Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata Sakita ?
Kebanyakan masyarakat Bungku pasti akan menjawab bahwa Sakita adalah sarang patidu (tempat berkumpulnya orang yang suka berkelahi). Stereotip ini tidak muncul begitu saja sebab pada beberapa kasus yang menghebohkan seperti perkelahian dan pemukulan, pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah orang Sakita. Bahkan karena banyaknya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan orang Sakita, sebuah lagu fenomenal tercipta dengan lirik awal seperti ini :
“Sakita mendadi patidu …”
Lirik yang begitu mokokoafa, mokokohapati, barahanta, dan nai kokona
Namun, saya tidak ingin mengulas lebih jauh streotip yang melekat erat pada orang-orang Sakita. Sebab ada hal lain yang lebih penting, lebih menarik, dan mendesak untuk diketahui oleh masyarakat Morowali bahwa Sakita adalah ibukota Kerajaan Bungku yang dilupakan. Ya dilupakan. Entah sengaja dilupakan atau memang karena tradisi tutur yang kuat hingga menciptakan missink link dalam sejarah Bungku.
Dalam wawancara khusus yang dilakukan oleh Kamputo.com kepada Yasir Sakita beberapa hari lalu, beliau membeberkan bukti-bukti tertulis yang mendokumentasikan Sakita sebagai ibukota Kerajaan Bungku. Melalui penelusuran sumber pustaka yang dilakukannya selama beberapa tahun terakhir, dia berhasil memecahkan misteri sejarah Bungku yang selama ini masih mengawang-ngawang. Berkat bantuan dari beberapa peneliti luar negeri, catatan demi catatan dari penjelajah Eropa yang pernah singgah di wilayah Tobungku bisa mudah diaksesnya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Sakita sebagai ibukota Kerajaan Bungku ratusan tahun silam lalu berbeda dengan Sakita sekarang.
Lalu, apa yang bisa membuktikan bahwasanya Sakita adalah ibukota Kerajaan Bungku ?
Pertama, sebuah peta Pelabuhan Pantai Timur Sulawesi yang dibuat pada 1855 dengan judul : Reede Sakita (Tamboekoe), Oostkust Celebes yang berarti Pelabuhan Sakita (Tamboekoe) di Pantai Timur Sulawesi. Peta ini dibuat dalam rangkaian ekspedisi Hindia Belanda di Pantai Timur Sulawesi menggunakan kapal ZM Stoomschip Vesuvius.
Mengapa disebut Pelabuhan Sakita ? Ya, karena pada saat itu, ibukota Kerajaan Bungku baru saja dipindahkan dari Lanona ke Sakita. Dan tidak banyak yang tahu jika sebenarnya Pelabuhan Bungku yang ada di Kelurahan Marsoleh sekarang, pada pertengahan abad ke-19 dikenal dengan nama Reede Sakita (Pelabuhan Sakita). Belanda bahkan membangun sebuah pos perdagangan yang juga diberi nama Pos Sakita dengan menempatkan seorang Posthouder atau penjaga pos perdagangan. Orang-orangtua Bungku sering menyebut dengan istilah Posihode.
Kedua, ada sebuah surat kabar Belanda yaitu Eerste Blad tertanggal 3 Desember 1903 mengeluarkan berita dengan judul Dagblad van Zuid-Holland en ‘s-gravenhage. Surat kabar tersebut memuat soal Sakita sebagai ibukota Kerajaan Bungku dan mengulas kembali kerusuhan di Sakita yang terjadi pada 1840.
Beberapa petikan dalam surat kabar tersebut menyebutkan :
In den nacht van 12 op 13 September jl. werd door kwaadwiligen te Sakita, hoofdplaats van het rijkje Tomboekoe (Oostkust van Celebes) de woning van den posthouder aldaar in brand gestoken.
Yang berarti
Pada malam tanggal 12-13 September, orang-orang jahat di Sakita, ibu kota kerajaan Tomboekoe (pantai timur Sulawesi), membakar rumah tukang pos.
Ada lagi redaksi yang mengatakan bahwa:
Naar beneden, “omdat zijn huis evenals alle andere te Sakita op een paar meter hooge palen boven den beganen grond gebouwd is, zal vergoeden”
Yang berarti
Turun, “karena rumahnya, seperti semua rumah lain di Sakita, dibangun beberapa meter di atas tanah”
Kutipan lainya ada juga yang berbunyi seperti ini :
Dat de Tomboekeers van drastische maatregelen houden, blikjt o.a. uit het feit, dat zij in November 1840, met behulp van Boegineezen, de Ternataansche benteng te Sakita afliepen en de geheele bezitting vermoordden, met uitzondering van een officier en vier man die naar Banggai wisten te ontkomen.
