Ada fenomena menarik yang acap kali ditemukan di Kabupaten Morowali saat bulan Ramadan tiba. Sebuah tradisi turun-temurun yang konon tidak ditemukan di daerah manapun di Indonesia. Tanpa tradisi tersebut, rasanya bulan puasa di wilayah Morowali akan terasa hambar, tidak bermakna, dan biasa aja. Ialah tradisi pendirian bangunan ndengu-ndengu yang digunakan untuk membangunkan masyarakat Bungku saat waktu sahur telah tiba. Ndengu-ndengu menjadi salah satu tradisi keislaman yang melekat kuat pada masyarakat Bungku. Sehingga jika ada orang luar yang bertanya apa tradisi orang Bungku ? maka ndengu-ndengu menjadi jawaban yang sering kali diutarakan.
Namun, tahukah kalian jika tradisi ini hanya ditemukan di wilayah Kecamatan Bungku Tengah saja ?
Kabupaten Morowali terdiri atas 10 kecamatan di antaranya Bungku Tengah, Bungku Barat, Bungku Timur, Bahodopi, Bungku Selatan, Bumi Raya, Witaponda, Menui Kepulauan, Bungku Pesisir, dan Bungku Selatan. Dari kesepuluh wilayah tersebut, bangunan ndengu-ndengu umumnya hanya terpusat di Kecamatan Bungku Tengah saja. Kalaupun ditemukan di wilayah Bungku Barat dan Bungku Timur, ndengu-ndengu di daerah tersebut tidak rutin didirikan tiap tahunnya. Selain itu, dulunya kedua wilayah tersebut secara historis merupakan wilayah dari Kecamatan Bungku Tengah yang kemudian dimekarkan menjadi kecamatan baru. Jadi, adalah sebuah hal yang lumrah jika kemudian tradisi tersebut masih ditemukan di beberapa desa di kedua wilayah tersebut saat ini. Namun, hal yang paling membingungkan adalah ketika tradisi tersebut tidak ditemukan di kecamatan-kecamatan lain.
Ndengu-ndengu sendiri merupakan sebuah menara yang umumnya berukuran kira-kira 2×3 meter, dengan ketinggian mulai dari 5-20 meter dengan pondasi dasar berupa empat batang bambu. Biasanya dibangun di halaman masjid ataupun di belakang pemukiman penduduk yang dibunyikan saat menjelang sahur.
Di dalam bangunan ndengu-ndengu, akan dijumpai alat tetabuhan seperti gong besar, gong kecil, tafa-tafa, ganda, dan pede-pede. Namun dewasa sekarang, anak-anak lebih suka menggunakan perkakas rumah tangga dan barang-barang rongsokan yang mereka kumpulkan jauh-jauh hari sebelum bulan Ramadan tiba. Mereka yang bertugas membunyikan kebanyakan adalah anak-anak sampai remaja yang rela menghabiskan waktu mereka sejak salat tarwih selesai hingga di penghujung sahur.
Soal mengapa ndengu-ndengu hanya ditemukan di wilayah Kecamatan Bungku Tengah lebih banyak dipengaruhi atas rekam jejak Bungku Tengah yang dulunya menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Bungku. Tidak ada catatan historis yang menuliskan kapan tradisi tersebut dimulai. Namun ketika Van Der Vart mengunjungi Bungku pada 1850, ia telah mendengar bunyi tetabuhan menggema di wilayah tersebut. Sayangnya ia sama sekali tidak menuliskan apakah bunyi tetabuhan tersebut berasal dari bangunan ndengu-ndengu atau bukan. Jika merujuk pada catatan historis, pada tahun tersebut masjid tua telah berdiri di Desa Lanona yang merupakan satu-satunya masjid di wilayah kekuasaan Kerajaan Bungku.
Lalu, mengapa kalau ada masjid ? apa hubungannya dengan bangunan ndengu-ndengu ?
Pendirian ndengu-ndengu selalu berkelindan dengan posisinya yang berada di dekat masjid. Namun, bangunan ndengu-ndengu awalnya diperuntukkan sebagai menara pengintai. Ester Joy Velthoen dalam disertasinya yang berjudul “Contested Coastlines: Diasporas, Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680-1905” mengungkapkan bahwa Tobungku (merujuk pada orang-orang Bungku) dikenal sebagai suku yang suka berperang dan anggota bajak laut yang suka merampok.
Selain itu, alat tetabuhan yang digunakan di dalam bangunan ndengu-ndengu dulunya tidak sembarang dibunyikan. Alat tetabuhan tersebut hanya dibunyikan pada acara-acara khusus dan penting saja seperti penyambutan raja. Namun di era kiwari, siapapun bisa membunyikan ndengu-ndengu kendatipun bukan merupakan turunan keluarga kerajaan dengan tetap memperhatikan konteks waktu dan tujuan dibunyikan, salah satunya dibunyikan untuk menyambut bulan puasa.
Kamputo.com kemudian menghubungi Yasher Sakita yang merupakan sejarawan Bungku.
“Dulu satu-satunya masjid cuma Masjid Tua yang berlokasi di Desa Lanona. Kalaupun kemudian beralih fungsi untuk menyambut Ramadan, sudah pasti dibangun di sekitar masjid”.
Ya, posisi masjid Tua yang berada di wilayah Bungku membuat akitivitas keislaman juga terpusat di satu tempat termasuk tradisi pendirian bangunan ndengu-ndengu. Apalagi jika merujuk pada data demografi penduduk pada abad ke-17, jumlah penduduk Bungku saat itu lebih banyak menghuni wilayah Bungku. Hal itu nyatanya turut memengaruhi kehidupan orang Bungku sekarang di mana tradisi tersebut juga ditemukan di Kecamatan Bungku Tengah saja yang juga saat ini menjadi ibukota kabupaten.
Sampai sini, sudah tahu kan teha ?
Discussion about this post