• About
  • Contcat Us
Friday, July 4, 2025
Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
Kamputo.com
  • Login
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore
No Result
View All Result
Morning News
Home Ulasan Opini

Bagaimana Masa Depan Desa dalam Ranwal RPJMD Morowali?

Aksan by Aksan
20/06/2025
in Opini
0
Bagaimana Masa Depan Desa dalam Ranwal RPJMD Morowali?

Salah satu ilusi terbesar dalam praktik pembangunan daerah adalah keyakinan bahwa kemajuan kawasan industri akan secara otomatis berdampak pada perbaikan ekonomi desa. Logika ini secara implisit masih hidup dalam Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (Ranwal RPJMD) Morowali, di mana kawasan industri seperti Bahodopi ditempatkan sebagai poros pertumbuhan dan peningkatan ekspor, sementara peran desa disebut secara terbatas dalam konteks diversifikasi produk, penguatan koperasi, dan distribusi hasil.

Sebelum lanjut, penulis ingin menekankan bahwa tulisan ini bukan untuk menyangkal niat baik pemerintah daerah yang telah mencantumkan desa dengan narasi hilirisasi, ekspor, dan penguatan koperasi dalam RPJMD. Tetapi ini adalah catatan kritis untuk menjadi bahan diskusi yang konstruktif. Di akhir tulisan ini, tentu saja ada sejumlah rekomendasi yang penulis tawarkan. Mari kita lanjut.

BACA JUGA

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 6): Pertanian di Tengah Masalah Agraria dan Ketimpangan Struktural

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 5): Perikanan dan Masalah Ekologi Pesisir

Ketiadaan jembatan antara desa sebagai produsen dan industri sebagai pengolah memperlihatkan betapa ketimpangan bukan sekadar akibat, tetapi justru produk dari desain pembangunan itu sendiri. Penyebutan frasa seperti “penguatan rantai pasok atau nilai industri pertambangan nikel–pertanian atau perikanan” serta “hilirisasi agro-fishery industry berbasis IKM (Industri Kecil Menengah) dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) memang menunjukkan pengakuan atas pentingnya konektivitas sektoral.

Akan tetapi, pengakuan ini tidak dilengkapi oleh kehadiran sistem operasional yang menjamin desa dan pelaku usaha mikro menjadi bagian dari ekosistem tersebut. Tidak ada kerangka kerja yang menghubungkan koperasi tani dengan pabrik pengolahan, nelayan dengan jalur ekspor, atau BUMDes dengan skema logistik kawasan industri. Frasa hadir, tetapi sistem tak pernah dibangun.

Kekosongan inilah yang memunculkan ketimpangan struktural. Pemerintah daerah menyiapkan strategi hilirisasi, namun membiarkan desa tanpa akses ke teknologi atau kelembagaan distribusi. Sementara perusahaan-perusahaan besar beroperasi dengan akses penuh ke pasar dan infrastruktur, masyarakat desa tetap berkutat dengan produksi primer yang nilainya rendah.

Dalam logika pembangunan yang seharusnya bertumpu pada nilai tambah, ini adalah kegagalan paling fundamental—karena potensi lokal justru dibiarkan stagnan di tengah ledakan industrialisasi. Tidak hanya secara ekonomi, ketimpangan ini juga bermakna politis. Ketika desa tidak dilibatkan dalam rancangan nilai tambah, maka mereka juga dikeluarkan dari posisi tawar dalam proses pembangunan. Mereka tidak punya akses terhadap informasi, forum pengambilan keputusan, atau mekanisme perlindungan harga dan pasar.

Dengan demikian, desa bukan hanya kehilangan keuntungan ekonomi, tetapi juga kehilangan kendali atas masa depannya sendiri. Ini adalah bentuk pengabaian yang sistemik, dan secara moral tak bisa dibenarkan.

Dalam kerangka inclusive development seperti dikemukakan Hickey et al. (2015) menekankan bahwa pembangunan bukan sekadar tentang pertumbuhan, tetapi tentang siapa yang disertakan dalam proses tersebut. Morowali, dengan potensi pertanian, perikanan, dan energi desa yang besar, semestinya bisa menjadi contoh inklusivitas.

