Alkisah, pada zaman dahulu kala, di suatu desa bernama Kolono, hidup seorang janda yang tinggal bersama anak lelakinya, Kaluma. Kebakaran besar yang pernah menimpa Kolono belasan tahun lalu merenggut puluhan nyawa termasuk suaminya, ayah Kaluma. Kaluma sudah menjadi yatim sejak bayi, ibunya harus berjuang diri membesarkannya. Tak pelak, keduanya sering dilanda kelaparan pada masa-masa paceklik atau musim hujan.
Setiap petang, Kaluma berlalu menuju sungai di belakang rumah untuk memeriksa bubu yang ditambatkan sehari sebelumnya. Jika beruntung, akan ada udang yang terperangkap untuk makan malam. Namun, hari itu Kaluma tidak mendapatkan satupun tangkapan. Hujan yang sejak semalam mengguyur membuat air sungai meluap.
Di desanya, Kaluma dikenal sebagai anak yang jago bermain gasing. Kaluma memiliki sebuah gasing yang menjadi benda kecintaannya sejak kecil, gasing kayu tua yang menjadi satu-satunya peninggalan ayahnya yang ia simpan dengan rapih di sebuah tudung saji. Gasing itu pula yang membuatnya gemar bermain gasing sejak belia. Kepiawaiannya dalam bermain gasing membuat Kaluma sering mendapat bahan makanan saat bertaruh dengan orang-orang sekampungnya.
Beras, jagung, pisang, umbi-umbian, bahkan sekeping emas pernah ia bawa pulang dari hasil turnamen. Kaluma dan ibunya pun tidak perlu khawatir lagi dengan ketersediaan makanan selama beberapa hari ke depan. Beberapa keping emas bisa mereka jual jika persediaan makanan mereka telah habis.
***
Pada suatu hari yang cerah, Kaluma hendak menuju Istana Kerajaan Bungku untuk mengikuti turnamen gasing yang diadakan istana. Turnamen Gasing memang selalu menjadi hiburan setiap pesta panen padungku berakhir di wilayah Kerajaan Bungku. Segala peralatan dan barang yang akan ia bawa selama bertanding, dipersiapkan oleh ibunya. Sebelum berangkat, Kaluma mengingatkan jika ia akan pulang larut malam dan meminta ibunya untuk tak menunggunya makan seperti biasa. Kaluma pun pergi dilepas dengan pelukan dan restu ibunya yang mulai renta.
Setibanya di istana, betapa terkejutnya Kaluma melihat kemegahan bangunan istana Kerajaan Bungku yang setiap sisi dindingnya berlapiskan emas berlian. Kaluma pun terpaku beberapa saat, sambil membayangkan ibunya yang tak bisa membersamainya melihat pemandangan yang baru pertama kali dilihatnya itu. Tiba-tiba, seorang hulubalang menepuk pundak Kaluma dari belakang. Hulubalang itu sejak tadi memanggil-manggil Kaluma namun tak direspon. Hulubalang itu rupanya hendak memberi tahu jika lokasi turnamen berada di sebelah timur istana. Kaluma ternyata salah masuk area, ia pun didampingi hulubalang menuju lokasi turnamen.
Tiba di lokasi turnamen, Kaluma dilirik sinis oleh beberapa bangsawan kerajaan karena pakaiannya yang compang-camping khas anak desa. Namun, Kaluma tak menanggapinya, sebab kedatangannya ke istana semata-mata untuk memenangkan turnamen dan memboyong hadiah yang menggiurkan ke rumahnya. Ia berharap hadiah tersebut dapat membuat kemelaratannya bersama ibunya bisa segera berakhir.
Turnamen pun dimulai. Orang-orang dari seantero negeri datang melihat turnamen tersebut. Para petarung dibagi ke dalam beberapa kelompok dan Kaluma mendapat lawan bangsawan yang sempat mencemoohnya sebelum turnamen dimulai. Anak bangsawan tersebut merupakan pemain andalan di kalangan istana. Dengan angkuh, ia yakin Kaluma tak akan sanggup mengalahkannnya. Namun Kaluma tak gentar, ia percaya pada kemampuan dan restu ibu yang mengirinya.
Permainan dimulai saat keduanya menarik ujung tali untuk membuat gasing mereka masuk ke dalam arena. Kedua gasing itu saling bertabrakan, bergesekan, namun kecepatan keduanya seakan tidak melambat. Cukup lama gasing tersebut berputar dalam arena dengan kecepatan tinggi. Sorak-sorai dari balik kerumunan penonton menyemangati anak bangsawan. Kaluma hanya diam dan fokus menyaksikan arena gasing. Sambil mengepal tangannya, ia meneguhkan hatinya bisa menjadi pemenang.
Tak lama kemudian, putaran kedua gasing kayu itu mulai melambat. Betapa girangnya Kaluma menyaksikan gasing kayu miliknya masih berputar saat gasing milik bangsawan itu telah berhenti bergerak di dalam arena. Kaluma memenangkan turnamen, bangsawan tamak tadi hanya bisa menanggung malu karena kesombongannya.
Dengan langkah kaki gembira, Kaluma pun pulang ke desa, membawa hadiah turnamen. Kaluma ingin sesegera mungkin bertemu ibunya dan memperlihatkan apa yang dibawanya.
Setibanya di rumah, Kaluma disambut ibunya dengan sikap dingin. Sikap ibunya yang tidak biasa itu membuat Kaluma mengurungkan niatnya untuk merayakan kemenangan yang ia bawa dari turnamen gasing di Istana Kerajaan Bungku. Kaluma pun langsung masuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum mengajak ibunya duduk bersua. Namun, betapa terkejutnya Kaluma kala membuka tudung saji. Gasing kayu pemberian ayahnya yang membuatnya sering memenangkan pertandingan kini dalam kondisi tercincang. Ibunya hanya duduk terdiam ketika Kaluma menanyakan perihal yang sedang terjadi.
Sikap diam ibunya, membuat Kaluma naik pitam. Di tengah gelapnya malam, Kaluma beranjak ke luar meninggalkan rumah dan berlari menuju hutan. Sebelum pergi, Kaluma sempat berujar jika ia tidak akan pernah kembali ke rumah. Sayang, hutan yang dimasuki Kaluma adalah hutan terlarang, tempat sekumpulan bangsa burung tinggal. Konon katanya, siapapun yang masuk ke dalam hutan tersebut akan berubah menjadi seekor burung mengikuti hukum yang berlaku. Ketika menapaki hutan tersebut, tubuh Kaluma perlahan mulai ditumbuhi bulu hingga dalam waktu yang tak lama Kaluma berubah menjadi seekor burung. Kelak burung itu dinamai warga setempat dengan burung Poponggu.
Discussion about this post