Reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan merupakan aspek penting dalam mengevaluasi pencapaian kinerja suatu Pemerintahan di Daerah. Sebab, kedua aspek ini berperan sebagai “Jantung” daripada seluruh tindakan dan kebijakan suatu pemerintah. Ini dapat berupa bagaimana suatu pemerintah daerah merencanakan, melaksanakan, serta mengevaluasi kebijakan-kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai contoh kasus, terdapat suatu pemerintah daerah yang merencanakan program “pemberdayaan nelayan”. Maka kegiatan-kegiatan pada program ini menjadi cerminan terhadap bagaimana tata kelola pemerintahannya. Pemerintah daerah tersebut bisa saja langsung mengirimkan bantuan berupa perahu fiber tanpa perlu melibatkan masyarakat nelayan dalam perencanaannya. Namun, pemerintah daerah yang berkomitmen mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik akan berusaha untuk mencari tahu mengenai apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh nelayan, memastikan pelaksanaan berjalan efektif, serta mengevaluasi secara berkala pencapaian tujuan pemberdayaan.
Sama halnya pada kasus “pendidikan”, pemerintah daerah telah merayakan keberhasilan pendidikan melalui pengalokasi dana sejumlah miliaran rupiah. Namun, lebih jauh penulis memandang bahwa sejatinya tata kelola pemerintahan yang baik tentunya tidak hanya berdasar pada besaran biaya yang dialokasikan, akan tetapi juga memastikan bagaimana aspek kualitas dan asas manfaat setelah bantuan itu diberikan. Oleh karena itu, tercermin perbedaan antara pemerintah daerah yang menjadikan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan sesuatu yang penting dengan pemerintah daerah yang mengabaikannya.
Dalam rangka menunjukkan kendala penerapan governance pada Pemerintahan di Morowali, tulisan yang hadir di depan pembaca akan diawali dengan diskursus Manajemen Perubahan, kemudian disusul dengan Penataan Organisasi dan Kelembagaan, Penataan Tata Laksana, Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), Kualitas Pelayanan Publik, Inovasi Pelayanan Publik di Sektor Organisasi perangkat Daerah, dan Dilema Perencanaan Partisipatif. Diskursus ini tentunya penting untuk kemudian menjadi kunci dalam memahami permasalahan-permasalahan yang terjadi pada sektor-sektor lain seperti perikanan, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Sebab, sektor-sektor ini tidak terlepas dari grand design reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Dengan pemahaman yang holistik terhadap problema tata kelola yang dihadapi, ini mengantarkan kita untuk mendapatkan solusi yang substansial, inovatif, dan berkelanjutan.
Manajemen Perubahan
Ketika membahas mengenai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam kerangka reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan daerah, topik penting yang harus ditekankan adalah adaptasi organisasi. OPD memegang peran krusial sebagai komponen utama dalam mekanisme birokrasi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program-program pemerintah dan pelayanan masyarakat. Dalam menghadapi dinamika perubahan yang begitu cepat di luar organisasi, OPD harus dapat menyesuaikan diri untuk merespons perubahan ini. Salah satu aspek krusial adalah beradaptasi dengan evolusi kebutuhan masyarakat dan perubahan harapan terkait pelayanan publik seiring berjalannya waktu. Karena itu, responsivitas dan kemampuan beradaptasi OPD menjadi sangat penting dalam menghadapi transformasi ini.
Organisasi yang memiliki adaptabilitas tinggi mempromosikan budaya yang mengakui perubahan sebagai hal yang alami dan penting. Ini membawa kita kepada urgensi menerapkan prinsip-prinsip organizational learning. Organisasi atau OPD yang tidak mengadopsi prinsip-prinsip organizational learning akan mengalami kesulitan dalam mengatasi permasalahan kompleks seperti manajemen sampah dan penanganan masalah kesehatan masyarakat (PMS). Salah satu indikasi dari kurangnya penerapan prinsip organizational learning, seperti yang telah diidentifikasi dalam pemerintahan di Morowali, adalah ketiadaan refleksi pembelajaran mengenai keberhasilan program penanggulangan stunting. Hasil penanggulangan stunting seharusnya bisa menjadi pedoman yang diterapkan pada isu kesehatan lain yang juga kompleks. Misalnya, intervensi dengan 8 langkah-langkah strategis yang efektif dalam menangani stunting dapat digunakan sebagai dasar untuk menghadapi tantangan persampahan dan PMS. Namun, tanpa menerapkan prinsip-prinsip organizational learning, organisasi atau OPD di Morowali yang membidangi isu ini tidak memiliki kapasitas untuk mengadopsi dan menyesuaikan kerangka kerja yang ada.
