Di era yang semakin carut marut ini, berbagai persoalan selalu menerpa kehidupan. Kita dipaksa untuk hidup berdampingan pada kondisi-kondisi yang tidak sesuai dengan ekspektasi normal manusia. Hidup damai, tentram, aman dan sejahtera adalah cita-cita yang selalu diperjuangkan, tetapi juga semakin jauh dari harapan. Sementara layar lebar kehidupan selalu saja menyajikan sandiwara yang tidak seharusnya, mulai dari kehidupan sosial, budaya bahkan politik. Jika melihat secara kasat mata, tampak politik lebih dominan dipertontonkan. Sering kali media menghembuskan berita bertema politik, hari ini si A tersangkut kasus korupsi, besok si B yang korup ikut kompetisi Pilkada, lusa sidang kasus si C akan digelar, belum lagi masalah-masalah kemanusiaan yang menyedihkan karena imbas dari kekejaman “politik”. Keadaan-keadaan seperti ini terus dipertontokan di ruang publik, merasuk ke alam pikir hingga menelan korban (read: Sondang Hutagalung), dan beberapa deretan tragedi kemanusiaan lainnya. Akibat terburuk dari fakta ini melahirkan mayarakat yang benci dan jijik terhadap politik. Kondisi ini berlaku pada akar rumput. Padahal politik bukanlah sesuatu yang mengerikan atau menakutkan, kesalahan terbesarnya adalah ketidaktahuan oleh politisi pada politik, dan juga yang tahu tapi pura-pura tidak tahu sehingga dominasi penggunaan cara yang digunakan jauh dari cita-cita politik itu sendiri.
Politik adalah usaha untuk kehidupan yang baik. Dalam tradisi jawa kita mengenal gemah ripah loh jinawi (kekayaan alam yang melimpah). Para pemikir sekaliber Aristoteles di zaman Yunani kuno menamakannya en dam onia atau the good life. Semua pikiran ini menekakan usaha mencapai kehidupan yang baik, bukan usaha mencapai kehidupan yang tidak baik. Dapat dilihat dalam pikiran ini bagaimana moral sangat dijunjung tinggi, mengajarkan kepada kita jika ingin mencapai tujuan mulia maka pilihan tepatnya adalah memilih upaya berbasis moral. Tujuannya adalah untuk sampai pada cita-cita mulia, itulah politik yang ideal untuk menggapai kehidupan yang baik. Hadirnya politik amoral dan immoral dalam ruang publik yang dilakoni oleh para politisi, semakin membuka lebar jarak pemisah antara fakta politik dan cita-cita ideal. Disisi lain kita perlu meyakini bahwa dalam alam ini selalu ada dua kekuatan “baik dan buruk” yang mengisi setiap sisi kehidupan, keduanya selalu berdampingan disetiap ruang yang ditempati manusia selama potensi sifat baik dan buruk itu ada.
Mengapa memandang politik berbasis moral begitu penting? Karena setiap apa yang dipikirkan akan mempengaruhi tingkah dan laku kita. Banyak orang yang salah dalam memahami politik menyeretnya pada liang kesesatan pikir, akibatanya dalam berpolitik kita menyampingkan moral. Bukankah sejak dahulu manusia hidup berkelompok dan mengatur kehidupan kolektif? Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia akan rasa aman, tentram, sejahtera, damai, dan bahagia. Disinilah peran politik yang paling ideal, hidup dalam suasana moralitas yang tinggi agar usaha untuk mencapai kehidupan yang baik dapat tercapai. Peter Merkl berkata, politik adalah usaha untuk mencapai suatu tatanan yang baik dan berkeadilan.
Dalam kehidupan sehari-sehari, dapat dilihat pelaksanaan kegiatan politik dari segi yang baik (positive) maupun tidak baik (negative), hal ini disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia. Manusia adalah mahluk yang berkal budi, mempunyai naluri yang baik dan buruk, mampu menguasai mahluk lainnya, dan saling membutuhkan dengan jalan interaksi. Manusia juga dapat disebut mahluk bermoral yang mempunyai kemampuan untuk menjalani aturan tentang sesuatu yang boleh atau tidak boleh dilakukan dalam kehidupan. Selain itu, karena manusia memiliki potensi sifat buruk untuk diaktualisasikan, maka dalam kehidupan kita selalu disajikan tontonan perbuatan amoral dan immoral, termasuk dalam ruang politik. Perbuatan semacam ini bisa jadi akibat dari kurangya pengetahuan dan adanya kelainan pada pelaku. Tidak heran jika pada realitas politik kita sering diperhadapkan dengan banyak kegiatan politik yang kadang bertentangan dengan hati nurani, akal sehat dan nilai-nilai kehidupan yang dijadikan pegangan hidup. Misalnya kegiatan politik yang tidak terpuji karena kuatnya dorongan sifat dasar manusia untuk memenuhi “nafsu” dengan jalan perebutan kekuasaan (kuasa), kedudukan (tahta) dan kekayaan (harta) untuk kepentingan diri sendiri yang mengabaikan moral, ini dapat disebut praktek politik dengan cara pandang buruk. Politik itu tidak kejam, yang kejam adalah hilangnya moralitas bagi pelaku politik.
