Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa!
Begitulah kata pepatah bijak yang sering digaungkan untuk mengenang jasa-jasa para guru di luar sana. Mereka ditugaskan mendidik para siswa menjadi seorang yang memiliki perangai santun, bijak, dan menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya. Namun, tugas mereka yang berat nyatanya tidak sebanding dengan penghargaan yang mereka dapatkan. Tak ada penyematan tanda kepahlawanan laiknya pahlawan-pahlawan lainnya. Nahasnya, jasa mereka malah sering kali terlupakan, terkhusus para guru kontrak atau honorer yang terlunta-lunta nasibnya akan ketidakpastian terutama masalah gaji.
Pada peringatan Hari Guru Nasional 2021 ini, Kamputo.com mewawancarai beberapa guru honorer yang tersebar di beberapa kecamatan. Dalam wawancara yang berlangsung terpisah tersebut, mereka mengutarakan harapan agar pemerintah bisa lebih memperhatikan nasib guru honorer yang masih jauh dari kata sejahtera.
Bunga (nama samaran), guru honorer di Kecamatan Bungku Tengah
Sudah setahun lamanya Bunga menjadi guru honorer. Selama kurun waktu tersebut, Bunga jarang mendapatkan masalah yang pelik karena didukung oleh lingkungan kerjanya yang kondusif dan proaktif. Hanya saja, masalah yang kerap kali muncul lebih banyak disebabkan oleh sikap orangtua saat anaknya tersandung masalah. Sebagai guru baru yang baru saja lulus dari perguruan tinggi, Bunga acap kali dipandang sebelah mata.
“Saya biasanya kurang direspon sama orangtua siswa, karena kalau guru BK kan berbicara tentang perilaku anak, pola pengasuhan di rumah yang berpengaruh terhadap kesehariannya di sekolah, dan lain-lain. Jadi mungkin mereka anggap apakah ini anak baru kemarin sore juga sudah mau ceramah tentang cara mendidik anak sama orang tua”, jelasnya.
Selain itu, Bunga juga turut mengeluhkan karakter anak zaman sekarang yang sangat jauh dari nilai-nilai keluhuran dan kesantunan. Bunga menilai kurangnya adab kesopanan yang dimiliki siswa membuat mereka bersikap kurangajar dan tidak memiliki sikap penghargaan terhadap gurunya.
”Minta ampun sekali siswa zaman sekarang ini. Penghargaannya terhadap guru sangat kurang, kurang sekali. Mereka lebih kurang ajar. Guru menegur, mereka malah tertawa sambil memicingkan mata. Dinasehati, mengangguk saja tapi tidak mau lihat wajah gurunya. Sekalinya dipaksa untuk tatap wajah gurunya, malaah dikasi muka marah seolah tidak senang dengan perlakuan guru itu. Pokoknya unik sekali karakternya siswa zaman sekarang ini”, ucapnya.
Tak hanya itu, permasalahan dari dahulu kala yang sampai saat ini masih diperjuangkan adalah tunjangan atau gaji bagi para honorer. Bunga mengeluhkan terkait gaji honorer yang tidak sesuai dengan beban kerja. Apalagi sering kali didapatkan kasus yang mana guru senior berstatus PNS dengan seenaknya membebani guru honorer beban tugas yang seharusnya bisa dikerjakan oleh mereka sendiri. Walhasil karena takut dipecat, mereka mau tidak mau menerima tugas tersebut tanpa mengeluh sedikitpun.
Duh, dasar senioritas !
Bunga berharap agar kesejahteraan guru honorer bisa lebih ditingkatkan, terutama masalah gaji. Sebagai seorang pendidik, guru tidak hanya bekerja dengan tenaga tetapi juga memeras otak untuk dapat mengakomodir karakter siswa yang berbeda satu sama lain. Dinamika dan tantangan seperti itu seharusnya membuat kesejahteraan guru lebih diperhatikan. Terkait dengan karakter siswa zaman sekarang yang sarat akan sikap kurangajar, Bunga berujar agar sebaiknya dibuatkan satu mata pelajaran khusus berupa pendidikan karakter. Hal ini penting dilakukan agar perkembangan karakter anak dapat dikontrol.
