“Hal-hal yang ingin kutahu ada di dalam buku dan sahabat terbaik adalah orang yang akan memberikanku sebuah buku yang belum aku ketahui” Abraham Lincoln
26 November 2014, tepat saat umur saya bertambah setahun, berbondong-bondong ucapan membanjiri akun media sosial saya. Tak terkecuali Dia—seseorang yang saya sebut sahabat hati, memberikan sebuah kado yang bagi saya saat itu tampak kekanak-kanakan. Sebuah buku berjudul “Asmara di Atas Haram” yang dibalut kotak kado bertema pink, membuat saya jatuh cinta terhadap dunia literasi, dan tentu juga ke dia pastinya. Ciyeee…
Butuh waktu beberapa bulan untuk menyelesaikan buku itu. Karena pada dasarnya membaca buku bukan “gue banget”. Tipikal saya tiga tahun lalu boleh dikata “pikiran orang-orang terbelakang”. Membaca buku hanya ketika butuh, semisal untuk tugas kuliah yang seabrek. Duh, sungguh tragis jiwa dan pemikiran saya kala itu.
Dikala negara maju seperti Jepang dan Amerika menjadikan buku sebagai sebuah kewajiban dikala senggang, lha di Indonesia hanya sekadar pengisi identitas “hobby”. Penelitian menunjukkan minat baca orang-orang Indonesia itu rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Vietnam dan Filipina. Kebanyakan orang Indonesia lebih suka memegang gawainya dibandingkan menenteng buku dalam kehidupan sehari-harinya.
Halaman pertama dalam buku kehidupan saya di tahun 2018, diisi dengan kiat saya untuk membaca buku. Dalam kurun waktu tiga bulan, saya menghabiskan lima buku yang kesemuanya saya mamakio (kunyah) ketika gundah-gulana menyapa. Hmm… yang galau.
Baiklah, langsung saja simak sedikit review mini dari buku yang pernah saya baca di bawah in. Cekidot!!!
1. A tale of two cities
Salah dua buku yang menjadi favorit saya sepanjang masa selain Asmara di Atas Haram adalah a tale of two cities. Bukan karena nama besar penulis dibalik buku ini atau statusnya sebagai buku terlaris sepanjang masa yang membuat saya begitu meyukainya. Tapi, alur ceritanya yang susah ditebak dan penggambaran bagaimana pecahnya revolusi Prancis dengan bahasa sederhana membuat buku bernuansa klasik tersebut gampang dicerna.
Padahal, kebanyakan novelis klasik lain susah menyederhanakan kalimatnya, tetapi Charles Dickens yang begitu disukai Ratu Victrioa pada masanya mematahkan argumen tersebut. Alhasil, buku tersebut terjual 200 juta eksamplar ke seluruh dunia hingga sekarang.
Mengambil latar di abad 17, kehidupan dua negara yaitu Inggris dan Prancis digambarkan oleh peliknya kesenjangan sosial antara kaum bangsawan dan proletar. Kesewenang-wenangan para kaum bangsawan memaksa para kaum proletar untuk merencanakan kudeta di sebuah perkampungan kumuh yang dikenal dengan nama Faubourg Saint-Antoine, pinggiran Kota Paris.
Seorang bangsawan bernama Charles Darnay rela meninggalkan status kebangsawanannya dan memilih pergi ke Inggris menjalani hidup sebagai rakyat jelata. Di sana pulalah, ia bertemu dengan Lucie Manette, gadis cantik yang nantinya menjadi isterinya. Ia adalah anak dari seorang dokter bernama Manette yang seantero negeri terkenal, tapi dipenjara selama 18 tahun di Bastille (salah satu penjara paling mengerikan di dunia), tanpa peradilan, tanpa pengampunan, dan tanpa kunjungan dari siapapun. Ia dibiarkan hidup dalam kesendirian hingga akhirnya ia lupa ingatan akan siapa yang memaksanya masuk ke dalam penjara.
Walaupun buku ini jenisnya non-fiksi, tapi kisah yang termuat di dalamnya mampu membuat pembaca kembali menyelami kehidupan Prancis di akhir abad ke-18 saat revolusi Prancis sedang bergejolak. Pembaca akan ikut merasakan perihnya penindasan yang dilakukan oleh pemerintah tirani saat itu dan bagaimana perjuangan mereka untuk meruntuhkannya.
Selain itu, kisah cinta segitiga antara Charles Darnay, Lucie Manette, dan Sidney Carton yang turut pula mewarnai cerita dengan mengisyaratkan bahwa cinta yang tak berbalas selalu berakhir tragis. Over all, saya sama sekali tidak mendapatkan cacat dalam buku ini selain satu kata, Kerennn.
2. Cantik itu Luka
Banyak orang ingin tampak cantik atau paling tidak dikatakan cantik, tapi apakah semua orang menginginkan hal demikian? Jawabannya tidak. Sama sekali tidak. Seperti yang dilakukan oleh Dewi Ayu yang menyumpahi anak keempatnya agar terlahir sebagai monster buruk rupa dengan perawakan tubuh hitam legam seperti terbakar, hidung berbentuk colokan listrik, mulut layaknya lubang celengan babi dan telinga yang menyerupai gagang panci.
