Sampai kapan kami dianaktirikan?
Kalimat itu meluncur lirih dari Yanti—nama samaran—saat menceritakan kondisi yang dialami oleh masyarakat Pulo (pulau, red) saat ini. Setelah pemadaman lampu yang berlangsung selama hampir lima bulan baru saja berakhir sebulan lalu, sekarang mereka kembali merasakan hal yang sama.
Sudah lima hari terakhir, lampu di wilayah mereka tak kunjung menyala. PLN sebagai pihak yang bertanggung jawab pun memilih bungkam. Tidak ada pemberitahuan jadwal pemadaman, tidak ada penjelasan soal penyebab pasti terjadinya pemadaman, pun hilal kapan rumah mereka kembali terang juga tak kunjung datang. Secarik kertas dari Kepala PLN Sub Rayon Ulunambo yang dirilis dua hari lalu hanya menambah beban penderitaan mereka.
Masyarakat semakin dibuat resah. Yanti bersama masyarakat Pulo lainnya semakin stres dengan kondisi yang mereka alami. Sebagai seorang petugas yang melakukan pendataan di lapangan, Yanti membutuhkan listrik untuk menunjang pekerjaannya. Setiap hari ia menggunakan gawai untuk mendata sehingga ketiadaan listrik membuat pekerjaannya cukup terbengkalai.
Untuk menambah daya padai gawai yang digunakannya, Yanti terpaksa harus menuju sebuah masjid yang terletak di sebuah bukit dengan akses tempuh yang cukup jauh. Masjid tersebut memanfaatkan tenaga surya sehingga Yanti dan teman-temannya yang juga petugas lapangan dapat mengisi daya pada gawai mereka setiap harinya.
Ketiadaan listrik juga berdampak pada suplai air. Listrik yang mati tidak dapat menggerakan pompa air sehingga tandon air di rumah-rumah warga kering tak berisi. Walhasil, masyarakat harus menimba air pada sumur-sumur mereka. Bagi Yanti, pekerjaan menimba air tersebut membuat kehidupan mereka pun masyarakat Pulo lainnya semakin terjajah baik fisik maupun batin.
“Mungkin orang-orang bilang baru juga ba timba sumur so mengeluh. Tapi kita so kerja dari pagi sampai sore di lapangan, pulang mau mandi kami harus ba timba lagi. Macam sedih sekali dirasa, sudah setengah mati kita kerja di lapangan, pulang mau istirahat tapi harus ba angkat air lagi”, ucap Yanti pada Kamputo.com.
Yanti juga menambahkan bahwa terkadang sebagian masyarakat harus menadah hujan saat musim hujan untuk mencukupi kebutuhan air harian mereka. Suatu kondisi yang mengenaskan di tengah gempuran investasi yang begitu besar di Morowali saat ini.
“Bagi yang kaya ada mesinnya, tapi untuk yang kurang mampu dorang ba tadah air hujanmi kasian”, ucapnya lirih.
Di era kiwari, listrik menjadi penopang kehidupan masyarakat. Sayang, pembangunan infrastruktur di daerah pelosok acap kali di nomorduakan. Memang bukan hal yang baru ketika pembangunan di daratan lebih diutamakan dibandingkan daerah pelosok. Dan hal ini juga juga terjadi di wilayah Kecamatan Menui Kepulauan yang sangat tertinggal dari segi infrastruktur.
Tak hanya listrik yang sering kali mati, jaringan internet pun demikian. Nina—nama samaran— mengungkapkan bahwa keterbatasan jaringan membuat mereka harus mencari tempat yang jangkauan jaringannya bagus seperti di atas bukit. Bahkan terkadang mereka harus ke Kota Kendari saat pekerjaan mereka menuntut adanya konektivitas jaringan yang memadai.
Sebagai warga pendatang yang baru lima bulan tinggal di Menui Kepulauan, Nina cukup kesulitan beradaptasi saat pertama kali menginjakkan kaki di wilayah ini. Ia tidak bisa mengupload foto atau stories di laman media sosial miliknya, tidak bisa melakukan video call dengan sanak keluarganya, pun menelusuri web internet yang menjadi kebiasaan sehari-seharinya. Kehidupannya berubah 1800 sejak menjadi abdi negara di wilayah ini.
Jika di kampung halamannya yang sebelumnya status bar ponselnya selalu menampilkan ikon 4G atau terkadang 3G saat jaringan sedang tidak stabil, di tempatnya yang sekarang ikon sinyalnya tidak tampil atau terkadang hanya menampilkan satu bar saja.
“Di sini mah 4G rasa Edge”, ujarnya.
