Mengapa lapangan sepak bola Bungku yang berlokasi di Kelurahan Marsaoleh diberi nama Taman Sangiang Kinambuka ? bukan Taman Abdurrabbie ?
Pertanyaan itu dilontarkan Moh. Yasir atau lebih akrab disapa Yasir Sakita memulai diskusi publik yang diselenggarakan Kamputo.com beberapa pekan lalu. Sekilas pertanyaan itu tidak terlalu mengundang rasa ingin tahu para peserta diskusi, sebab orang Bungku mengenal sosok Sangiang Kinambuka sebagai pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Bungku. Namun, ketika kembali diajukan pertanyaan tentang kapan Kerajaan Bungku berdiri, seketika forum tiba-tiba hening.
Sejarah Kerajaan Bungku memang selama ini terbelenggu oleh tradisi lisan yang sudah sangat mengakar di kalangan masyarakat Bungku. Padahal, tradisi lisan rentan terhadap distorsi atau kekeliruan pemaknaan, sehingga penelusuran sumber dan kritik data sangat penting dilakukan.
Fenomena tersebut kemudian menggelitik nalar Yasir Sakita untuk mengumpulkan catatan demi catatan tentang Kerajaan Bungku.
Sebenarnya, buku terkait sejarah Bungku telah ditulis oleh sejarawan sekaligus dosen Universitas Tadulako Palu, alm. Syakir Mahid pada 2012 lalu. Bekerjasama dengan Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Morowali dan Tadulako Press, mereka menyusun sebuah buku yang diberi judul Sejarah Kerajaan Bungku. Walhasil buku tersebut kemudian menjadi rujukan utama ketika mencari data terkait Bungku. Kesuksesan beliau bersama tim dalam membukukan sejarah Bungku dalam kurun waktu singkat patut diacungi jempol sebab beliau menjadi orang pertama yang menuliskan sejarah Bungku dalam sebuah catatan tertulis.
Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apakah buku tersebut layak untuk dijadikan rujukan utama ?
Saya tidak ingin menjawab Ya maupun Tidak. Namun yang pasti pada 2017 lalu saat saya bertandang ke rumah beliau dalam rangka mencari referensi penelitian di kota Palu, beliau berpesan agar buku tersebut direvisi. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa buku Sejarah Kerajaan Bungku tersebut tidak serta merta bisa menjadi rujukan utama.
Pertama, ketidaksesuaian judul dengan isi buku. Judul buku tersebut adalah Sejarah Kerajaan Bungku, namun isi buku saling tumpang tindih dan tidak tersusun secara sistematis. Misalnya pada BAB II sub-bab C malah membahas sosial-budaya masyarakat Bungku yang tidak punya korelasi dengan judul buku. Hal ini juga ditemukan pada BAB III yang membahas tinggalan arkeologis Bungku, itupun hanya mengandalkan hasil wawancara.
Kedua, kritik data yang kurang. Dalam penulisan sejarah, kritik data yang dilakukan secara intern dan ekstern penting untuk diperhatikan. Sayang, data yang didapatkan sebagai rujukan pada saat pengumpulan data malah ditelan mentah-mentah tanpa melakukan kritik dan interpretasi data secara mendalam. Padahal, sebagai pionir ditambah tradisi tutur yang sangat kuat, seharusnya penelusuran data secara tertulis lebih diperdalam untuk meminimalisir distorsi.
Ketiga, data yang tidak up-to-date. Dalam buku Sejarah Kerajaan Bungku, catatan tertua yang dijadikan sebagai rujukan yang di dalamnya memuat kata Bungku adalah sebuah kartografi berjudul La Kartographie Neerlandaise de la Celebes. Ditulis oleh seorang kartografer terkenal asal Portugis yaitu Hessel Gerrits pada 1622, kartografi tersebut memuat kata Tobuquo yang merupakan nama Bungku saat itu.
