa de javu dengan kondisi Taman Kota Fonuasingko yang lama. Saya pribadi berkunjung ke sana pada Mei lalu. Sebagai tempat tongkrongan baru yang pengunjungnya selalu membludak, seorang teman menyarankan agar kami berangkat lebih awal. Dan benar saja, saat sampai tempat tersebut sudah tumpah ruah dengan pengunjung. Sayang, harapan agar Taman Kota Fonuasingko juga dibuat seperti Cafe Hanggar Talasalapang harus sirna. Apa yang bisa diharapkan dari bangunan-bangunan gagal di Taman Kota Fonuasingko tersebut?
Nongkrong tidak, berhantu iya.
Discussion about this post