Hampir sama dengan Bunga, Malika (nama samaran) di salah satu sekolah di Kecamatan Bungku Barat juga memiliki pandangan yang sama.
“Manasa marasai mate jadi guru. Oleo-oleo, saya harus memberikan contoh yang baik kepada siswaku”, ujarnya memulai cerita.
Sebagai orangtua kedua, Malika menilai dirinya harus mampu menjadi suri tauladan yang baik bagi para siswa. Ia dituntut untuk mampu membentuk karakter siswa yang memiliki budi pekerti baik nan luhur. Hal ini membuat Malika merasa kecewa pada dirinya sendiri ketika suatu waktu ada anak walinya yang tersandung kasus. Ia menilai dirinya telah gagal dan kurang maksimal dalam mendidik mereka.
Di sisi lain, menurutnya menjadi guru adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan. Ia bisa mengenali banyak karakter anak walinya.
“Menghadapi karakter puluhan siswa yang berbeda membutuhkan keikhlasan dan kesabaran. Di situlah saya berpikir susahnya memanusiakan manusia. Tidak gampang. Butuh kerja keras memang”, ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Malika juga tak menampik bahwa gaji guru honorer yang mereka dapatkan masih kurang, tetapi ia tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Menurutnya, mengajari siswa-siswinya untuk menjadi pribadi yang berakhlak, beretika, dan memiliki sopan santun yang baik sudah membuatnya bahagia. Namun, yang menjadi permasalahan bagi Malika adalah materi pembelajaran selama masa pandemi yang harus diberikan kepada siswa. Malika menuturukan bahwa sistem genap-ganjil yang diterapkan untuk pembelajaran para siswa terbilang tidak efektif.
“Di sekolahku itu, kita pake sistem genap-ganjil dilihat dari absensi kehadiran siswa yang dibagi menjadi dua shift. Senin sampai Rabu untuk siswa dengan nomor genap sedangkan Kamis-Sabtu untuk siswa dengan nomor genap ganjil. Jadi, materi yang disampaikan berulang, begitu seterusnya”, pungkasnya.
Tak hanya itu, Kiran (nama samaran) di salah satu sekolah di Kecamatan Bungku Tengah juga menuturkan hal yang sama. Sebagai salah satu sekolah baru di wilayah tersebut, ia tidak mempermasalahkan gaji honorer yang tidak sesuai dengan beban kerja yang mereka lakukan. Terlebih lagi, sekolah mereka belum memiliki dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sehingga mereka harus memakluminya.
“Di awal pas sekolah mau dibuka, kami sudah dikasih tahu bahwa untuk saat ini kami harus bersabar mengajar secara ikhlas yang artinya bahwa kami digaji seadanya saja. Kaene ke ongko omo dana BOS memang harus ditambah-tambah lagi”, ujarnya sembari tertawa.
Selain itu, suasana lingkungan kerja mereka yang tidak menunjukkan senioritas membuat Kiran betah berada di sekolahnya.
“Berhubung kami semua guru baru dan belum ada guru PNS, kami nyaman-nyaman saja”, tambahnya
Bunga, Malika, dan Kiran adalah contoh dari sekian jutaan guru honorer di Indonesia yang masih membutuhkan uluran tangan dari pemerintah. Pengabdian, pengorbanan, dan upaya mereka untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa seharusnya bisa mendapatkan apresiasi dan balasan setimpal. Sering kali, para guru honorer ini dieksploitasi oleh mereka yang berstatus guru PNS dengan memberikan beban kerja berlebih. Bahkan terkadang pihak sekolah memilih untuk abai pada hal tersebut. Memang, pemerintah telah berupaya untuk menyelesaikan permasalahan gaji guru honorer yang kecil namun hal tersebut nyatanya hanya mampu mengatasi masalah jangka pendek. Jika ingin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, yah bisa dimulai dengan menyejahterakan para guru seperti guru honorer misalnya.
Bukan begitu, teha?
Discussion about this post