Tidak semua bentuk nasihat yang beraroma sindir yang ada di semesta ini harus tertulis dan memiliki alasan logis. Karena ada banyak hal-hal yang seperti itu malah cuma diwariskan secara turun temurun lewat lisan. Dalam keseharian saya, itulah yang kerap dipakai oleh ibu saya. Dan saya yakin, ini pasti warisan dari orang-orang terdahulu.
Namanya juga Ibu. Kadang nasihat-nasihat yang ia lontar itu pakai rumus teguran keras, ancaman, hingga perbandingan.
“Eh, mahasiswa yang masuk kuliah tahun 2015 itu ternyata lebih pintar ya ketimbang yang tahun 2012”
“Kok bisa gitu, bu?”
“Itu si anu yang masuk 2015 sudah wisuda, lha kamu hilal toga saja belum ada tanda-tanda, kok”
Meski kedengarannya wagu, nasihat-nasihat macam begitu sudah seharusnya tidak hanya dipahami secara tekstual belaka. Dibutuhkan kepekaan tingkat tinggi untuk memahami pesan tersirat dibalik nasihat yang sumpah sumpah nyut-nyutnya sampai ke tulang ekor.
Dan ketika saya renungi dalam-dalam (halah), mode-mode nasihat semacam itu ternyata sudah ada sejak Ibu saya masih dalam kubu penonton garis keras Tersanjung, hingga beralih ke FTV Indosiar, ” Ternyata Nenekmu Pernah Kena Sledingan Nenekku”.
Nah, di bawah ini saya suguhkan sebagian contoh nasihat ibu saya yang lengkap dengan tafsiran yang menurut saya ini sudah sesuai dengan Asbabun Nuzulnya alias realitas yang ada agar kamu tidak terkurung pada hal-hal tekstual doang.
Tapi btw, ilham ini menyerempet saya tatkala saya berusaha memahami kandungan puisi fenomenal yang bertajuk Ibu Indonesia bikinan ibu Sukmawati. Yah, daripada susah-susah memahami maksud puisi itu, saya putar kemudi dengan beralih memahami Ibu Kandung.
Semoga saja ini bisa meneduhkan kepala kita semua seperti teduhnya sewaktu bertengger di bawah ketiak kekasihmu. Ulalaaa…
Yuk, mari!!!
Pertama, Menjahit. Urusan jahit-menjahit ini ternyata tidak seenak ubun-ubunmu saja. Bagi ibu saya yang hapal betul jadwal FTV di semua saluran TV kecuali HBO, menjahit tidak bisa dilakukan pada semua waktu.
Adalah menjahit di malam hari. Ibu saya paling gemes kalau mendapati seseorang yang melakukan ini. Mau menjahit baju kek, menjahit celana kek, menjahit baju jadi celana kek, sampai menjahit monyong orang lain, kalau itu malam hari: pokoknya nggak boleh, ya, darah manisku!!!
Kenapa? Ibu saya bilang, itu sama saja mengundang multi bahaya atauwa bencana alam di dalam kampung. Merinding boeloeqoe…
Doeloe saya Sami’na wa Atho’na aja. Tapi saking seringnya menonton koko Felix dan Abu Janda, saya mulai paham kalau ternyata ibu saya cuma mau menyampaikan begini, “Jangan menjahit malam, tertusuk jarum nanti”.
Lha, itu toh. Ya, dulu kan listrik belum masuk di kampung. Hadeh.
Kedua, duduk di bantal. Semua orang tahu bahwa bantal itu punya dua fungsi, satu sebagai landasan iler kepala dan kedua sebagai pengganti pasangan bagi si jomblo: wadah peluk. Kadang pula bantal dipakai buat main pukul-pukul-sayang sampai kapuknya berterbangan sana-sini. Yaelah, nggak usah baper gitu lah mblo, sana ambil bantal guling.
Tapi namanya manusia yang tidak pernah luput dari salah dan khilaf, kadang bantal kita fungsikan sebagai tempat duduk. Ibu saya geram benar kalau melihat yang macam begitu. Belio sangat melarang keras. Kata ibu saya, duduk di atas bantal itu bisa menyebabkan pantat jadi P3K (yang ini P-nya satu, K-nya 3): Panuan, Kurapan, Kutilan, dan Korengan.
Emang apa hubungannya coba? Ternyata penyakit-penyakit yang disampaikan itu hanyalah batu loncatannya saja. Yang sesungguhnya, bantal jadi rusak lah kalau diduduki, bosque.
Dari situ saya mulai curiga kalau dulu ibu-ibu Indonesia mulai capek melarang anaknya yang duduk di atas bantal. Maka dibikin lah alternatifnya. Itu yang kita kenal dengan kursi bantal alias kursi sudut alias sofa.
Ketiga, mengambil kembali yang sudah dikasih ke orang. Ibu saya menyatakan bahwa segala sesuatu yang sudah kita beri pada orang lain, lalu memintanya kembali, maka bersiaplah siku tanganmu akan tumbuh penyakit kulit seperti kudis. Widih, amit-amit amat ya, my swit.
Tapi lagi-lagi kini saya mulai mahfum kalau itu punya pesan tersirat. Ketika kamu mengambil kembali apa yang sudah kamu berikan, yang akan timbul itu, tidak lain tidak bukan, adalah perkelahian, permusuhan, sampai bisa jadi sudah tidak saling tegur. Intinya yakni perpecahan: pecah di bibir, mata, tenggorakan, sampai perasaan.
Wah, ternyata dibalik ungkapan yang bernada mengancam itu mulia sekali. Semata-semata menjaga tali silaturahim agar tidak terputus dan masih selalu terikat.
Keempat, duduk di atas tungku. Untuk yang satu ini, ibu saya pernah bilang kalau duduk di atas tungku itu dapat membuat seseorang tidak bakalan dapat jodoh seumur hidup. Walah… nyesek. Padahal nih, ya, kalau dipikir-pikir, tungku dengan jodoh itu kan dua hal yang berbeda, tidak bisa di sanding-bandingkan gitu.
Tapi, lagi dan lagi toh bukan itu intinya. Kenapa tidak dibolehkan duduk di atas tungku? Ya, coba saja duduk, kalau bukan tungkunya yang bakal rubuh kalau tungkunya berbentuk panggung, berarti pantatmu yang bakal jadi pepes.
Duduk kok di tungku, kalo mau duduk ya sana duduk di pelaminan!!!
Terakhir, masih berkaitan dengan jodoh. Ibu saya sangat marah berapi-api apabila mendapati seseorang yang sudah kebelet nikah tapi tidak punya pasangan. Ibu saya pasti buru-buru kasih nasihat…
…Jangan gila, kamu! Nikah ya harus punya pasangan. Emang ini stund mic-nya biduan yang cuma berdiri sendiri?!
Demikianlah sebuah nasihat, kadang kala bentuknya tidak langsung membidik pada sasaran. Ada yang menggunakan perumpamaan, ada yang nadanya keras, pun ada yang lembut, kesemuanya itu harus dipahami dengan baik. Butuh hati dan pikiran yang dingin juga adem untuk menerimanya. Agar kita tidak gampangan ngambek, koar-koar, membantah, lebih-lebih mencak-mencak konyol.
Discussion about this post