Akhirnya, hari ini tiba juga. Tanggal merah di bulan baru yang menandakan para pekerja harian bisa rehat sejenak terhadap aktivitas pekerjaan sehari-hari. Biasanya bagi perempuan di hari libur seperti ini, kebanyakan dari mereka akan sibuk ke salon untuk medicure, pedicure, atau melakukan treatment perawatan tubuh agar bisa secantik selebgram zaman now Lucinta Luna da Milen Cyrus. Ada juga yang pergi bersenang-senang bersama pasangan halal atau pasangan “haram”-nya a.k.a pacar. Saya pribadi yang tidak termasuk golongan mereka, lebih suka bersantai ria di rumah sambil menonton salah satu anime favorit saya, Boruto.
Episode kali ini, menurut saya sangat seru, mengingat Boruto dan teman-temannya sudah mulai menjalani misi sebagai shinobi. Walaupun status mereka masih genin (naruto lovers pasti tahu artinya), kemampuan mereka tidak bisa dianggap remeh. Sama seperti di episode 46, kali ini ketika Kelompok Byakuga menghasut para penduduk desa di bawah genjutsu untuk melakukan demonstrasi besar-besaran pada Perusahaan Kaminarimon. Mereka menuntut pihak perusahaan agar tidak hanya mengeruk keuntungan, tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan pekerjanya. Hal ini memaksa para shinobi akhirnya turun tangan meredam demonstrasi dan dengan bantuan Hokage Ketujuh, akhirnya masalah tersebut bias diselesaikan.
Eh kok jadi bahas Boruto sih, mana May Day? Hehehe. Maafkan saya yang terbawa suasana.
May Day sebagai hari persatuan kelas pekerja
Walau Boruto adanya di dalam dunia manga, tapi sebenarnya kisah yang terjadi di dalamnya juga nyaris terjadi di dunia nyata.
May Day yang jatuh setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh internasional. May Day punya sejarah panjang. Lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja sejak pecahnya revolusi industri di Inggris sampai puncaknya tahun 1886 di Amerika. Berawal dari tuntutan jam kerja sampai pada upah yang layak untuk para pekerja.
“Kaum Proletar sedunia, bersatulah!”, sebuah kalimat pembangkit semangat dari Karl Max—bapak sosialis-komunis. Kalimat ini sejak dulu sampai sekarang masih jadi senjata ampuh untuk membangkitkan semangat para buruh sedunia melawan ketidakadilan yang dirasakan oleh para buruh di seluruh dunia. May Day memang selalu dimaknai dengan hari persatuan, 1 Mei telah menanamkan dalam benak kaum buruh bahwa mereka tidak sendiri. Jutaan kaum buruh dari seluruh penjuru dunia telah tersatukan menjadi sebuah kelas, memotong prasangka ras, suku, etnis kebangsaan, warna kulit, kasta, dan agama. Kaum buruh di berbagai negeri melakukan perlawanan terhadap kekuasaan para majikan yang telah mencekik mereka selama bertahun-tahun.
Para pekerja akan melakukan demonstrasi, turun ke jalan menyuarakan hak mereka, dan menuntut pemerintah untuk bias memberikan kebijakan yang bisa pro buruh. Namun, apakah hingga kini suara-suara mereka sudah tersampaikan? Entahlah…
Buruh Tambang di Morowali, dari Administrasi yang Sulit Sampai Persaingan yang Timpang dengan TKA Tiongkok
Memiliki teman yang bekerja di sebuah perusahaan besar seperti yang teman-teman saya lakukan di Morowali memberikan dua manfaat besar bagi pengangguran seperti saya. Pertama, pemandangan disetiap tanggal baru di mana ATM dan bank dipadati antrian panjang oleh para pekerja yang akan menuai jerih payahnya selama sebulan. Hal seperti ini berimbas juga ke saya coy, dapat makanan-minuman yang pastinya geratisss. Kedua, biasanya kalau tanggal tua ketika beasiswa mother-father foundation terhambat, saya bisa meminta pertolongan pada mereka untuk sedikit diberikan sedekah. Hahaha.
Well, besarnya gaji yang ditawarkan dan sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia menuntut para lulusan baik SMA atau sarjana bersaing mati-matian untuk mencari penghidupan pada salah satu perusahaan yang konon memiliki Smelter terbesar se-Asia Tenggara ini. Walaupun berada di Morowali, nyatanya untuk menjadi bagian di dalamnya, sepertinya butuh jurus Kagebunsin no Jutsunya Naruto, motungko(sulit) coy. Harus jadi manusia yang ekstra-sabar karena pengurusan administrasi dari ujung kembali ke ujung Morowali. Can you imagine it?
Saya teringat akan curhatan teman saya sebelum diterima sebagai karyawan. Ia harus tinggal selama beberapa bulan di Bahodopi, menerima surat cinta penolakan selama empat kali, mengurus administrasi ke kabupaten tetangga sebelum akhirnya diterima bekerja. Hanya saja kegagalan yang ia dapatkan tak menyulutkan niatnya untuk berhenti mencari penghidupan.