Keberhasilan dalam menangani stunting di Morowali dapat dicapai dengan melibatkan berbagai pihak, seperti Dinkes, OPD lain, TNI, CSR Perusahaan, dan elemen Masyarakat lainnya, seperti yang diinstruksikan oleh pemerintah pusat. Proses ini difasilitasi melalui pembentukan Tim Konvergensi atau Tim Kolaboratif. Namun, karena tidak ada prinsip organisasi pembelajaran yang diadopsi, kerja sama semacam itu tidak diterapkan secara luas untuk menangani permasalahan kesehatan lainnya seperti persampahan dan PMS.
Meskipun keduanya merupakan permasalahan yang kompleks melibatkan banyak pemangku kepentingan, kerja sama serupa bisa diaplikasikan dalam mengatasi tantangan kesehatan ini. Oleh karena itu, Tim Konvergensi sebenarnya dapat dibentuk untuk mengumpulkan semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam menangani isu persampahan dan PMS. Dalam pendekatan ini, setiap pihak dapat saling berbagi pengetahuan, pengalaman, dan strategi yang telah terbukti efektif dalam menangani stunting. Langkah-langkah strategis yang digunakan dalam mengatasi stunting dapat disesuaikan dan diterapkan dengan tepat dalam konteks penanganan isu persampahan dan PMS.
Penataan Organisasi dan Kelembagaan
Pentingnya penataan organisasi dan kelembagaan tidak dapat diabaikan dalam konteks evaluasi kemanfaatan kebijakan yang telah disusun pada agenda reformasi birokrasi Pemerintahan di Morowali. Namun, melalui hasil penelusuran penulis dalam berbagai dokumen pemerintah seperti Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) menunjukkan fenomena yang mengkhawatirkan dalam semangat reformasi birokrasi yang dilaksanakan pada Pemerintahan di Morowali. Dimana, hal ini terkonfirmasi pada indikator kinerja dari OPD yang masih menyandarkan pada besaran jumlah dalam mengevaluasi kegiatan atau program. Terlihat bahwa fokus evaluasi masih berpusat pada ukuran kuantitas, tanpa memberikan dorongan yang cukup pada aspek kualitas dan prinsip manfaat yang seharusnya menjadi inti dari evaluasi kebijakan (Baca: Dunn 2003)
Sebagai contoh konkrit, desain kegiatan dari berbagai OPD, lebih cenderung memusatkan perhatian pada pemenuhan dokumen (Baca, LKPD Morowali 2023), tanpa memperhatikan kualitas pelaksanaan atau dampak yang dihasilkan. Hal ini memunculkan risiko bahwa upaya tersebut hanya terbatas pada pencapaian formal, tanpa mempertimbangkan secara holistik kualitas layanan yang disediakan.
Begitu juga, evaluasi keberhasilan program seringkali diukur semata-mata berdasarkan besaran biaya yang dikeluarkan, dan jumlah penerima manfaat. Dalam penelusuran penulis pada Rencana Aksi, Capaian Kinerja dan Evaluasi dari beberapa Organisasi Perangkat Daerah, seperti Dinas Pendidikan ditemukan bahwa dalam konteks mengukur keberhasilan program bantuan mahasiswa masih mendasarkan pada besaran jumlah. Spesifiknya, misalnya perencanaan penerima bantuan pada tahun 2019 ditargetkan 2509 penerima, kemudian realisasinya mencapai 2509, maka dikatakan capaian kinerja mencapai 100% (Baca; Rencana Aksi Program Kegiatan Dinas Pendidikan Morowali 2019). Bertolak dari fenomena demikian, tentunya hal ini hanya mengukur sisi kuantitas dan belum mencakup kualitas pelayanan yang seharusnya memberikan manfaat yang optimal bagi penerima. Pentingnya memperluas cakupan evaluasi untuk mencakup aspek kualitas dan manfaat adalah suatu kebutuhan yang harus diakui dan diimplementasikan dengan serius. Evaluasi seharusnya menggambarkan sejauh mana sebuah program atau kegiatan mampu memenuhi tujuan-tujuan inti dan memberikan nilai tambah nyata bagi masyarakat.
