Pada acara peringatan HUT Kabupaten Morowali ke-22 lalu, Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tengah bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali melakukan acara serah terima sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) berupa hak cipta Batik Tobungku di Lapangan Sangiang Kinambuka (Senin, 06/12/2021).
Penyerahan HAKI tersebut dilakukan langsung oleh Kepala Bidang Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kemenkumham Sulawesi Tengah, Herlina S. Sos kepada Bupati Morowali, Drs. Taslim didampingi Kepala Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Morowali, Komandan Kodim Morowali, Kapolres Morowali, dan pencipta Batik Tobungku.
Penyerahan hak cipta Batik Tobungku seakan menjadi kado spesial dalam perayaan HUT Morowali sebab untuk pertama kalinya Morowali memiliki pakaian identitas berupa batik. Sebelumnya, wacana peresmian Batik Tobungku terlebih dahulu dirapatkan di Dewan Adat sebelum kemudian Pemda Morowali mendaftarkannya pada Kemenkumham. Saat ini, penggunaan Batik Tobungku telah diatur melalui Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Bupati Morowali dengan Nomor 118.5/0147/Disdikda/1/2020.
Lalu, apa itu Batik Tobungku dan motifnya berasal dari mana?
Well, Batik Tobungku dibuat dengan menggunakan ragam hias yang terdapat pada wadah kubur kayu soronga dan kain tenun Tobungku. Soronga sendiri merupakan sebuah wadah dari kayu berbentuk persegi panjang yang digunakan sebagai wadah penguburan pada masa lalu yang banyak ditemukan di Situs Gua Tokandindi, Desa Topogaro, Kecamatan Bungku Barat.
Pada wadah kubur kayu tersebut, terdapat berbagai macam ragam hias yang digambarkan pada bagian penutup dan badannya. Wadah kubur soronga yang memiliki ragam hias menunjukkan perbedaaan status sosial dari orang yang dikuburkan. Seseorang yang memiliki stratifikasi sosial lebih tinggi atau orang yang dihormati pada masa hidupnya akan ditempatkan pada wadah kubur soronga yang memiliki ragam hias.
Sedangkan kain tenun Tobungku yang dikenal dengan nama hinoru merupakan produk Tobungku yang hilang dalam sejarah. Kata “Hinoru” sendiri bahkan tidak ada lagi dalam tata bahasa Tobungku, pun dengan produknya yang tidak seorang pun orang dari orang Bungku punya dan tahu bentuknya. Beruntung Yasher Sakita kemudian menemukan dokumen tertulis Belanda yang di dalamnya memuat dan menjelaskan tentang produk kain tenun Tobungku.
Van der Hart pada abad ke-19 mengatakan bahwa perempuan Tobungku sangat terampil dalam membuat kain tenun yang tidak hanya mereka gunakan untuk keperluan pribadi, tetapi juga untuk dijual. Kapas untuk membuat kain tenun tersebut mereka dapatkan dari distrik Mondono dan Balante. Tradisi menenun yang dulunya dikenal dengan istilah mohoru (menenun) merupakan mata pencaharian utama para perempuan Tobungku di masa lalu.
Produk kain tenun yang mereka hasilkan bahkan menjadi produk unggulan yang diperdagangkan di luar wilayah Tobungku. Menariknya lagi, di daerah Halmahera Barat, Maluku Utara, ada salah satu jenis kain yang dinamakan Ba’a Tobungku yang dijadikan warisan turun-temurun sejak awal abad ke-20. Konon, Kain tenun tersebut masuk ke wilayah Ternate melalui perdagangan dari Tobungku di Pesisir Timur Celebes.
Secara umum, ragam hias pada wadah kubur soronga berupa ragam hias geometris yang dibedakan atas tiga motif yakni motif bulat, tumpal, dan belah ketupat. Pada kebanyakan suku-suku di Sulawesi Tengah, motif bulat dapat diartikan sebagai mata bengga atau mata kerbau yang memilki makna sakral. Ragam hias tumpal berbentuk bidang segitiga merupakan salah satu motif ragam hias yang tua karena telah ada sejak zaman neolitik. Pola hias semacam itu telah digunakan pada gerabah yang ditemukan di Kalumpang, Sulawesi Barat. Pada masanya, ragam hias tumpal dapat diartikan sebagai penggambaran dari yang bersifat imanen atau keduniaan menuju kepada yang transenden atau ketuhanan.
Adapun jumlah ragam hias yang berhasil diidentifikasi pada wadah kubur kayu soronga sebanyak 11 jenis sedangkan kain tenun Tobungku sebanyak 8 jenis.
Lalu, bagaimana dengan warna batik yang digunakan?
Untuk menentukan warna Batik Tobungku, maka dipilih salah satu senjata orang Tobungku di masa lalu yaitu perisai yang disebut kanta. De Clerq mengatakan bahwa senjata orang Bungku terdiri dari tombak (Tobungku, ponsaku; Alfuru, yua), pedang biasa (Tobungku, badi; Alfuru, pada), pedang besar (ngomu), dan sumpit yang mereka gunakan untuk berburu binatang seperti rusa dan babi hutan.
Well, batik telah menjadi identitas bangsa Indonesia yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai sebagai warisan kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober 2009. Hampir seluruh wilayah di Indonesia memiliki pakaian khusus sebagai penanda identitas kelompok mereka. Mengingat Kabupaten Morowali belum memiliki pakaian identitas (di luar baju adat), maka perlu kiranya ada penguatan identitas melalui pakaian yaitu Batik Tobungku yang ragam/motif hiasnya diambil dari ragam hias yang dimiliki oleh Tobungku.
Batik Tobungku memiliki filosofi lahiri, teili, dan mate. Setiap manusia yang dilahirkan (lahiri) di dunia akan selalu dilindungi tubuhnya dengan sehelai kain. Kemudian mereka akan tumbuh dan berkembang (teili) menjadi manusia tangguh, kuat, dan bermental baja untuk menghadapi sepak-terjang kehidupan yang penuh rintangan. Setelah mati (mate), manusia akan kembali ke haribaan-Nya tanpa meninggalkan apapun di dunia fana ini. Dengan demikian, makna filosofis dalam Batik Tobungku menggambarkan satu siklus kehidupan manusia dimulai dari lahir, hidup, hingga kemudian mati.
Begitulah, kansema menurutmu, teha?
Discussion about this post