Namun, tanpa sistem yang memastikan keterhubungan antara desa dan industri, yang terjadi justru reproduksi ketimpangan melalui desain yang tak berpihak. Dalam konteks ini, RPJMD Morowali, frasa “hilirisasi” dan “penguatan koperasi” hanya menjadi aksesoris narasi jika tidak disertai dengan program nyata yang mentransformasikan pelaku ekonomi desa menjadi bagian dari rantai pasok industri dan ekspor. Ini bukan sekadar kelemahan teknis perencanaan, melainkan masalah politik pembangunan: siapa yang diberi peran, siapa yang dibiarkan di pinggir, dan siapa yang dikorbankan demi angka pertumbuhan.

Narasi Tanpa Struktur: Kesenjangan Antara Wacana Hilirisasi dan Sistem Pelaksana

Ranwal RPJMD Morowali 2025–2029 menyimpan banyak narasi ambisius—hilirisasi agro-fishery, penguatan daya saing ekspor, optimalisasi industri hijau, hingga pengembangan ekonomi kreatif berbasis IKM dan UKM. Pada permukaan, dokumen ini tampak menjanjikan arah pembangunan yang progresif dan terhubung dengan potensi lokal.

Akan tetapi, ketika narasi besar ini dihadapkan pada kebutuhan struktur pelaksana yang konkret, maka terlihat dengan jelas sebuah kekosongan institusional yang menganga. Hilirisasi disebut, tetapi tanpa roadmap. Koperasi disinggung, tetapi tanpa kelembagaan penghubung. Industri hijau dicita-citakan, tetapi tanpa rekayasa spasial yang melibatkan desa.

Salah satu ketiadaan paling mendasar adalah absennya pemetaan spasial dan sektoral atas potensi desa. Tidak ditemukan klasifikasi desa berdasarkan basis ekonomi seperti “desa agroindustri”, “desa kelautan”, atau “desa energi lokal”. Padahal, penguatan rantai nilai tidak mungkin dibangun tanpa mengidentifikasi simpul produksi dan keterkaitannya dengan sistem pengolahan dan pasar. Dalam konteks Morowali, yang memiliki bentang wilayah pesisir, kepulauan, dan kawasan pegunungan, pemetaan semacam ini semestinya menjadi fondasi dari seluruh agenda hilirisasi. Tanpa itu, seluruh narasi penguatan nilai tambah kehilangan pijakan ruang.

Selain itu, kelembagaan pendukung seperti koperasi produsen, BUMDes strategis, dan forum kemitraan desa–industri nyaris tidak disebut dalam rancang bangunan institusional RPJMD. Tidak ada satu pun bagian yang menjelaskan mekanisme penguatan kelembagaan ekonomi desa dalam menghadapi ekspansi pasar dan tekanan industri. Ini menunjukkan bahwa istilah koperasi atau BUMDes lebih sering menjadi pelengkap strategi, bukan aktor kunci yang diorganisir dalam kerangka sistem nilai tambah. Tanpa penguatan kelembagaan desa, maka gagasan hilirisasi hanya akan menguntungkan pelaku besar dan meminggirkan ekonomi lokal.

Kesenjangan ini memperjelas apa yang disebut Howlett (2011) sebagai policy design gap—yakni ketika perangkat kebijakan tidak mampu menerjemahkan visi ke dalam struktur pelaksana yang bisa dikendalikan dan diukur. Dalam kasus Morowali, wacana hilirisasi dan ekspor telah muncul, namun perangkat eksekusinya tidak disiapkan. Tidak ada rencana aksi tahunan, tidak ada indikator output dan outcome berbasis desa, bahkan tidak ada unit kerja lintas sektor yang bertanggung jawab atas integrasi tersebut. Dalam logika perencanaan, ini adalah indikasi bahwa kebijakan hanya akan hidup di atas kertas, tanpa daya ubah terhadap realitas sosial.

Dengan demikian, tantangan terbesar bukanlah kurangnya gagasan, tetapi ketidaksiapan sistem untuk menjadikan gagasan tersebut bekerja. Di titik inilah penting untuk menegaskan bahwa hilirisasi, koperasi, dan penguatan UMKM tidak bisa hanya menjadi kutipan strategis; ia harus dibangun melalui sistem spasial, kelembagaan, penganggaran, dan tata kelola lintas sektor. Tanpa semua itu, kita hanya menyaksikan sebuah pembangunan yang menumpuk narasi tanpa struktur, dan menjanjikan kemajuan tanpa keadilan.