Penataan Tata Laksana
Dalam konteks reformasi birokrasi, Pemerintah Daerah Morowali telah secara aktif mendorong dan mendukung upaya penataan tatalaksana guna meningkatkan kualitas pelayanan. Salah satu implementasi nyata dari upaya ini adalah melalui langkah-langkah digitalisasi arsip. Pengelolaan dan implementasi digitalisasi arsip di lingkungan Pemerintahan Morowali menjadi langkah strategis untuk mengoptimalkan efisiensi dan efektivitas pelayanan di berbagai satuan OPD terkait.
Namun, temuan penulis yang didukung oleh data sekunder menunjukkan bahwa penerapan digitalisasi arsip belum mencapai tingkat optimal di sejumlah OPD terkait. Sebagai contoh, dalam konteks Dinas Pendidikan, masih terlihat penggunaan metode pelayanan yang bersifat tradisional. Praktik ini terlihat dari penggunaan “map” fisik yang masih menjadi alat dalam pengurusan bantuan mahasiswa setiap tahunnya. Situasi ini menegaskan bahwa implementasi digitalisasi arsip di Dinas Pendidikan Morowali masih memerlukan peningkatan signifikan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pelayanan yang diberikan dapat berjalan dengan lebih efisien dan efektif sesuai dengan arah kebijakan Pemerintah Daerah Morowali.
Terlepas dari upaya digitalisasi arsip, Pemerintah Morowali sangat mengedepankan dan mendorong penguatan implementasi keterbukaan informasi publik. Keterbukaan informasi publik menjadi salah satu langkah penting dalam reformasi birokrasi yang diusung oleh Pemerintah Daerah. Tujuannya adalah untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih terhadap kebutuhan masyarakat.
Lebih jauh, Pemerintah Daerah telah memprioritaskan komitmen untuk memastikan bahwa informasi publik tersedia dengan mudah dan transparan bagi masyarakat. Upaya keterbukaan informasi ini merupakan salah satu pilar penting dalam agenda reformasi birokrasi yang digulirkan oleh Pemerintah Daerah. Dengan tegas, pemerintah berkomitmen untuk menjadikan informasi publik sebagai aset yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Dalam rangka mewujudkan komitmen tersebut, langkah-langkah penting telah diambil. Salah satu di antaranya adalah melalui publikasi data dan informasi secara terbuka melalui berbagai platform yang dapat diakses oleh masyarakat. Di antara platform yang digunakan adalah website resmi pemerintah daerah yakni morowalikab.go.id, dan media sosial lainnya. Meskipun langkah-langkah ini telah diambil, penelusuran yang penulis lakukan bersama dengan hasil wawancara menunjukkan bahwa platform yang berperan sebagai saluran informasi publik belum berjalan dengan optimal.
Hal ini menjadi jelas ketika sulitnya memperoleh dokumen terbaru terkait Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dari beberapa OPD. Tidak hanya itu, akses terhadap dokumen yang berkaitan dengan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan Survei Kepuasan Masyarakat juga masih sangat terbatas. Situasi ini memunculkan permasalahan yang patut diperhatikan lebih lanjut.
Kondisi ini menegaskan bahwa masih ada ruang untuk peningkatan signifikan dalam mengoptimalkan pemanfaatan platform sebagai sarana keterbukaan informasi publik. Diperlukan upaya lebih lanjut dalam memastikan bahwa dokumen-dokumen penting tersebut dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Sistem manajemen SDM
Kebijakan mengenai peningkatan perbaikan penghasilan serta insentif ASN dan PHL merupakan bagian dari sistem reward/hadiah Pemerintah Daerah Morowali. Hal ini dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan hidup pegawai di lingkup pemerintahan. Di luar dari kelemahan kebijakan reward pemerintah Daerah, penulis akan menyoroti persoalan sistem punishment/hukuman kepada ASN. Sebab, hukuman merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem hadiah. Ini juga termaktub dalam Peraturan Bupati nomor 6 Tahun 2021 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Pada tanggal 24 Agustus 2023, penulis melakukan observasi mendalam di beberapa OPD di lingkungan Pemerintah Daerah Morowali, salah satunya adalah Dinas Pendidikan. Observasi ini difokuskan pada masalah kedisiplinan pegawai ASN dalam menjalankan tugas mereka. Hasil observasi menunjukkan adanya masalah yang signifikan terkait keterlambatan pegawai di Dinas Pendidikan. Penulis mencatat bahwa beberapa pegawai tiba terlambat, khususnya setelah akhir waktu istirahat. Tingkat keterlambatan ini bervariasi antara 30 hingga 60 menit setelah jam kerja dimulai. Keterlambatan ini menjadi sumber kekhawatiran karena dapat mengganggu produktivitas dan kualitas layanan yang diberikan oleh Dinas Pendidikan.