Untuk mencapai tujuan politik, kita selalu diperhadapkan pada cara yang dilakukan (proses). Penentuan dan pemilihan sikap politik baik atau buruk inilah yang akan memberikan pembeda definisi politik, tergantung cara apa yang digunakan memenuhi “nafsu” politik. Apakah untuk kepentingan diri sendiri atau kemaslahatan orang banyak yang menjadi tujuan. Apakah perilaku ini salah? Tentunya tidak, jika memahami politik itu adalah upaya memperoleh kekuasaan, kekayaan, dan keududukan, tanpa memperhatikan proses yang digunakan. Untuk membedakan boleh atau tidaknya adalah cara yang digunakan, maka mendudukkan pahaman moral dan amoral itu sangat penting agar menjatuhkan pilihan pada sikap politik benar-benar sesuai akal sehat, nurani, dan asas kemanusian. Jadi, politik akan memberikan dua pilihan cara yang digunakan, baik atau buruk. Singkatnya sikap politik adalah cerminan dari tabiat sifat manusia.
Setiap manusia akan selalu bersepakat berbicara kebaikan, adakah manusia yang rela untuk dibohongi, ditipu, dirugikan, melakukan kekerasan, membunuh dan sebagainya? Perilaku sederhana ini merupakan tindakan yang jauh dari moral. Dalam politik, bagaimana mencapai tujuan yang mulia? Usaha itu dapat dicapai dengan berbagai cara, sekalipun berbenturan dengan upaya menciptakan politik amoral dan immoral. Namun, perlu diingat bahwa apapun cara yang digunakan haruslah berbasis moral. Jika diyakini bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain (buruk) adalah dosa, maka sikap politik yang buruk juga merupakan dosa politik. Dalam dunia politik era ini, sangat jarang politisi yang memperhatikan nilai-nilai moral politik, pemahaman terhadap politik adalah cara untuk mendapatkan kekuasaan tanpa memperhatikan moral dijadikan “keyakinan”, seperti terkungkung dalam kotak yang gelap (black box). Perilaku politik yang amoral inilah yang menjadikan wajah politik garang dan jadi momok menakutkan, sehingga menghadirkan ketakutan, alergi, dan degradasi kepercayaan politik diruang publik.
Bagaimana dengan Morowali yang saat ini sedang menghadapi proses pemilihan kepala daerah (Pilkada), akankah Pilkada menampilkan wajah garang yang memberangus moralitas bahkan nilai-nilai persaudaraan? Wajah garang itu akan tercipta tergantung sejauh mana tingkat kesadaran dan peran kita semua. Mari sejenak merenung dan menumbuhkan kesadaraan bahwa Pilkada selain untuk memilih pemimpin juga sekaligus menguji kedewasaan serta kekeluargaan masyarakat Morowali. Upaya menumbuhkan kesadaran oleh semua pihak juga merupakan cara menciptakan Pilkada yang diharapkan, yaitu Pilkada aman dan damai. Jauh sebelumnya semboyan Morowali Tepe Asa Moroso yang artinya Bersatu Kita Teguh (read: Tepeasa Moroso, Ismail P. Dehi, 2014) telah menjadi pegangan masyarakat Morowali. Semboyan ini tidak boleh dipandang kaku hanya semata untuk Bersatu Kita Teguh dalam hubungan sosial dan budaya semata, tetapi dapat ditarik pada ruang politik melalui Pilkada. Kualitas Pilkada (konflik) yang dihasilkan merupakan istrumen ukuran tingkat kesadaran dan kedewasaan masyarakat dalam menyikapi semboyan Tepe Asa Moroso. Semboyan ini harus dijadikan tameng untuk menghadapi potensi pertikaian oleh mashing-masing pihak karena ia akan diuji kekuatannya melalui Pilkada.
Saat ini terdapat lima pasangan calon (Paslon) Bupati beserta masing-masing pendukungnya. Masyarakat Morowali akan “dipaksa” terpecah menjadi lima bagian kelompok besar, masing-masing kelompok pendukung berharap agar paslon dukungannya menang. Untuk meraih kemenangan banyak kiat-kiat kreatif yang dilakukan oleh masing-masing pendukung, semua usaha itu bertujuan untuk memenangkan jagoan. Dalam usaha meraih kemenangan kita berharap agar cara yang dilakukan masih tetap pada rel moral, kekeluargaan dan rasa persaudaraan yang tinggi dan tentunya masih berpengang teguh pada semboyan Tepe Asa Moroso walaupun perbedaan pilihan dan cara pandang kadang selalu hadir disetiap ruang diskusi dan debat. Perbedaan itu hal yang lumrah dan sering terjadi dalam kehidupan kita, perbedaan dianggap sunatullah bagi manusia. Cara menyikapi perbedaan, menyelesaikan masalah, serta menyikapi semboyaan Tepe Asa Moroso oleh masing-masing kelompok maupun individu merupakan alat uji kematangan pribadi kita, disitulah letak kualitas setiap orang. Semoga semboyan itu benar-benar tercermin dalam Pilkada kali ini, mampu menjahit kembali tali persaudaraan yang semakin terbuka lebar jaraknya, menjadi obat yang telah tersakiti hatinya. Hal ini juga sekaligus upaya untuk merawat warisan para pendahulu kita, Tepe Asa Moroso. Damailah Negeriku.
Discussion about this post