Hari ini adalah hari kelahiran Kartini menurut referensi sejarah yang sudah banyak dipercayai oleh dunia akademik kita. Jika tanggal 21 itu benar (beberapa kalangan masih memperdebatkan ini), artinya hari ini bertepatan dengan 140 tahun kelahiran Kartini atau nyaris satu setengah abad.
Nah, Pada kesempatan ini, saya coba melihat perempuan bersama sudut pandang kenalan saya, Dian Sastrowardoyo. Saya kenal baik dengan Dian ini. Dan satu hal yang pasti, Dian tidak pernah tahu tentang keberadaan saya di jagat raya ini. Iya, memang memprihatinkan?!
Baik. Di antara banyaknya sosok perempuan inspiratif di Indonesia, kenapa saya memilih Dian Sastro? Jawabannya, ya itu karena ulasan ini ditulis oleh saya, seandainya Anda yang menulis, Anda mungkin akan memilih tokoh perempuan lain. Atau bisa jadi juga Anda dan saya sama. Ini sekali lagi soal subjektifitas, atau soal terserah saya.
Iya, ini murni karena alasan personal yang tidak dapat terjelaskan kecuali Anda melanjutkan bacaan dalam ulasan ini sampai selesai. Jadi, mari lanjut dulu…
Anda tahu, Hanung Bramantyo juga tentu saja punya alasan personal kenapa memilih Dian Sastro untuk memerankan Kartini di Film Kartini yang disutradarainya. Padahal usia Kartini saat diperankan Dian, harusnya lebih muda ketimbang usia Dian saat itu. Punya anak dua lagi. Wadaaow.
Baiklah… mari menelanjangi Dian Sastro lebih dalam. Wuhuiii.
Di luar riak-riak kehidupannya sebagai artis, Dian memiliki beberapa keunggulan personal yang mungkin saja hanya sedikit orang yang tahu. Ini mungkin ya, mungkin. Dan berikut ini yang saya ketahui tentang Dian Sastro, tentu saja setelah stalking yang pendek dan tajam meski tak setajam silet.
Oke, pertama biar saya perkenalkan dulu, Dian Sastro Wardoyo ialah keturunan akademisi nasional yang terkemuka. Dian merupakan cucu dari Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo, seorang yang terpelajar sekaligus tokoh dalam pergerakan nasional. Beliau pernah jadi pengurus Perhimpunan Indonesia bersama bung Hatta. Jadi, keluarga Sastrowardoyo ini memang banyak yang bergelut di dunia akademisi. Itu kenapa dia begitu peduli dunia akademik.
Dian adalah mahasiswa yang sedikit nakal, tapi banyak akal. Dia pernah kuliah S1 jurusan Hukum di Universitas Indonesia. Karena ada alasan tertentu, dia memutuskan berhenti sebelum tamat. Tapi ini bukan Drop Out yang jadi hantu di kalangan mahasiswa tahun terakhir. dia sekedar berhenti, mungkin karena merasa tidak cocok atau Dian mau ikut mengamini kata Sudjiwo Tedjo dalam forum TED X di Bandung, “Bagi saya, orang yang selesai kuliah itu adalah orang yang meneruskan sejarah, tapi orang yang berhenti kuliah itu adalah orang yang menjebol sejarah.” (tentu saja Anda boleh untuk tidak bersepakat dengan ini).
Setelah itu, Dian melanjutkan lagi kuliahnya di Jurusan Filsafat di kampus yang sama, kali ini sampai selesai. Dan belum lama ini Dian baru saja menyelesaikan Magister Manajemennya di jurusan Ekonomi, UI.
Untuk diketahui bersama, bahwa Dian Satro memiliki perhatian besar teradap dunia pendidikan.
Dalam sebuah wawancara bersama Goers (channel youtube), Dian berbicara mengenai perempuan dan pendidikan. “Siapa lagi yang bisa merubah derajat manusia kalau bukan perempuan. Karena perempuan itu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Jadi, seorang ibu itu menentukan cara berpikir anaknya sejak dini, cara hidup yang sehat sedari kecil, dan tentu saja semangat awal untuk sebuah kebaikan. Untuk memperbaiki sebuah bangsa yah harus perempuan, karena mereka adalah calon ibu yang akan melahirkan generasi bangsa berikut juga mendidiknya sejak dini,” Jelas Dian. Sila catat dan renungi baik-baik petikan ini. Semoga pencernaan kita lancar. Ehh.