Yang berarti
Bahwa para Tombooker menyukai tindakan drastis yang dapat dilihat pada kejadian November tahun 1840, dengan bantuan orang Bugis, mereka keluar dari Benteng Ternataansche di Sakita dan membunuh orang-orang termasuk menjarah harta benda, kecuali satu perwira dan empat orang yang berhasil melarikan diri sampai ke Banggai.
Ketiga, catatan Pieter Bleeker dalam tulisan yang berjudul “Reis door de Minahasa en Molukschen Archipel, Gedaan in de Maanden September en Oktober 1855″. Pieter Bleeker menulis secara eksplisit, bahwa pada 1855 Ibukota Kerajaan Bungku dipindahkan dari Lanona ke Sakita. “De hoofdnegorij van Tomboekoe is in dit jaar verplaatst van Lanona naar Sakita, wat zuidelijker aan de oostkust”
Pieter Bleeker juga mencatat jika jumlah penduduk Bungku pada saat itu sudah mencapai 15.030 Jiwa saat berada di bawah pemerintahan Peapua Baba yang lebih dikenal dengan nama Peapua Lainava atau Peapua Sumopio Nuha. Peapua Baba menjadi Raja Bungku selama 18 Tahun, dan wafat pada 10 Desember 1869.
Lalu, mengapa posisi Sakita sebagai ibukota Kerajaan Bungku seakan hilang ditelan sejarah ?
Pertama, ketiadaan aksara bahasa Bungku dan tidak adanya tradisi tulis yang berkembang di tengah masyarakat. Saat itu, tradisi tutur menjadi satu-satunya media untuk mendokumentasikan peristiwa yang terjadi. Melalui pewarisan dari mulut ke mulut, informasi menyebar secara cepat dan berantai. Namun, tradisi tutur semacam ini memiliki distorsi yang tinggi karena pewarisan dari mulut ke mulut bisa menyebabkan adanya penambahan maupun pengurangan informasi dari si penutur.
Kedua, faktor kesengajaan. Sistem pemerintahan Kerajaan Bungku saat itu berpindah-pindah tempat bergantung pada raja yang terpilih. Siapapun yang menjadi raja, maka rumah kediamannya menjadi istana kerajaan. Dengan adanya sistem seperti itu menyebabkan sistem pemerintahan kerajaan tidak terpusat. Keturunan demi keturunan keluarga kerajaan merasa berhak untuk melanjutkan estafet pemerintahan sehingga kemungkinan posisi Sakita ditiadakan.
Lalu, bagaimana dengan Lanona dan Bahontobungku ? apakah keduanya memang merupakan ibukota Kerajaan Bungku ?
Keduanya benar pernah menjadi ibukota Kerajaan Bungku. Lanona adalah ibukota pertama Kerajaan Bungku yang berpusat di Tanjung Tabelo (dari kata Tobelo) sekitar abad ke-16. Namun tidak lama kemudian, pusat kerajaan dipindahkan ke Sakita karena Sultan Babulah dari Ternate berhasil menaklukan Kerajaan Bungku yang saat itu berada di Lanona. Selain itu, ada juga bukti litograf Bungku tahun 1850 yang memperlihatkan secara jelas kondisi pesisir pantai Lanona.
Sedangkan Bahontobungku dulunya dikenal dengan nama Toroekoesindo yang beribukota di Fafontofure. Hal yang membuat Bahontobungku sangat terkenal adalah karena adanya benteng yang masih berdiri kokoh sampai sekarang dibandingkan Lanona yang bentengnya sudah mengalami kehancuran dan hanya menyisakan fiturnya saja. Benteng tersebut adalah salah satu dari dua situs arkeologis di Kabupaten Morowali yang telah dicatat sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB).
Namun sekali lagi yang perlu dingat adalah bahwa Sakita di masa lampau berbeda dengan Sakita di masa sekarang. Dahulu, wilayah Sakita mencakup wilayah yang luas sebelum adanya perkampungan permanen. Sumber peta Belanda di abad ke-19 dan 20 memperlihatkan jika Sakita adalah wilayah yang luas, membentang dari Marsaoleh sekarang hingga Benteng Fafontofure. Maka jangan heran jika pada beberapa peta-peta tua Belanda, posisi Sakita berbatasan dengan desa Tudua.
Soal berapa lama Sakita menjadi ibukota Kerajaan Bungku, F.S.A de Clerecq sudah menulis pada saat berkunjung ke Bungku pada tahun 1890. “…maar sedert bijna, 200 jaren de Radja te Sakita woont”. Bahwa Raja Bungku sudah tinggal di Sakita sekitar 200 tahun. Itu sudah ditulis de Clerecq 130 tahun yang lalu.
Gimana teha, sudah tahu kan sejarah Bungku yang sesungguhnya ?
Discussion about this post