Pertanyaan yang muncul sebagai hasil dari observasi ini adalah mengenai penegakan sanksi bagi pegawai yang datang terlambat. Penegakan sanksi terhadap keterlambatan pegawai menjadi sulit dan tidak efisien. Hal ini dapat menghambat upaya untuk meningkatkan disiplin kerja dan efisiensi di lingkungan Dinas Pendidikan. Keterlambatan pegawai ASN menjadi perhatian penting karena dapat mengganggu operasional Pemerintah Daerah, memperlambat pelayanan publik, dan merusak citra Pemerintah Daerah di mata masyarakat. Terlebih, dalam sistem perbaikan penghasilan ASN pada Peraturan Bupati nomor 6 Tahun 2021 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil menjelaskan bahwa bagi pegawai yang terlambat akan dikenakan pemotongan insentif yang memiliki variasi tergantung tingkat keterlambatan. Hal ini merupakan langkah maju dalam hal penanganan permasalah disiplin melalui sistem reward insentif, namun tanpa implementasi yang baik hal ini akan menyerap anggaran percuma. Dapat dibayangkan jika penegakan aturan keterlambatan diabaikan, maka ASN bersangkutan tetap mendapatkan insentif penuh meskipun banyak kali terlambat. Ini kemudian berdampak pada pemborosan anggaran publik.
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Salah satu agenda reformasi birokrasi pada Peraturan Bupati Nomor. 15 Tahun 2022 adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik. Dalam upaya meningkatkan pemberian pelayanan kepada masyarakat adalah melalui Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) yang dilakukan secara rutin, konsisten, dan menyeluruh. SKM membantu pemerintah dan organisasi publik untuk mengukur sejauh mana mereka telah berhasil dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. SKM adalah salah satu upaya pelibatan partisipasi masyarakat. Ini memberikan pemahaman yang jelas tentang kualitas pelayanan yang diberikan dan apakah ada area yang perlu perbaikan melalui partisipasi masyarakat. Selain itu, SKM juga dapat digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Ini membantu pemerintah dan organisasi publik dalam merencanakan langkah-langkah perbaikan dan mengalokasikan sumber daya dengan lebih efisien. Oleh karena itu tiap OPD selayaknya mengadakan SKM khususnya bagi OPD yang berkaitan dengan pelayanan publik secara langsung.
Di Morowali, berdasarkan hasil wawancara dan observasi di berbagai SKPD, SKM belum dilakukan secara merata dan rutin. OPD-OPD yang belum melaksanakan SKM berdasarkan hasil penelusuran penulis yakni RSUD, DINSOS, DLHD. Sedangkan OPD seperti DINKES, DISDUKCAPIL, dan DPMPTSP telah melaksanakan SKM. Jika hanya beberapa OPD yang melakukan survei kepuasan masyarakat, maka hanya sebagian kecil dari pelayanan publik yang akan dievaluasi. Hal ini dapat menyebabkan ketidakmerataan dalam pengukuran kepuasan masyarakat, sehingga beberapa pelayanan dapat ditinggalkan tanpa pengawasan dan perbaikan yang memadai. OPD yang tidak melakukan survei kepuasan mungkin kehilangan wawasan yang berharga tentang bagaimana meningkatkan kualitas pelayanannya. Ini dapat menyebabkan kesenjangan dalam perbaikan kualitas antara OPD yang melakukan survei dan yang tidak.
