Beberapa waktu lalu, saya bersama teman mengunjungi tiga situs peninggalan kerajaan Bungku (Tobungku) –salah satu kerajaan yang pernah berkuasa selama ratusan tahun di wilayah Selatan Morowali. Ketiga situs yang saya kunjungi adalah situs makam raja Bungku pertama, yaitu makam raja Peapua Lamboja yang terletak di Desa Lanona, Kecamatan Bungku Tengah. Yang kedua, Benteng Fafontofure yang terletak diantara desa Tudua dan desa Bahotobungku, Bungku Tengah. Dan yang terakhir adalah Masjid tua di Kelurahan Marsaoleh, Bungku Tengah
Untuk informasi saja, bahwa tidak ada motivasi khusus seperti mengisi waktu luang atau sekadar memanfaatkan waktu libur, apalagi karena dorongan proyek bernilai materil yang menjanjikan. Kunjungan tersebut murni karena rasa ingin tahu dan rasa penasaran seputar pengetahuan masa lalu, yang sampai saat ini belum ada layanan atau sarana yang dikelola secara serius oleh stakeholder terkait untuk menyediakan pengkajian dan penerangan yang komprehensif mengenai sejarah lokal di Morowali.
Langsung saja, berikut saya paparkan hasil kunjungan kami ditiga situs tersebut.
Makam Peapua Lamboja
Untuk menuju ke lokasi makam Peapua Lamboja, kami harus melewati jalanan setapak, berlumpur dan rumput yang setinggi lutut. Hal pertama yang dijumpai saat ke lokasi makam, yakni kawasan tambang batu pecah. Kebetulan daerah tersebut berada di dekat hilir sungai sehingga masih terlihat beberapa peralatan tambang dan bekas galian tambang batu pecah.
Selanjutnya kami harus menyusuri pagar kawat besi milik perusahaan kelapa sawit PT. Tamako Graha Krida (TGK) yang sudah lama beroperasi di sana. Makam bersejarah itu tepat berada di samping kawasan kebun kelapa sawit. Tidak ada patok atau sebuah tanda istimewa yang berada di kawasan makam. Sekelilingnya mulai ditumbuhi rumput liar yang seukuran badan orang dewasa.
Seperti diketahui, Peapua Lamboja merupakan raja pertama kerajaan Bungku. Beliau adalah keponakan dari Peapua Sangiang Kinambuka yang datang dari Matano. Peapua Lamboja berkuasa pada tahun 1672. Penguasa pertama kerajaan Bungku ini wafat dan dimakamkan di desa Lanona yang merupakan wilayah kerajaan bungku pertama (Mahid, 2012).
Di kawasan tersebut terdapat tiga makam dengan ukuran berbeda-beda. Makam-makam itu tersusun atas batu kerakal yang sudah dilumuri lumut. Menurut keterangan warga setempat, makam yang lainnya itu adalah keluarga dekat dari Peapua Lamboja yang juga ikut dimakamkan di lokasi itu.
Makam Peapua Lamboja merupakan sebuah kawasan bersejarah yang sangat penting dan seharusnya selalun dirawat dengan baik. Namun, yang kemudian terlihat, makam yang punya nilai historis ini sepertinya tidak lebih penting ketimbang kebun kelapa sawit yang ada di sebelahnya.
Benteng Fafontofure
Tempat kedua yang kami kunjungi adalah benteng Fafontofure. Benteng ini kerap juga dinamai benteng kota Bajo karena bentuknya yang menyerupai sebuah kapal laut. Lokasi benteng ini berada di puncak bukit yang lumayan tinggi. Sebagaimana fungsi benteng ini sebagai tempat untuk mengintai kawasan laut kerajaan Bungku dari jarak jauh.
Akses menuju ke benteng ini melewati perkebunan kakao yang rimbun dan perkebunan kelapa yang berjejer menjulang tinggi milik warga setempat. Jalur yang dilalui lumayan terjal, cukup untuk menguras tenaga hingga sampai ke puncak. Sebetulnya, sudah ada jalan beton seluas jalur pejalan kaki yang pernah dibuat oleh pemerintah daerah. Hanya saja saat ini, kondisi jalan beton tersebut mulai rusak dan tertimbun oleh rerumputan. Sehingga kita mesti betul-betul teliti supaya tetap berada pada jalur jalan beton tersebut. Ini untuk memastikan agar kita tidak tersesat dan malah mengikuti jalan yang menuju kebun milik warga.
Kabarnya, Benteng Fafontofure dibuat oleh rakyat Bungku pada akhir Abad ke-15. Dibangun dari batu kerakal yang tersusun rapih berbentuk lonjong menyerupai bentuk kapal laut. Benteng ini berhadapan langsung dengan pemandangan lautan lepas. Dari sini terlihat jelas kapal-kapal yang hendak datang atau sekadar melintas di pantai Bungku.
Jika dilihat dari letaknya, posisi lautan lepas dihadapan benteng Fafontofure segaris lurus dengan posisi pulau Ternate yang dulunya pernah menguasai kerajaan Bungku hingga abad ke-15. Dari benteng ini juga, akan dapat terlihat jelas jika ada kapal datang yang berasal dari Ternate.