Segala cara telah dilakukannya agar anak tersebut tak lahir ke dunia, tetapi upayanya selalu gagal. Bayi tersebut lahir sesuai keinginan Dewi Ayu yang serupa monster dan membuatnya girang minta ampun, tetapi ia justru memberinya nama, Cantik.
Dewi Ayu merupakan pelacur nomor satu di Halimunda. Siapapun ingin melewatkan malam dan berbaring mesra bersamanya. Kehadiran anak keempatnya sama sekali tidak diinginkannya mengingat ketiga anaknya yang terlahir dengan rupa cantik jelita mengundang birahi siapapun untuk menyetubuhinya. Itulah kenapa ia tidak menginginkan anak yang cantik.
Keputusasaan itulah yang menyebabkan Dewi Ayu sampai pada kesadaran spiritual yang menyedihkan untuk mengakhiri hidupnya agar tak melihat anak keempatnya tumbuh menjadi seorang gadis. Ia membalut tubuhnya dengan kain kafan, berbaring layaknya orang meninggal sambil menunggu malaikat maut menjemputnya. Benar saja, pada hari ke-12 sejak masa pembaringannya, ia pun meninggal. Namun, tepat 21 tahun kemudian ia dibangkitkan kembali.
Awal membaca buku ini, saya berpikir jika tokoh Cantik akan selalu ditonjolkan pada setiap babnya, nyatanya tidak demikian. Cantik hanya ditampilkan pada 2 bab terakhir, sedang sisanya didominasi oleh kehidupan Dewi Ayu dan ketiga anaknya beserta intrik percintaan yang rumit.
To be honest, buku ini sangat gamblang dalam membahas adegan ranjang yang dilakukan oleh pasutri. Sungguh hanya dengan membacanya, pembaca dapat membayangkan bahkan ikut merasakan bagaimana nikmatnya bercinta walapun dilakukan bukan atas dasar cinta.
Selain itu, kisah percintaan dalam buku ini banyak terjadi dalam kehidupan kita dewasa ini, seperti kisah antara dua orang yang rentang umurnya jauh atau dua orang yang menikah bukan atas nama cinta.
Alur cerita dalam novel ini susah ditebak dan benar-benar di luar ekspektasi ketika telah menghabiskan keseluruhan isi novel. Kelihaian Eka Kurniawan merangkai sebuah kisah misterius berhasil menghipnotis pembaca untuk cepat-cepat menyelesaikan novel yang cukup tebal tersebut dan menebak siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya.
Terlebih lagi, latar waktu sebelum masa revolusi hingga revolusi ketika maraknya gerakan G30S-PKI turut menambah nilai plus pada novel ini. Masyarakat awam yang ingin mengetahui bagaimana pola berpikir orang-orang komunis wajib membaca buku ini. Satu lagi yang tak kalah penting adalah banyaknya kosa-kata baru yang membantu perbendaharaan kata bahasa Indonesia saya
Susah untuk mencari kelemahan buku ini karena dari awal sampai akhir membaca buku ini, saya benar-benar dibuat terkesima tentang kisah pelacur dan anak-anaknya yang tubuhnya mengundang birahi, tetapi mereka mampu memanusiakan tubuhnya dengan bijak.
3. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Jika ditanya siapa penulis favorit saya, maka saya akan menjawab Eka Kurniawan adalah salah satunya. Dua buku terdahulunya Lelaki Harimau dan Cantik itu Luka sukses menghipnotis saya untuk selalu membaca setiap bukunya yang rilis. Saya hanya butuh waktu tiga hari untuk menyelesaikan buku yang tebalnya hanya 252 halaman ini. Kalau dua buku sebelumnya memiliki alur yang complicated, maka buku ini hanya bercerita tentang kisah percintaan antara si Ajo Kawir dan Iteng.
Hampir keseluruhan isi cerita membahas ‘burung’ alias kemaluan lelaki. Kisah tentang Ajo Kawir yang ‘burungnya mati suri’ sukses mengaduk tawa pembaca hingga timbul rasa kasihan terhadap musibah yang menimpanya.
Sebetulnya, burungnya baik-baik saja sesaat sebelum si Tokek sahabatnya, mengajaknya ke rumah seorang perempuan gila bernama Rona Merah dan menyaksikan kedua polisi menggaulinya di atas sebuah meja. Kedua polisi yang merasa terancam karena aksi mereka yang telah diketahui akhirnya menyuruh Ajo Kawir untuk ikut menyetubuhi si Rona Merah. Karena ketakutan, burung Ajo Kawirpun mati suri hingga masa tua menjemputnya.
Telah banyak cara yang dilakukan oleh Ajo Kawir untuk membuat kemaluannya terbangun, mulai dari mengolesi burungnya dengan cabe rawit, menyengatnya dengan tiga ekor lebah, hingga membaca buku porno, tetapi hasilnya sama saja. Burungnya tetap enggan berdiri hingga membuat Ajo Kawir putus asa dan berhenti untuk menyukai lawan jenis karena takut mereka tidak akan terpuaskan.
