Kemarin 21 Juli, bertepatan dengan earth day atau bahasa kerennya hari bumi, teman saya di Jogjakarta dengan bangganya memamerkan fotonya yang menurut saya instagramable dan keren abis. Bagaimana tidak, berlatarkan hutan Mangrove, ia berpose di sebuah jembatan yang memang dibuat untuk memudahkan pengunjung mengelilingi kawasan wisata tersebut. Keberadaan Taman Wisata Mangrove memang masih terbilang baru di kalangan anak kekinian yang doyan foto untuk diunggah ke sosial media. Di Indonesia sendiri, baru ada beberapa wilayah yang menjadikan mangrove sebagai objek wisata seperti Jogjakarta, Bali, dan Jakarta. Tak hanya ketiga kota besar tersebut, Morowali yang terletak di jazirah Timur Pulau Sulawesi pun juga memilikinya.
Namanya Tracking Mangrove, berlokasi di Desa Matansala dengan luas ± 9 ha. Objek wisata ini berlokasi strategis karena terletak dekat dengan Rujab Bupati Morowali dan Alun-alun Rujab yang sering dikunjungi oleh masyarakat sekitar ketika kegiatan besar diadakan. Pembangunan objek wisata ini baru dilakukan setahun lalu atas inisiatif dari salah satu komunitas selam pertama di Morowali yaitu Sombori Diving Club (SDC). Walaupun komunitas ini fokus utamanya pada dunia bawah laut, namun juga mereka memiliki misi sosial dalam hal konservasi alam. Telah banyak yang dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam di Morowali, dan salah satunya adalah gerakan 1 juta mangrove pada peringatan hari bumi.
Namun sayang, niat mulia yang dilakukan terkadang tidak didukung oleh beberapa stakeholder terkait baik secara moral maupun material. Tak seperti anak ayam yang kehilangan induknya, SDC tetap melanjutkan misi kemanusiaannya untuk menciptakan lingkungan yang konservatif walaupun sokongan dana tak kunjung didapatkan. Proposal yang diajukan tak mendapat tanggapan dari pihak terkait sedang hari H semakin dekat. Akhirnya, bermodalkan tekad yang masih menggebu-gebu dan sumbangan sukarela dari mereka yang memiliki rasa peduli pada lingkungan. Dalam kurun waktu 2 hari, 1000 bibit mangrove berhasil dikoker yang dilakukan bersama siswa-siswi SMAN 1 Bungku, SMAN 2 Bungku, Palang Merah Remaja (PMR), Badan Ekesekutif Mahasiswa (BEM) Untad II Morowali, dan KPA KKPG bertempat di depan kawasan tracking mangrove.
Titik penanaman tersebar di tiga tempat, di antaranya lapangan kota Bungku, Tempat Pembuangan Sampah (TPA) desa Ipi, dan pesisir pantai desa Matansala bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan KPA Gerpawali. Selain itu, warga sekitar juga turut serta membantu menyukseskan kegiatan didorong oleh rasa kemanusiaan. Namun, kebaikan yang dilakukan tak selamanya mendapatkan tanggapan positif dan apresiasi dari orang sekitar. Tracking mangrove yang diharapkan mampu mensejahterakan masyarakat ternyata juga membuat segelintir orang menjadi nyinyir atau susupo. Caranya elegan, mengikuti bentuk kritikan zaman now yang tengah dilakukan oleh pencetusnya, Sukmawati Soekarno Putri. Dalam sebuah status facebook seorang pengguna yang juga warga Morowali mempertanyakan alasan dibuatnya objek wisata berikut dampaknya yang merugikan bagi lingkungan melalui sebuah puisi berikut ini:
“Puisi Diriku yang Tidak Paham”
Aku tak tahu, bolehkah menebang mangrove dengan berbagai alasan ?
Aku tak tahu apakah mereka paham
Yang kutahu, pembabatan mangrove dengan berbagai alasan jelas melanggar ketentuan perundangan ….
Melalui ulasan ini, kami akan coba memberikan penjelasan, semoga dapat menjawab ketidakpahaman saudara kami yang membuat puisi itu.
Tak sembarang untuk menjadikan hutan mangrove sebagai kawasan objek wisata. Survei dan observasi telah jauh hari dilakukan sebelum Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati Morowali mengakuisinya untuk dimasukkan dalam program kerja Dinas Lingkungan Hidup Morowali. Potensi yang dimilikinya tak main-main. Ditinjau dari sudut ekologi, terdapat berbagai macam fauna yang keluar-masuk baik untuk mencari makan, kawin atau bertelur. Sebut saja beberapa spesies bangau, burung tika, kepiting bakau, dan ular daun yang saat ini masih diidentifikasi oleh SDC. Hal ini bisa menjadikan objek wisata ini sebagai perpustakaan alam dan lokasi penelitian bagi para mahasiswa dan peneliti terkait.
Selain itu, hutan bakau yang menjadi populasi hewan laut juga bisa dijadikan lokasi pemancingan oleh para pengunjung yang datang berkunjung. Adapun pusat pembibitan pohon bakau yang juga berlokasi pada kawasan yang sama bisa dijadikan sarana edukasi bagi pengunjung untuk mengetahui lebih lanjut cara meregenerasi ekosistem pesisir pantai.
Sungguh banyak manfaat yang bisa dipetik dari dibuatnya objek wisata hutan mangrove. Namun, mereka yang kontra beranggapan bahwa penebangan pohon bakau untuk tujuan apapun bertentangan dengan UU. Hal ini terdapat pada Undang-undang kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang pelarangan penebangan pohon di wilayah 130 kali jarak pasang laut terendah dan pasang laut tertinggi. Katanya nih, jika melakukan hal demikan bisa dipidana pasal 78 dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp 5 milliar.
Well, dokumen rencana pengelolaan wisata hutan mangrove telah ada jauh sebelum dilimpahkan ke Bupati Morowali untuk disetujui. Survei dan observasi juga telah dilakukan demi melihat potensi kawasan wisata tersebut.
Mengapa harus mempermasalahkan objek wisata yang jelas telah memiliki dokumen ?
Mengapa harus mempermasalahkan objek wisata yang jelas mampu menciptakan lapangan kerja ?
Mengapa daerah tambang di luar sana yang jelas-jelas merusak banyak ekosistem tidak dipermasalahkan sedang yang kami lakukan untuk menjaga keseimbangan alam ?
Berdasarkan tuduhan ini ?
Pada dasarnya, menebang pohon bakau bisa saja asal jangan berlebihan karena wisata alam harus tetap memperhatikan bentang alam ekosistem mangrovenya. Berapapun banyaknya hutan bakau yang ditebang asal tidak berlebihan, tidak masalah karena ekosistem hutan bakau memiliki sifat resiliensi (kemampuan beradaptasi dengan perubahan). Mereka mampu kembali ke keadaan semula. So, masihkan kalian mempermasalahkannya ?
Penulis adalah Ketua Sombori Diving Club Morowali (SDC Morowali)
Discussion about this post