Selanjutnya, Dian sastro juga punya beasiswa dan sebuah yayasan bernama “Dian Sastro Foundation”. Saat ditanya alasannya, “Aku ngerti banget, bahwa jawaban untuk kemiskinan salah satunya adalah pendidikan. Aku bukan pemerintah jadi aku nggak bisa berikan bantuan yang signifikan. Jadi, aku bisa ngasih bantuan back-up financial yang baik untuk akses pendidikan buat anak-anak tidak mampu, terutama perempuan, karena aku percaya kalau aku investasi untuk satu perempuan, artinya kita nggak investasi ke satu orang saja, tapi kita menginvestasi ke banyak orang yang akan menjadi keturunannya kelak. Karena kecerdasan seorang ibu juga akan menentukan bagaimana kecerdasandan kehidupan anak-anaknya kelak. Begitu juga kecerdasan bangsa ini di masa depan”. Demikian jawaban singkat, padat dan betul-betul terang itu.
Salah satu yang buat saya secara pribadi terkesima lagi, adalah saat Dian berkunjung ke tenda perjuangan Kartini Kendeng di Rembang, Jawa Tengah, 30 Juni 2016 lalu. Tenda tersebut merupakan bentuk aksi penolakan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia. Saat kunjungan itu, Dian berdiskusi dengan para aktivis perempuan yang terdiri dari kalangan ibu-ibu petani. Waktu kunjungan itu, sampai-sampai Dian meneteskan air mata mendengar kesaksian para perpempuan-perempuan kendeng. Selepas dari situ, Dian lalu pulang ke Jakarta dan jadi bintang iklan S8, hape merek Samsung terbaru dengan wajah senyum berseri-seri, ditambah lagi film Kartini laris di pasaran. Yah, namanya saja artis, kan?
Nah, sekarang mari kita bicara sedikit tentang Kartini.
Kartini sejak remaja sudah mencintai dunia literasi. Dia banyak membaca buku dan surat kabar. Surat kabar Semarang De Locomotief milik Pieter Brooshooft (orang Belanda) sudah jadi sarapan paginya setiap hari. Belum lagi majalah dan buku-buku yang dikirimkan oleh kakak kandungnya yang saat itu sedang kuliah di Belanda. Kartini juga seorang penulis yang tekun. Tulisan-tulisannya dalam pucuk-pucuk surat yang dikirimkan kepada kawan-kawannya di Eropa, dikumpulkan oleh seorang menteri kebudayaan, agama dan kerajinan di masa Hindia Belanda bernama J.H Abendanon yang kemudian dijadikan sebuah buku dengan judul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan menuju Cahaya). Setelah itu diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka dalam bahasa Melayu dengan Judul “Habis Gelap terbitlah Terang”.
Kartini bercita-cita untuk melanjutkan sekolah ke Belanda dan mendirikan sekolah perempuan di Rembang. Hanya saja, beasiswanya ke Belanda dibatalkan karena perkawinannya dengan Bupati Rembang. Beasiswa itu kemudian dialihkan kepada H Agus Salim untuk melanjutkan sekolah ke Belanda. Sementara cita-citanya membangun sekolah perempuan, akhirnya dapat terwujud berkat dukungan suaminya, sebuah sekolah perempuan terbesar sekaligus menjadi yang pertama di Hindia Belanda.
Saat ini sudah begitu banyak referensi tentang Kartini. Buku-buku baik fiksi maupun nonfiksi juga banyak yang membahas tentang Kartini, begitu juga film layar lebar yang baru-baru ini rilis. Terlepas dari kepentingan komersilnya, kita bisa menjadikan berbagai referensi tersebut sebagai bentuk kecintaan kita terhadap ilmu pengetahuan atau literasi. Jadi, silakan Anda cari dan baca sendiri, ya. Ckckc.
Pemirsa yang budiman, tentu ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari sosok Kartini ini, juga dari Dian Sastro tentu saja (ini kalau anda sealiran dengan saya). Perempuan adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya, perempuan adalah masa depan bangsa, dan terakhir perempuan adalah tulang rusuk bagi laki-laki. Sementara laki-laki adalah tulang punggung bagi perempuan. Bayangkan saja, keduanya sudah dihubungkan sejak dari tulang belulang.
Tulisan ini tentu tidak akan pernah dibaca oleh Dian Sastro, apalagi Kartini yang sudah mangkat satu abad yang lalu. Tetapi, saya selalu optimis bahwa masih banyak Kartini-kartini milenial yang tak kalah hebat di jaman now ini. Terlebih lagi perempuan yang sedang membaca ulasan ini. Dan pastinya seorang perempuan tak akan melahirkan generasi tanpa hadirnya sosok laki-laki di atasnya.
Selamat hari kartini.
Discussion about this post