Bagi kebanyakan masyarakat Bungku, cerita rakyat soal gunung Mateantina sudah akrab di telinga mereka. Diceritakan turun temurun dari generasi ke generasi. Gunung yang letaknya berada di Desa Kolono, Kecamatan Bungku Timur ini terbilang unik. Ia hanya ditumbuhi oleh rerumputan ilalang dan beberapa pepohonan.
Masyarakat Kolono khususnya, punya kepercayaan mistis terhadap gunung itu. Dulu sewaktu desa diserang cuaca panas yang tak berkesudahan, masyarakat kerap membakar ilalang gunung ini yang semata-mata untuk mengharapkan turunnya hujan. Dan, entah kebetulan atau tidak, hujan memang benar-benar mengguyur.
Di gunung itu juga dulunya dihuni banyak kawanan rusa. Di sana menjadi tempat berburu rusa paling empuk. Selain rusa, masyarakat juga kerap mendapati anoa. Boleh dibilang, gunung Mateantina punya keberkahan tersendiri. Ia seolah menjadi oase ketika musim panas, pula ketika masyarakat berkeinginan menyantap daging rusa.
Belakangan gunung ini digadang-gadang akan menjadi tempat wisata yang menjanjikan. Kaki gunungnya yang berdekatan dengan sungai Pombine menambah daya tarik tersendiri. Apalagi dulunya gunung ini pernah dijadikan sebagai landasan paralayang. Dari atas gunung menyuguhkan pemandangan apik antara riuh rendah rumah penduduk, serta hamparan laut membiru yang memanjakan para pengunjungnya.
Itulah sedikit perkenalan kita dengan gunung Mateantina secara topografinya. Kalau ada niat mau mendaki ke sana, boleh juga ajak saya, goys. Tidak bakalan menyesal kok. Hehehe
Oh ya ngomong-ngomomg, pada tulisan kali ini, saya cuma akan mengulas soal kandungan pesan moral yang terdapat dari cerita gunung Mateantina. Yang tentu saja menggunakan perspektif saya sendiri.
Mateantina memiliki arti, mati (Mate) karena perempuan (Tina). Konon, di gunung inilah dulunya diselenggerakan sayembara dengan hadiah menikahi putri raja. Sayembara itu diikuti oleh tujuh orang pemuda (ada juga versi yang mengatakan lebih dari tujuh orang). Para pemuda itu harus beradu cepat dari kaki gunung untuk menyentuh tubuh putri yang berada di puncak gunung. Siapa yang menyentuh duluan, dialah yang keluar sebagai pemenang sayembara.
Singkat cerita, kesemua pemuda itu tidak ada seorang pun yang berhasil. Mereka semua meninggal dunia karena kewalahan. Nyaris saja ada seseorang yang berhasil karena sempat menyentuh kaki si putri, tapi kemudian juga berujung tragis, ia meninggal dunia. Tujuh pemuda yang malang.
Dari cerita itu, banyak yang menerjemahkan cerita Mateantina ini dengan mengambil tema besarnya yaitu, tentang sebuah perjuangan yang dilandasi cinta, tentang cinta yang harus diperjuangkan, tentang kesejatian cinta yang dimiliki oleh seseorang dan lain sebagainya yang kebanyakan bicara soal cinta.
Yah, bagi saya hal yang wajar saja jikalau kemudian simpulan-simpulan itu yang muncul dipermukaan ketika mendengar perjuangan tujuh pemuda untuk mendapatkan putri seorang raja dalam cerita gunung Mateantina.
Tapi, sebagaimana kita bebas menerjemahkan isi kandungan dari cerita itu, maka saya kemudian mulai dicekoki beberapa pertanyaan.
Apakah tepat cerita rakyat Mateantina itu hanya semata-mata bicara soal cinta? Kita tahu bahwa kebanyakan cerita rakyat pasti memiliki unsur moral yang kemudian dijadikan sebagai bahan implementasi diri. Dan selanjutnya, apa iya tujuh pemuda itu benar-benar telah memiliki rasa cinta? Atau jangan-jangan itu semua hanya karena adu gengsi sebab yang akan dinikahi adalah putri raja?
