“Kau orang Morowali, to?”. Kalimat semacam ini hampir tiap hari saya terima. Itu ketika saya terlibat dalam berbagai percakapan ringan bersama kawan sesama mahasiswa. Kejadian macam begini saya alami di awal-awal mulai menginjakkan telapak kaki sepatu dunia kampus atau masih sebagai mahasiswa baru.
Sejujurnya, saya awalnya masih bingung kenapa mereka begitu dengan mudahnya bisa menebak kalau saya ini berasal dari sebuah telatah yang berbatasan langsung dengan Sulawesi Tenggara, Morowali.
Sampai kemudian saya mendengar lanjutan kalimat penjelasnya: “Dapa tau dari kau pe logat (Aksen)”. Cehh. Cuma lantaran aksen? Warbiyasa.
Ya, itu alasannya. Terletak pada aksen saya saat sedang berbicara. Bukan karena saya memiliki pakaian serba nikel yang syarat dengan ciri khas sumber daya alam yang terdapat di Morowali saat ini. Sekali lagi, bukan karena itu. Semata-mata karena aksen. Teman-teman saya sudah bisa mengenal saya dengan gampang. Ternyata saya lebih dikenal karena daerah asal saya punya aksen (yang agaknya unik), ketimbang saya ditahu di mana saya berasal dari daerah yang punya nikel. Wih, pesan moral, niye!
Umumnya, masyarakat morowali memang dikenal dengan gaya berbicara atau aksen yang punya ciri khas tersendiri. Itu akan cepat ditemukan tatkala kata yang diucapkan mengandung huruf vokal E. Semisal: berapa, kenapa, mengapa, kemana dan sebangsa lainnya yang mengandung vokal E.
Saya misalkan pada pengucapan kata ‘berapa’. Kalau orang Morowali itu pada umumnya, kata berapa akan terdengar dengan vokal E yang lebih tebal, bErapa. Bukan terdengar ‘brapa’ seperti pengucapan kebanyakan orang. Vocal E akan terdengar lebih jelas. Pokoknya, kEntara sEkali dEpE E, bEtulan!
Tak pelak, aksen semacam ini kadang bikin orang Morowali jadi minder untuk terlibat percakapan dengan banyak orang. Ada perasaan kurang percaya diri yang timbul. Jujur saja, saya pun dulu di awal-awal kuliah sempat mengalami situasi seperti ini. Minder kalau mau bicara dengan kawan-kawan. Pasalnya, sudah pasti saya akan ditanggapi dengan tawa oleh kawan-kawan saya.
Sebagai orang kampung yang dalam diri saya masih terkandung perasaan malu-malu kambing, tentu saja ini situasi yang begitu tidak mengenakkan. Muka ini macam saya mau taruh di dalam saku celana saja.
Keadaan seperti itu terbilang lumayan lama mengendap dalam diri saya. Setiap kali pengin bicara, yang muncul pertama kali dalam kepala saya selalunya soal aksen saya yang pasti akan ditertawakan lagi oleh kawan-kawan saya. Begitu terus.
Kalaupun ada usaha untuk sedikit memanipulasi aksen, eh, mentok-mentoknya, tEtap kEntara e-nya. Cuma bikin diri saya jadi bulan-bulanan bahan candaan. Kan, jadinya sial kalau begitu.
Lambat laun saya baru mulai sadar. Bahwa memang mau bagaimanapun juga, karena saya orang Morowali, ya, biar diapain juga pasti aksen Morowali ini akan terus ada dan terus berlipat ganda. Mau diumpetin sampai ke dalam tenggorokan sekalipun, pasti orang-orang juga akan begitu mudah untuk mengetahui identitas saya. Pasti itu.
Seiring berjalannya waktu, dan saya juga tak kunjung berhasil bersandiwara menyembunyikan keaslian aksen yang sudah mendarah daging ini, dari situ saya mulai berpikir. Mengapa harus malu menunjukkan identitas? Bukankah aksen itu merupakan ciri khas budaya tersendiri yang dimiliki oleh setiap daerah? Setidaknya vocal E itu tidak bikin rusak lingkungan sekitar, kan?
Saya mulai mahfum kalau aksen adalah satu dari sekian banyaknya kekayaan yang dimiliki oleh setiap daerah, termasuk Morowali. Dan itu otomatis juga terwarisi ke masyarakatnya, misalnya aksen itu tadi.
Bukankah dari sekian banyaknya kekayaan sebuah daerah, kekayaan budayalah yang benar-benar milik kita seutuhnya? Saya ulangi, kekayaan kebudayaan. Kekayaan yang cara mempertahankannya hanya cukup dengan mengakui dan berbangga akan keberadaannya, kekayaan yang cara memperolehnya tidak harus dengan gontok-gontokan kekuatan modal materil apalagi perang tetangga, kekayaan yang karena dengannya kita memiliki identitas sebagai pewaris peradaban.
Saya tahu bahwa bukan cuma saya yang mengalami keminderan seperti yang ceritakan di awal tadi. Ada begitu banyak kawan sedaerah saya yang punya pengalaman seperti ini. Karena memang kenyataannya orang Morowali itu rata-rata aksennya begitu. Namun, sudah saatnya kita mengakui aksen yang cuma kita saja yang punya di daerah Sulawesi ini, bahkan nasional, lebih-lebih Interasional. Ya, to?
Ini hanya menyangkut persoalan mindset saja. Ketika kita mampu memperbaharui setiap pandangan kita menjadi selalu positif dalam memandang segala sesuatu, maka kita akan tampil bangga dengan apapun yang kita miliki. Begitu pula dengan aksen. Kita cuma perlu memberikan ruang pengakuaan atas keberadaannya. Setelahnya, sertakan aksen itu dalam setiap ungkapan kebanggaan kita. Kebanggaan bahwa saya beserta orang Morowali lainnya, punya vocal e yang tebal dan lain daripada yang lain.
Kita beda, dan itu adalah rahmat bagi daerah dan untuk kita orang Morowali. Bukan bEgitu, teha (saudara)?
Discussion about this post