Melalui penelusuran pustaka terbaru yang dilakukan oleh Yasir Sakita, catatan tentang Bungku berada pada rentang waktu yang lebih tua dibandingkan pada apa yang tertulis dalam buku Sejarah Kerajaan Bungku. Catatan tersebut ditulis oleh Andres de Urdaneta yang merupakan seorang navigator dan penjelajah asal Spanyol. Dia menuliskan kata Tubuzu dalam catatannya yang bisa dilihat pada paragraf berikut :
“Al Sudueste de Maluco está una isla grande que se llama Tubuzu, y hay en ella mucho fierro en gran cantidad , de donde se proveen todas las dichas islas de aquellas partes, é también se lleva á la Jaba, é á Timor, é á Burney, é yo estuve en la dicha isla cou los indios de Gilolo, é todo el fierro que venden es labrado.
Al Oeste desta isla muy cerca están las islas de Macazares, donde hay mucho oro….
Junto á la dicha isla de Tubuzu, por la parte del Leste, está una isla pequeña que se llama Bangay….”
Yang memiliki arti :
“Di sebelah Barat Daya Maluco (Maluku) ada sebuah pulau besar bernama Tubuzu, di mana ada banyak besi yang tersedia dibagian pulau ini, besi-besi disini dibawa ke Jaba (Jawa), Timor dan Burney (Kalimantan). Saya pergi ke pulau itu dengan beberapa orang Gilolo (Jailolo).
Di sebelah barat pulau ini sangat dekat dengan pulau Macazares (Makassar), di mana terdapat banyak emas …
Di sebelah pulau Tubuzu tersebut, di sisi timur, ada pulau kecil bernama Bangay (Banggai)….”
Dengan ini, jelaslah bahwa Tubuzu menjadi catatan tertua dalam sejarah Bungku yang pernah ditulis oleh para penjelajah Eropa. Bukan lagi kata Tobuquo yang diyakini oleh masyarakat Bungku selama ini.
Penemuan selanjutnya adalah Sakita sebagai ibukota Kerajaan Bungku. Entah bagaimana ceritanya, Sakita seakan dihilangkan dari sejarah Kerajaan Bungku. Padahal, selama tiga abad berturut-turut mulai dari abad ke-16 hingga ke-19, catatan demi catatan para penjelajah Eropa menuliskan Sakita sebagai ibukota Kerajaan Bungku. Lalu, mengapa masyarakat Morowali dewasa sekarang hanya mengenal Bahontobungku dan Lanona? apakah memang kedua desa tersebut pernah menjadi ibukota Kerajaan Bungku?
Kemudian, lokasi masjid Tua Bungku pertama disebutkan di Kelurahan Marsaoleh saat ini. Padahal jika mengacu pada litograf Bungku tahun 1850, sangat jelas terlihat ada sebuah bangunan masjid di pesisir pantai desa Lanona yang memang pernah menjadi ibukota Kerajaan Bungku. Jadi, persepsi yang mengatakan bahwa masjid tua pertama berada di Kelurahan Marsaoleh sangat keliru.
Tulisan ini bukan bermaksud mendiskreditkan buku yang ditulis oleh alm bersama tim. Namun, kami berusaha untuk memperbaiki kekeliruan sejarah yang selama ini menjadi kepentingan kelompok tertentu. Bukan hal baru lagi, jika sifat penangia-nangia dan politik identitas kesukuan di kalangan orang Bungku sangat tinggi. Masing-masing kelompok saling mendaku sebagai yang superior.
Terlebih lagi Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali di era kiwari hanya fokus mengurusi kepentingan ekonomi, membuka keran investasi untuk para investor yang berujung pada tumbuh suburnya oligarki daerah, dan budaya populer yang kian menggeser nilai-nilai kearifan lokal. Kita, masyarakat Bungku, kian mengalami krisis identitas.
Kalau sudah seperti itu, mau jadi seperti apa daerah ini di masa mendatang?
Discussion about this post