Lalu, kalau ditanya, lantas ke manakah sebetulnya yang hendak disasar dari cerita gunung Mateantina tersebut? Ini yang akan kita cermati secara seksama.
Mula-mula, saya berangkat dulu dari para pemuda.
Seperti saya kemukakan di atas tadi, rasanya terlalu terburu-buru jika kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa ketujuh pemuda tadi telah benar-benar memiliki rasa cinta kepada putri raja. Di benak kita tentu telah mampu mengimajinasikan bagaimana sosok si putri raja secara fisik, pastilah ia adalah putri yang cantik jelita. Anak raja pula. Sehingganya pemuda itu rela bertarung nyawa untuk mendapatkannya.
Nah, apakah usaha untuk mendapatkan putri raja karena ia cantik, keluarga kerajaan yang tentulah bergelimang kekayaan, itu yang kemudian kita sebut cinta? Bagi saya tidak.
Selanjutnya, soal sayembara dan hadiahnya. Sekalipun salah seorang pemuda itu berhasil menaklukan sayembara tersebut, apakah sudah menjamin bahwa kelak ia akan hidup bahagia? Mempersunting putri kerajaan, dikerumuni kemewahan, sama sekali bukanlah jaminan kebahagiaan hidup.
Dan lanjut lagi, mengenai sosok tuan putri raja. Nyatanya para pemuda itu tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya perasaan putri raja kepada mereka. Apakah ia juga akan cinta atau tidak? Atau jangan-jangan ia hanya terpaksa mengikuti kemauan sang raja. Toh sebelumnya para pemuda itu tidak pernah berada dalam ruang komunikasi kepada sang putri.
Maka ketika kisah itu dikatakan adalah sebuah perjuangan cinta atau hal-hal semacamnya yang mengatasnamakan cinta, bagi saya itu adalah prasangka yang tidak utuh dalam memahami cerita Mateantina.
Sebab yang namanya perjuangan cinta, ia harus sepenuhnya dimiliki oleh dua belah pihak. Ada pada pemuda dan pada putri raja. Bukan hanya seorang saja. Apalagi yang diperjuangkan tak ada kepastian, masih kah itu dikatakan cinta? Iiiiha…!!!
Kemudian. Karena hadiah sayembara itu adalah seorang putri raja, para pemuda itu semangatnya begitu menggebu-gebu. Mereka tidak pernah berhitung soal kemampuan diri. Sanggup tidak sanggup, kuat tidak kuat, bisa tidak bisa, bodoh amat, yang penting menikah dengan putri raja. Kapan lagi coba. Kesempatan hanya sekali.
Tapi akhirnya yang mereka dapati adalah, hasil yang tragis. Mati sebelum mendapatkan yang diinginkan. Tersebab terburu-buru mengambil keputusan. Dibutakan dengan iming-imingan hadiah dari sayembara.
Baik. Sebelum lanjut, sampai di sini apakah kalian masih menjadikan cerita Mateantina semata-mata soal cinta? Moga-moga saja kita bisa sepikiran.
Jadi, kalau itu bukan cinta, lantas Matenatina soal apa?
Kalau dicermati secara hati-hati, cerita Mateantina sedang memberikan kita satu pelajaran hidup yang adiluhung. Ia sedang mengisyaratkan bahwa, Para pemuda itu adalah kita, manusia. Putri raja merupakan alegori dari dunia ini. Semantara sayembara itu, ia adalah hawa nafsu.
Seperti pesan Rasulullah usai memenangkan perang badar, bahwa umat manusia masih akan menemui peperangan yang teramat dahsyat. Itulah perang melawan dirinya sendiri, melawan hawa nafsunya.
Dan cerita Mateantina, mengandung pesan itu: Tujuh pemuda yang telah terpedaya oleh dunia dan tak mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Discussion about this post