Pendeskripsian adegan bercinta dalam novel ini tidak sevulgar Cantik itu Luka. Hanya saja, penggunaan jari untuk membantu merangsang orgasme perempuan membuat saya mengernyitkan dahi. Ketidakmampuan Ajo Kawir menggunakan burungnya untuk bercinta mau tak mau memaksanya untuk mencari alternatif lain. Mengerikan dan lucu bagi orang awam seperti saya.
Selain itu, buku ini seperti kumpulan cerpen karena paragrafnya pendek dan saling berloncatan satu sama lain, tetapi masih saling terhubung. Alur maju-mundur yang digunakan oleh penulis tidak membuat bingung pembaca, malah semakin membuat penasaran pembaca akan nasib burung Ajo Kawir: apakah akan kembali berfungsi atau tidak.
Cover buku yang menampilkan seekor burung yang terlelap juga sangat menarik dan mewakili isi cerita yang memang bertemakan burung dalam makna konotasi. Namun, saya sedikit risih ketika menemukan beberapa kosa kata yang bagi saya sedikit tabu untuk ditulis gamblang seperti memk dan kontl, tapi saya memakluminya karena beginilah gaya menulis seorang Eka Kurniawan.
Well, buku ini rekomendasi banget buat kalian para lelaki bajingan yang menyenangkan di luar sana, agar kalian tahu bahwa burungmu harus digunakan untuk hal yang semestinya dilakukan.
4. Para Bajingan yang Menyenangkan
Para mojok admirer di luar sana pasti akan rela mengeluarkan uangnya untuk membeli buku ini. Puthut Ea, sang penulis buku adalah kepala suku dibalik suksesnya mojok.co dengan gaya menulisnya yang satir dan kekinian.
Buku ini benar-benar bajingan namun menyenangkan sesuai judulnya. Kisah enam orang sahabat yang menamai diri mereka jackpot society adalah sekelompok mahasiswa yang orientasi hidupnya untuk menang berjudi dan terkadang mabuk-mabukkan. Bagi para anak 90-an, membaca buku ini seperti menghadirkan memori lama tentang kehidupan saat itu yang no drama dan apa adanya. Tidak seperti kebanyakan novel pada umumnya yang terdiri atas bab per bab, buku ini hanya terdiri atas tiga bagian utama yaitu Kami Tak Ingin Tumbuh Dewasa, Bagor Setelah Dua Puluh Tahun, dan Epilog. Sepertinya Puthut Ea mendedikasikan buku ini untuk para sahabatnya terutama Almarhum Jadek dan Bagor di mana keduanya memang mendominasi keseluruhan isi cerita.
Kisah epik dalam buku ini sukses mengocok perut pembaca. Kelakukan yang super duper nakal dan konyol para jackot society namun untuk kesenangan semata semakin meyakinkan saya akan beginilah kehidupan mahasiswa di tahun 90-an. Selain itu, buku ini juga mengajarkan kita untuk tetap menjaga persahabatan walaupun jarak memisahkan. Sayangnya, percakapan dalam buku ini lebih banyak menggunakan bahasa Jawa dan plesetan dalam guyonan Jogja, yang bagi orang awam seperti saya sulit untuk memahaminya. Walaupun pada bagian belakang terdapat kamus istilah, tetap saja ribet karena harus membolak-balik buku .
5. O
Seperti judulnya yang cuman satu huruf dan mengundang banyak tanya tentang cara baca ataupun isi ceritanya, sinopsisnya juga singkat, padat, dan jelas tentang “seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut”.
Rawa Kalong adalah tempat tinggal sekawanan monyet yang memiliki cerita turun menurun tentang leluhur mereka bernama Armo Gundul yang berubah menjadi manusia dan mempengaruhi beberapa monyet untuk melakukan hal yang sama, salah satunya adalah Enteng Kosasih. Singkat cerita, Entang Kosasih akhirnya menjadi manusia setelah mencuri sebuah revolver dan membunuh seorang polisi dan beberapa monyet di Rawa Kalong. Kekasihnya yang bernama O tak ingin disia-siakan oleh cintanya oleh Entang Kosasih hingga ia pun memutuskan untuk mencari cara agar berubah menjadi manusia, yaitu menjadi topeng monyet.
Inilah kelihaian Eka Kurniawan yang patut diacungi jempol. Alur maju-mundur yang merupakan salah satu ciri gaya menulisnya selalu membuat pembaca ketagihan untuk cepat-cepat menyelesaikan bacaan dan mengetahui endingnya. Selain itu, para tokoh yang digambarkan dalam novel ini seperti binatang yang dapat berbicara layaknya manusia, sekelompok manusia yang suka memakan daging anjing ataupun menganiayanya, ataupun seekor burung kakak tua yang bisa melafarkan Al-Qur’an memperlihatkan kehidupan manusia dewasa ini, di mana beberapa tidak berlaku adil terhadap binatang. Padahal, manusia yang berakal seharusnya bisa bijak dan lebih manusiawi.
Discussion about this post