Nina juga mengungkapkan kondisi yang mereka alami sebagai petugas kesehatan yang hampir setiap harinya berjibaku dengan aplikasi online. Penginputan data yang serba online saat ini membuat mereka keteteran. Dengan kondisi jaringan yang tidak memadai, terkadang mereka harus menunggu hingga tengah malam menjelang. Sayang, ekspektasi sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Jaringan tetap saja tidak bagus sehingga mau tak mau mereka harus menuju desa tetangga dengan waktu tempuh yang lumayan lama, sekitar 20-25 menit. Di desa tersebut, ada sebuah bukit yang cukup tinggi yang dapat menjangkau jaringan. Di situlah mereka duduk menginput data semalaman.
Di akhir bulan, kondisi yang mereka alami semakin parah. Sekali input, mereka membutuhkan waktu selama tiga hari. Dengan kondisi jaringan yang bahkan untuk log-in aplikasi sangat sulit, ditambah bukit yang aksesnya jauh membuat mereka memutuskan ke Kota Kendari. Menyeberang pulau, melawan ombak kencang, menunaikan tanggung jawab, dan kemudian kembali ke kampung. Roda kehidupan yang mereka lakukan sejak dulu, sekarang, bahkan sampai ke depan jika kondisi ini tidak segera diubah.
Di Kecamatan Menui Kepulauan, hanya ada satu BTS (Base Transceiver Station) atau jaringan penangkap satelit yang digunakan oleh ribuan orang yang tersebar di 11 desa. Hal ini menyebabkan jaringan di wilayah ini sangat tidak bagus, dan acap kali bisa hilang seharian ketika mengalami gangguan.
Ketiadaan jaringan yang stabil dan lancar juga berdampak pada akses informasi yang kurang. Lina—nama samaran— bercerita bahwa ia beberapa kali tidak mengikuti seminar online yang diadakan oleh beberapa instansi dikarenakan jaringan yang tidak memadai. Padahal menurut Lina, seminar online yang dibuat tersebut gratis, berbeda saat sebelum pandemi yang sekali ikut harus membayar mahal.
“Bagaimana mau ikut, buka (aplikasi) zoom saja kayak ba tunggu air laut surut. Lama sekali”, ujarnya dengan kesal.
Jaringan telekomunikasi yang cepat dan stabil juga dipengaruhi oleh ketersediaan aliran listrik. Pemadaman di wilayah Kecamatan Menui Kepulauan yang berlangsung selama beberapa bulan terakhir tak pelak berdampak pada konektivitas jaringan yang buruk. Untuk menyalakan seluruh sistem BTS dibutuhkan pasokan listrik dari PLN. Lalu bagaimana mungkin BTS memancarkan jaringan sedangkan aliran listrik tidak ada?
Umumnya, BTS memiliki cadangan listrik dari genset maupun baterai untuk mendukung pasokan listrik. Keduanya digunakan saat listrik padam. Sayang sumber back-up tersebut tidak bertahan lama sebab jika solar dan baterai habis, maka terputus juga aliran listriknya. Dan wilayah Kecamatan Menui Kepulauan tidak memiliki sumber back-up-an sehingga jika listrik padam, maka jaringan juga mengalami hal yang sama. Sama-sama buruk. Double kill.
Ketiadaan jaringan listrik dan sinyal adalah fakta keterbatasan yang dialami oleh masyarakat Pulo. Tidak banyak yang berubah saat janji-janji dari elit politik digaungkan. Bahkan mereka selalu menjadi kelompok yang dimarginalkan, diberikan harapan palsu seolah kehidupan mereka akan semakin sejahtera. Padahal listrik dan konektivitas jaringan yang stabil menjadi kebutuhan primer yang harus diperhatikan di era modernitas saat ini.
Saat era 5G telah dimulai, saat teknologi kian mutakhir, saat dua perusahaan raksasa Cina di Morowali berhasil menandatangani kontrak puluhan triliun rupiah dengan perusahaan asal Amerika-Tesla, Kabupaten Morowali yang konon merupakan daerah maju masih berkutat pada permasalahan klisenya yaitu sinyal yang buruk dan mati-mati lampu.
Tidak usah memimpikan Morowali sebagai kabupaten smart city jika persoalan dasar nan vital seperti ini saja diabaikan. Perkembangan teknologi dan digital harusnya dibarengi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai. Jika dibiarkan terus menerus tanpa ada usaha untuk mengubah tradisi pembiaran pada wilayah Pulo, tingkat kesenjangan akan semakin tinggi. Wilayah daratan semakin maju dan wilayah Pulo yang tertinggal bahkan akan semakin tertinggal.
Ubahlah, agar tag line “Morowali Sejahtera Bersama” tidak hanya sebatas janji manis belaka.
Discussion about this post