Selain melakukan survei kepuasan, OPD juga wajib mempublikasikan hasil survei kepada masyarakat. Hal ini tertuang dalam Peraturan Bupati Nomor 30 tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat Unit penyelenggara Pelayanan Publik di Lingkungan Pemerintah Kabupaten morowali. Publikasi hasil survei ini berkaitan dengan transparansi serta komitmen terhadap keterbukaan informasi terkait kinerja OPD. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk mengetahui kinerja pemerintah daerah dan memahami pentingnya keterlibatan mereka dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Mempublikasikan hasil survei juga dapat membantu membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan OPD. Ketika masyarakat melihat bahwa umpan balik mereka dipedulikan dan tindakan diambil sebagai tanggapan, ini dapat meningkatkan kepercayaan mereka. Berdasarkan hasil penelusuran, kebanyakan OPD yang melakukan SKM tidak mempublikasikan hasil survei yang telah diadakan kepada masyarakat secara terbuka secara fisik. Pada publikasi hasil survei kepuasan secara daring pun, sampai saat ini penulis tidak mendapati pada situs morowalikab.go.id
Selain permasalahan tidak melakukan dan mempublikasikan survei, permasalahan juga ditemukan pada survei itu sendiri. Dimana SKM dilakukan hanya untuk menilai kepuasan masyarakat pada aspek-aspek seperti persyaratan, biaya/tarif, hingga waktu penyelesaian. Namun, sangat disayangkan SKM tidak dilakukan untuk memahami secara langsung mengenai kebutuhan masyarakat. SKM dilakukan hanya untuk meminta masyarakat menilai, tidak dilakukan untuk meminta masyarakat memberikan masukan mengenai kebutuhan mereka secara langsung. Tentunya, pengambilan keputusan yang didasarkan antara kedua hal ini akan berbeda. Sebab, derajat interpretasi terhadap SKM yang hanya meminta penilaian adalah tinggi dan sebaliknya.
Inovasi Pelayanan Publik di Lingkup OPD
Dalam ranah pengembangan kebijakan dan implementasi program di tingkat daerah, terdapat tantangan yang sangat penting, yakni keterbatasan dalam hal inovasi. Hal ini ditemukan bahwa kebijakan dan program yang berasal dari pemerintah pusat lebih sering mencapai kesuksesan dibandingkan dengan yang diprakarsai di tingkat daerah. Salah satu faktor utamanya adalah karena pusat menyediakan kerangka kerja, pengetahuan, dan alokasi anggaran yang mendukung isu kebijakan yang diadvokasi. Fenomena ini umumnya dikenal sebagai Pimpinan Pembangunan yang Terpusat (Center-led Development).
Dalam konteks dimana pemerintahan pusat memiliki pengaruh yang dominan dalam menetapkan kebijakan dan mengalokasikan anggaran, daerah sering mengalami keterbatasan dalam upaya mereka untuk memulai dan berinovasi. Oleh karena itu, mendorong kepemimpinan yang mempromosikan pengembangan kapabilitas inovasi di tingkat daerah menjadi sangat esensial. Kapabilitas ini mencakup kemampuan daerah untuk mengidentifikasi masalah yang spesifik untuk wilayah mereka, merumuskan solusi yang sesuai, dan mengelola sumber daya yang tersedia dengan efisien. Inovasi adalah sarana yang vital yang membantu daerah mengatasi hambatan biaya yang mereka hadapi.
Namun, jika daerah mengalami kekurangan dorongan kepemimpinan yang kuat, kerangka kerja yang terdefinisi dengan jelas, atau rencana aksi yang konkret, maka inovasi di tingkat OPD menjadi sangat krusial. Sudah ada upaya inovasi terkait isu kesehatan anak, meskipun terkendala oleh kurangnya dukungan finansial. Namun, perlu diingat bahwa inovasi tidak seharusnya terbatas hanya oleh masalah biaya, karena inovasi pada hakikatnya mampu menjadi pendorong untuk menemukan solusi alternatif terhadap kendala finansial ini.
Permasalahan inovasi ini juga ditemukan pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dalam hal pengelolaan persampahan. Ketiadaan inovasi menyebabkan penanganan persampahan di Morowali mengalami kebuntuan. Upaya-upaya yang ada dalam penanganan sampah seperti penambahan personil petugas kebersihan tidak kunjung menuntaskan pengelolaan sampah yang amburadul. Hal ini disebabkan karena upaya tersebut merupakan cara mainstream yang telah hadir dan diterapkan sejak lama. Namun, bukan merupakan solusi yang efektif dalam penanganan sampah. Sehingga, dibutuhkan inovasi untuk menemukan cara dan metode baru yang selama ini belum pernah diterapkan untuk mengatasi permasalahan pengelolaan sampah di Morowali. Contoh dari inovasi pengelolaan sampah yang diterapkan di daerah lain seperti Program Mustika Desa Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Dimana dalam program tersebut berbagai OPD dan stakeholder diintegrasikan dan bekerjasama dalam mengatasi persoalan sampah di Temanggung. Hal ini kemudian mencapai keberhasilan dalam hal penanganan sampah di Temanggung (Baca: Aksan 2022). Oleh karena itu, untuk menghadirkan inovasi sektor persampahan seperti di Kabupaten Temanggung, diperlukan dukungan dari tingkat kabupaten dengan mendorong budaya inovasi di DLH.