Desa yang Tidak Dijadikan Simpul: Pusat Produksi yang Dipinggirkan

Dalam arsitektur ekonomi daerah, desa semestinya menjadi simpul awal dalam rantai nilai pembangunan. Desa menghasilkan bahan pangan, hasil laut, komoditas hutan, dan lainnya, Namun dalam dokumen RPJMD Morowali, baik secara struktural maupun spasial, desa kurang ditampilkan sebagai pusat produksi yang strategis. Ia hanya disebut secara sepintas dalam konteks peningkatan kapasitas SDM, pengembangan BUMDes, atau kerjasama dengan koperasi. Tetapi tidak ada satu pun bagian yang memperlakukan desa sebagai subjek ekonomi yang dihubungkan secara sistematis dengan industri, pasar, dan infrastruktur strategis.

Ketiadaan ini terlihat paling nyata dalam absennya pemetaan spasial yang mengklasifikasikan desa menurut potensi unggulannya. Tidak ada tipologi desa pertanian, desa kelautan, desa agroindustri, atau desa energi. Akibatnya, tidak ada landasan untuk menyusun intervensi yang berbeda berdasarkan karakter wilayah. Morowali memiliki ragam lanskap desa—dari pesisir Menui hingga Bumi Raya dan Witaponda—tetapi seluruh desa diperlakukan secara generik. Padahal, hilirisasi dan penguatan nilai tambah tidak mungkin dicapai tanpa basis spasial yang konkret.

Kelemahan lain yang mengemuka adalah tidak adanya sistem penguatan kelembagaan ekonomi desa. RPJMD memang menyebut pengembangan koperasi dan BUMDes, tetapi tidak dirancang sebagai simpul penghubung antara desa dan rantai pasok industri. Tidak ada program inkubasi desa berbasis ekspor, dan tidak ada pelatihan manajemen rantai pasok untuk pelaku lokal. Tanpa penguatan kelembagaan, maka desa tidak akan pernah memiliki daya saing dalam ekosistem industri yang semakin kompetitif.

Yang lebih problematik adalah absennya sistem kemitraan yang menghubungkan pelaku ekonomi desa dengan perusahaan industri. Kurang ditemukan skema off-taker, kontrak produksi, atau platform digital yang menghubungkan koperasi tani/nelayan dengan pabrik pengolahan atau pasar ekspor. Sementara industri besar difasilitasi dengan infrastruktur dan insentif, desa tetap bergantung pada pola pasar tradisional yang penuh ketidakpastian. Dalam kondisi ini, desa bukan hanya dipinggirkan, tetapi secara aktif dikeluarkan dari sistem pertumbuhan yang sedang dibangun.

Literatur tentang pembangunan berkeadilan menegaskan bahwa partisipasi desa dalam sistem ekonomi bukan hanya soal akses produksi, tetapi juga pengakuan terhadap otonomi ekonomi lokal (Diwakar et al.,2025). Ketika desa tidak dilibatkan sebagai aktor utama dalam rantai nilai, maka pembangunan kehilangan dimensi kewargaan ekonominya. Rakyat tidak hanya miskin karena tidak punya aset, tetapi karena tidak diberi posisi dalam desain pembangunan. Morowali berisiko melahirkan sistem ekonomi yang eksklusif—di mana pertumbuhan hanya terjadi di pusat industri, sementara desa dibiarkan menjadi pelengkap sosial.

Dalam situasi ini, tantangannya bukan sekadar memperbanyak bantuan atau pelatihan. Yang dibutuhkan adalah desain ulang sistem pembangunan yang menempatkan desa sebagai simpul awal sekaligus mitra strategis dalam rantai pasok industri daerah. Desa harus diberi fungsi sebagai produsen terhubung—melalui koperasi yang kuat, pelatihan berbasis kebutuhan pasar, dan sistem insentif fiskal yang menjembatani produksi lokal dengan kawasan industri. Tanpa itu, desa akan terus menjadi latar dari panggung pertumbuhan yang tidak pernah mereka perankan secara penuh.

Rekomendasi: Membangun Sistem, Menyambungkan Desa

Pembangunan ekonomi Morowali yang berorientasi pada hilirisasi industri dan ekspor agro-fishery tidak akan pernah benar-benar inklusif tanpa membangun sistem yang menyambungkan desa sebagai simpul produksi dengan pusat pengolahan, logistik, dan pasar. Desa tidak bisa hanya menjadi objek karitatif atau sasaran pelatihan yang bersifat teknis. Mereka harus dimasukkan sebagai subjek ekonomi dengan hak kelembagaan, ruang produksi yang dilindungi, serta jalur distribusi yang diorganisir secara institusional. Tanpa desain semacam ini, frasa-frasa strategis yang kini hadir dalam RPJMD akan tinggal sebagai janji yang tak pernah berubah menjadi struktur.

Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah menyusun klasifikasi spasial dan sektoral desa. RPJMD perlu dilengkapi dengan peta yang mengidentifikasi desa-desa agro, desa kelautan, desa wisata, dan desa industri kecil. Klasifikasi ini bukan hanya untuk kepentingan statistik, tetapi untuk menyusun intervensi spesifik dalam penguatan kapasitas produksi dan konektivitas desa terhadap industri. Dengan tipologi yang jelas, pemerintah bisa menyusun program berbasis wilayah, membangun sentra olahan, dan menyesuaikan pelatihan SDM dengan kebutuhan nyata pasar.

Langkah kedua adalah memperkuat kelembagaan ekonomi desa sebagai aktor penghubung. Pemerintah perlu merancang program khusus untuk mengembangkan koperasi produsen, BUMDes agro-fishery, dan inkubator bisnis desa yang bisa bermitra dengan industri. Hal ini harus didukung dengan regulasi insentif fiskal, fasilitasi perizinan, dan penyediaan fasilitas pasca panen atau pasca tangkap yang terstandar. Desa tidak boleh dibiarkan sendiri menghadapi pasar; negara harus hadir sebagai penjamin keberlangsungan posisi tawar mereka.

Langkah ketiga adalah membangun mekanisme kemitraan sistemik antara pelaku desa dan industri. Pemerintah harus mendorong skema contract farming, off-taker agreement, dan digital supply chain yang melibatkan perusahaan industri, koperasi desa, dan pelaku UMKM. Mekanisme ini penting untuk memastikan bahwa produk desa memiliki akses langsung ke pasar dengan harga yang adil dan kepastian distribusi. Dalam konteks kawasan industri nikel dan pengolahan, peluang untuk menyerap produk lokal seperti hasil laut, buah lokal, dan hasil hutan bukan kayu sangat besar—asal ada sistem yang menjembatani.

Langkah keempat adalah memperkuat peran OPD lintas sektor untuk mengawal integrasi ini. Perlu dibentuk unit penghubung desa–industri lintas dinas (pertanian, perikanan, koperasi, perindustrian,), dengan mandat khusus untuk menyusun roadmap nilai tambah desa dan menjamin pelaksanaannya lintas RPJMD. Tanpa lembaga pengawal, maka setiap sektor akan bekerja sendiri-sendiri, dan integrasi desa–industri akan kembali terjebak dalam retorika kebijakan yang tidak pernah sampai ke masyarakat.

Terakhir, penting bagi pemerintah daerah untuk membangun sistem evaluasi berbasis desa dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Indikator keberhasilan tidak boleh hanya diukur dari ekspor, pertumbuhan industri, atau volume investasi, tetapi juga dari keterlibatan desa, peningkatan pendapatan petani/nelayan, dan jumlah koperasi desa yang masuk dalam rantai pasok industri. Di sinilah letak keadilan ekonomi: ketika pembangunan tidak hanya menciptakan pertumbuhan, tetapi juga menyertakan mereka yang selama ini dibiarkan sendiri.

Sebagai penutup, catatan kritis dalam tulisan ini bukan ditujukan untuk menyangkal niat baik pemerintah daerah yang telah mencantumkan narasi hilirisasi, ekspor, dan penguatan koperasi dalam RPJMD. Sebaliknya, catatan kritis ini hendak menegaskan bahwa niat tanpa sistem adalah kehampaan administratif, dan bahwa wacana tanpa kelembagaan adalah kemunduran demokratis. Jika benar-benar ingin menjadikan desa sebagai mitra pembangunan, maka kini saatnya pemerintah berhenti sekadar menyebutkan kata “hilirisasi”, dan mulai membangun jembatan yang menyambungkan desa dengan sistem ekonomi daerah secara utuh.

Tags: BahodopiBerita PolitikekonomiKabupaten MorowaliMorowaliPemda MorowaliTambang

Discussion about this post

  • Home
  • Siber
  • Tentang Kami
  • Ketentuan Kami
  • Kontak Kami

© 2020 Kamputo.com - Dev by IT KAMPUTO.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore

© 2020 Kamputo.com - Dev by IT KAMPUTO.