Namun sayang, apa yang ia alami tak sama dengan apa yang diberlakukan kepada para Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Cina. Mereka dengan mudahnya memasuki Indonesia dan bekerja tanpa embel-embel administrasi yang ribet seperti yang dialami oleh pekerja pribumi.
Belum lagi para TKA ini sudah didukung oleh Perpres RI nomor 20 tahun 2018, sehingga kesempatan bekerja terbuka lebar dan pengurusan administrasi yang mudah. Jadi untuk mengurus segala macam surat itu biasanya hanya butuh waktu 2 hari, setelah itu semuanya beres dan bisa langsung masuk bekerja. Sementara masyarakat lokal, jangankan mendaftar untuk bekerja, membuat izin usaha saja, ribetnya minta ampun.Yah, dunia memang kadang tak adil, vrooohh …
Selain itu, teman saya juga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan para TKA tersebut. Kebanyakan dari mereka tidak bisa berbicara dalam Bahasa Inggris atau pun Bahasa Indonesia. Mereka hanya bisa berkomunikasi dalam Bahasa Mandarin yang bagi kebanyakan orang merupakan salah satu bahasa tersulit di dunia. Oh Godness, kekandia kajajia no (Kalau begini keadaannya), google translate beraksi. Sebetulnya hal ini boleh dibilang wajar, mengingat Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 yang mewajibkan TKA untuk bisa berbahasa Indonesia telah dihapus dan disahkan lewat Permenaker Nomor 35 tahun 2015.
Jadi, kalau di luar sana masih banyak orang yang menuntut agar TKA bisa berbahasa Indonesia, sekarang bolehlah berhenti saja, karena sia-sia. Selain penghapusan bahasa, dengar-dengar nih, para TKA juga tidak perlu lagi membayar visa. Hal ini tertuang dalam kebijakan Presiden melalui Perpres Nomor 21 tahun 2016.
Jadi, hemat saya, jangan mi lagi complain sana-sini kenapa banyak TKA berkeliaran di Indonesia karena syarat untuk bekerja di Indonesia kan sudah dipermudah oleh pemerintah, jadi wajar saja banyak serbuan TKA saat ini.
Serbuan TKA memang menyisakan banyak problematika. Kalau saya mau bilang secara pribadi, dorang ini kurangajar dan tidak ada sekali rasa syukurnya. Sudah dipermudah masuk bekerja di Indonesia, dapat gaji yang 3 kali lebih tinggi dibanding pekerja lokal, tetapi nyatanya mereka masih rakus akan pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan oleh pekerja lokal. Padahal, aturan mendatangkan TKA hanya terkhusus bagi skilled labor, namun kenyatan di lapangan banyak sekali TKA unskilled labored yang bekerja.
Seperti di sebuah postingan oleh salah satu akun facebook bernama 2019 ganti presiden (lupakan nama akunnya), menyebutkan adanya pengelabuan TKA Tiongkok di hari buruh. Isi postingan itu berupa foto para tenaga kerja asing sedang mengubah warna helm mereka dari kuning (helm untuk Crew) menjadi helm merah (Supervisor), biru (Foreman), putih (manager). Peristiwa itu katanya terjadi di Morowali (akun lain juga ikut membenarkan ini), aksi tersebut dilakukan untuk berjaga-jaga dari sidak Dinas Ketenagakerjaan di hari buruh. Karena seharusnya TKA yang dating ke Indonesia memakai helm merah, biru, atau putih. Jika peristiwa ini benar adanya, emang nalar pihak perusahaan ini betul-betul sudah kelewatan sakit. Akhirnya rakyat lokal jadi tumbal pesakitan itu. Parah kaannn…
Proyek investasi asing yang ditujukan untuk menyejahterakan rakyat itu omong kosong, coy. Investasi katanya akan memperluas kesempatan kerja, nyatanya tenaga kerja lokal kita mati-matian berusaha untuk bisa bekerja menghidupi anak istri mereka. Lalu, apa gunanya investasi jika tujuannya bukan untuk kesejahteraan rakyat?
Saya lantas teringat akan Tenaga Kerja Luar Negeri (TKLN). Tidak ada pekerjaan yang mereka lakukan selain menjadi pembantu rumah tangga. Tidak ada jabatan tinggi yang mereka pegang selain menjadi bawahan di negeri orang. Tujuan mulia mereka tidak mempersempit lapangan pekerjaan seperti apa yang terjadi dengan Indonesia saat ini. Kita jadi seperti bangsa yang tidak bermartabat, menjadi babu di Negara lain dan tetap menjadi babu di Negeri sendiri.
Terakhir, Peringatan May Day setiap tahun sudah datang silih berganti, kebijakan yang semakin menyengsarakan para pekerja juga tak ketinggalan dibukukan menjadi undang-undang silih bertambah. Parahnya lagi, para elit serikat buruh juga masih banyak yang brengsek. Mereka sibuk berselingkuh dengan para majikan, pengusaha, politisi untuk membuat perayaan May Day hanya sebagai satu perayaan seremonial belaka tanpa mengharapkan adanya perubahan yang kongkrit terhadap nasib para buruh. Ingatlah: May Day is not Ceremony, but May Day is resistance.
Selamat hari buruh sedunia. 1 Mei 2018
Discussion about this post