Dilema Perencanaan Partisipatif
Ada dua metode yang digunakan dalam memberikan bantuan kepada masyarakat nelayan. Pertama, ada pendekatan yang menggantungkan usulan penerima dan jenis bantuan pada hasil Musrenbang Desa. Kedua, ada metode yang melibatkan pengajuan proposal kepada “Penyalur Proposal”. Pada awalnya, pendekatan pertama, yaitu melalui usulan berdasarkan hasil Musrenbang Desa, dianggap sebagai langkah yang tepat. Ini menunjukkan partisipasi aktif masyarakat nelayan dalam program bantuan perahu fiber. Namun, perubahan dalam metode menjadi pengajuan proposal, dianggap sebagai langkah yang kurang tepat bahkan dianggap sebagai langkah mundur dalam suatu pemerintahan.
Dalam penerapan metode proposal usulan dalam perencanaan program bantuan untuk sektor perikanan, ada kecenderungan untuk membatasi keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait bantuan perahu fiber. Ini mencakup berbagai elemen seperti pemilihan jenis bantuan, mengidentifikasi penerima yang tepat, menetapkan kriteria, memberikan panduan untuk mengajukan proposal, menentukan pihak yang bertanggung jawab, dan mengatur prosedur penerimaan dalam program bantuan nelayan. Penting untuk diingat bahwa perencanaan yang melibatkan partisipasi tidak hanya sebatas memberi kesempatan masyarakat untuk menyuarakan pendapat mereka. Lebih dari itu, ini merupakan strategi komunikasi yang efektif, penyebaran informasi yang transparan, pertukaran pengetahuan yang bermanfaat, dan pembangunan kepercayaan di antara berbagai pihak. Semua elemen ini berperan penting dalam kesuksesan implementasi program bantuan, pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, dan menciptakan nilai publik (keadilan dan kesejahteraan) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan.
Salah satu tujuan mendasar dari perencanaan partisipatif adalah memahami dan memastikan bahwa bantuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan. Ini juga terkait dengan mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang menjadi prioritas penerima bantuan, mengingat terbatasnya sumber daya pemerintah. Meskipun mekanisme proposal pengajuan dapat mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan masyarakat, metode ini memiliki beberapa kelemahan yang harus diperhatikan. Pendekatan seperti ini tidak selalu melibatkan komunikasi dan dialog langsung antara masyarakat, pemerintah desa, dan pemerintah kabupaten. Kekurangan ini dapat menghambat pencapaian hasil yang lebih luas dari program bantuan, seperti menciptakan nilai publik, termasuk peningkatan kesejahteraan dan keadilan di komunitas nelayan.
Selain itu, mekanisme proposal mungkin tidak cukup fleksibel untuk mengakomodasi kebutuhan yang sangat spesifik, seperti ukuran perahu dan spesifikasi mesin. Ini terkait dengan keterbatasan sarana komunikasi yang digunakan dalam pengajuan proposal. Penting juga dicatat bahwa berdasarkan penjelasan beberapa informan, bantuan yang berfokus pada perahu fiber tampaknya memiliki tingkat keberhasilan penyaluran yang lebih tinggi dibandingkan dengan bantuan yang mungkin diperlukan oleh sebagian nelayan, seperti GPS dan peralatan penangkapan ikan. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi yang lebih teliti dalam menentukan jenis bantuan yang paling efektif untuk memenuhi kebutuhan beragam nelayan.
Sama halnya pada penanganan sampah di Morowali. Penelusuran penulis melalui observasi dan wawancara ditemukan kurangnya kerjasama lintas sektor antara berbagai pihak, termasuk Kepala Daerah, OPD, Entitas Swasta, Non Governmental Organization (NGO), dan Masyarakat. Setiap pihak terlibat cenderung beroperasi secara terpisah, tanpa upaya bersama untuk mengatasi permasalahan sampah ini secara komprehensif. Tampaknya, ego sektoral masih menjadi kendala utama yang menghalangi usaha bersama dalam menangani permasalahan sampah di Morowali.
Dalam konteks ini, kesadaran akan pentingnya perencanaan partisipatif menjadi semakin mendesak. Perencanaan partisipatif dapat menjadi alat yang efektif untuk membawa semua pihak terkait ke meja diskusi. Melalui perencanaan partisipatif, setiap pihak dapat memiliki suara yang dihargai dan diintegrasikan dalam upaya bersama untuk penerapan program bantuan serta mengatasi permasalahan sampah.
Discussion about this post