Di benteng ini pula tempat pertama kali bertemunya raja Sangiang Kinambuka dengan Syekh Maulana Ibrahim seorang pendakwah agama Islam dari negeri Johor, Malaysia. Pertemuan itu kemudian ditandai dengan dibangunnya sebuah masjid sebagai penanda masuknya Islam pertama kali di kerajaan Bungku. Pada pertengahan abad ke-19, oleh raja Bungku ke-7 Muhammad Baba, masjid itu lalu dipindahkan ke kawasan pesisir yang sekarang kita kenal dengan Masjid Tua di kelurahan Marsaoleh kota Bungku.
Kondisi benteng kini ditumbuhi oleh beberapa pohon besar baik yang berada di dalam benteng maupun tepat dihadapan benteng. Sehingga beberapa sisi untuk dapat memandangi lautan dihadapan benteng tertutupi oleh reranting pohon yang tinggi menjulang. Yah, sebuah aset yang sangat berharga, tetapi tak banyak diberi penghargaan dan mulai tergerus di dalam ingatan akan keberadaannya.
Masjid Tobungku
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Masjid Tua di kota Bungku. Masjid ini merupakan masjid yang punya pengaruh besar dalam catatan sejarah keislaman masyarakat Bungku. Selain karena masjid ini merupakan sebuah simbol awal masuknya Islam, sekaligus juga menjadi saksi hingga Islam menjadi agama mayoritas rakyat Bungku sejak abad ke-15. Meskipun sebetulnya Masjid yang ada sekarang ini merupakan replika material yang dipindahkan dari lokasi awalnya (benteng FafonSandengaa/Fafontofure) pada pertengahan abad ke-19 oleh raja Bungku ke-7 Muhammad Baba/Peapua Baba, (Mahid,2012)
Bentuk arsitektur bangunan masjid menyerupai Masjid kesultanan Ternate. Beberapa bagian bangunan yang khas mencirikan nilai-nilai islam yang begitu kental. Di dalamnya terdapat mimbar yang masih asli dibawa dari lokasi asalnya dan masih kokoh sampai sekarang. Letak mimbar itu sebagaimana lazimnya posisi mimbar-mimbar Masjid pada umumnya.
Beberapa tahun sebelumnya, di halaman Masjid Tua terdapat dua meriam model Eropa yang diabadikan oleh raja Bungku. Namun, di halaman masjid Tua saat ini ada penambahan bangunan yang berbentuk persegi sebagai tempat pembelajaran Al-Quran atau pesantren. Karena luas halaman yang tidak memadai maka kedua meriam itu terpaksa harus dipindahkan. Menurut kabar, kedua meriam itu dipindahkan ke museum Kolonodale yang sekarang menjadi ibukota Morowali Utara.
Masji Tua, Sebuah bangunan peninggalan sejarah yang sangat penting dalam perjalanan keislaman masyarakat Bungku. Sudah selayaknya menjadi aset kebudayaan yang penting untuk dilestarikan keberadaannya. Namun, kondisi dan situasi di kawasan bangunan yang begitu penting ini tidak begitu menarik lagi untuk dikunjungi. Penambahan struktur bangunan telah menghilangkan sebagian keaslian Masjid ini sebagai bangunan sejarah. Betul-betul sudah tidak menarik!
***
Ketiga situs peninggalan kerajaan Bungku yang telah kami kunjungi, merupakan tiga dari sekian banyaknya peninggalan bersejarah lainnya yang terdapat di kabupaten Morowali. Menurut informasi dari Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 2013, setidaknya terdapat 19 situs yang terbagi dalam situs prasejarah dan Islam/Kolonial di wilayah Morowali. Itu sudah cukup menunjukkan Betapa kekayaan kultural Morowali begitu besar. Selain sebagai identitas maupun media pembelajaran, situs atau peninggalan sejarah ini juga bisa menjadi aset pariwisata yang sangat potensial.
Belakangan ini, pemerintah daerah Morowali sedang gencar-gencarnya melakukan pembenahan kota, mulai dari pemugaran lahan kosong menjadi taman kota sampai pembangunan tempat-tempat ibadah yang maha megah. Langkah positif ini kemudian tidak serta merta menutup celah kritik terhadap etika pembangunan pemerintah yang tidak memperhatikan keberadaan situs-situs bersejarah sebagai aset penting yang dimiliki oleh daerah.
Situs-situs peninggalan sejarah kerajaan Bungku kelihatannya nyaris tidak mendapat tempat dalam pembangunan tata ruang daerah. Seperti dikota-kota besar lainnya, map atau rambu-rambu penunjuk jalan menuju situs kebudayaan lokal sangat dirasakan keberadaannya dalam mengisi sudut-sudut ruang kota. Atau paling tidak terdapat sebuah pusat pengkajian kebudayaan lokal seperti museum dan sejenisnya, agar kekayaan kultural masyarakat bisa diabadikan dengan baik.
Ketidakpedulian terhadap situs-situs sejarah merupakan hal yang sangat miris. Jika ini dibiarkan berlarut-larut, lambat laun peninggalan sejarah yang ada di Morowali akan hilang dan segera dilupakan satu persatu oleh generasi yang semakin maju hari ini. Maka di masa depan, kita jangan heran apabila generasi sekarang dan yang akan datang miskin pengetahuan tentang identitas dan asal-usul nenek moyangnya.
***
Benda bersejarah merupakan sesuatu yang paling representatif secara kultural dari suatu negeri. Benda bersejarah memiliki kemampuan untuk menggunggah rasa afirmasi dan kepemilikan, memperkuat atau menstimulasi identitas diri masyarakat di suatu wilayah. Semua peninggalan sejarah adalah kuil-kuil memori bagi semua bangsa
(Fernando Baez, A universal history of the destruction of books).
Discussion about this post