“Sejahtera” selalu diletakkan sebagai kepentingan masyarakat yang paling utama, dan kepentingan itu diterjemahkan melalui kebijakan pembangunan, salah satunya industri pertambangan. Berkaitan dengan itu, tulisan sebelumnya telah mengkonfirmasi siapa yang paling diuntungkan dalam pertumbuhan ekonomi berbasis industri tambang.
Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud ternyata tidak membuat masyarakat sejahtera secara merata, melainkan terpinggirkan dari ruang penghidupannya. Lebih jauh, tulisan tersebut menunjukkan bahwa pihak yang paling diuntungkan dari adanya industri tambang di Morowali adalah pemilik modal dan birokrat. Maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah “siapa yang terpinggirkan atau tidak diuntungkan dari pembangunan ekonomi berbasis tambang di Morowali?”. Untuk mengkonfirmasi hal demikian, tulisan ini secara spesifik memaparkan keadaan masyarakat petani dari masa sebelum masifnya, transisi, dan sesudah masifnya industri tambang di Morowali.
Potretnya, Kabupaten Morowali memiliki sumber daya alam hayati yang cukup melimpah. Keberlimpahan sumber daya alam tersebut ditandai dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku. Morowali secara beruntun dari tahun 1998-2012 ditopang oleh sektor pertanian (Baca: BPS Morowali 2003-2015).
Tahun 2011, nilai pendapatan dari sektor pertanian yakni sebesar 615 miliar rupiah. Sedangkan nilai pendapatan dari sektor penggalian atau pertambangan masih sebesar 561 miliar rupiah. Jika dibandingkan tahun 1998, rasio nilai PDRB keduanya sebesar 1:100. Dengan nilai 3.5 miliar rupiah untuk penggalian atau pertambangan, dan 364 miliar rupiah untuk pertanian. Baru pada tahun 2012 sektor penggalian atau pertambangan menjadi penopang utama PDRB Morowali dengan lonjakan yang signifikan yakni sebesar 943 miliar rupiah.
Sedangkan sektor pertanian mengalami peningkatan yang kurang signifikan yakni sebesar 671 miliar rupiah pada tahun yang sama. Tahun 2012 menjadi penanda dominasi industri pertambangan terhadap perekonomian Kabupaten Morowali hingga sekarang.
Sebelum masifnya Industri pertambangan nikel, pertanian menjadi sektor yang diandalkan masyarakat dalam menggerakan roda perekonomian. Menyelami data BPS Morowali 2010-2012, sektor Perkebunan Rakyat pada 2003 menunjukkan hasil produksi yang melimpah seperti Kelapa (5.421 ton); Kelapa Sawit (1.096 ton); Jambu Mete (1.253 ton); dan Coklat atau Kakao (8.244 ton). Kehutanan seperti Kayu Kelompok Meranti (10.835 ton); Kayu Kelompok Rimba Campuran (3.360 ton); dan Rotan (3.037 ton).
Tidak hanya Perkebunan Rakyat dan Kehutanan, Pangan juga menunjukkan hasil yang melimpah seperti Padi (27.114 ton); Jagung (2.318 ton); dan Ketela Pohon atau Ubi Kayu (1.705 ton). Berdasarkan data BPS Morowali 2010-2012, tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian tahun 2009-2012 sangat mendominasi yakni kurang lebih setengah (± 50%) dari total populasi pekerja Morowali. Dengan keberlimpahan dan dominasi di sektor ini tentunya mengkonfirmasi bahwasanya masyarakat Morowali kebanyakan yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian.
Pada tahun 90-an, masyarakat Morowali (petani) mulai membudidayakan tanaman jambu mete secara swadaya (Andika: 2014). Proses pembudidayaan dilakukan dengan cara tradisional dan panen dilakukan setiap tahun. Saat tahun-tahun pertama panen, satu hektar lahan dapat menghasilkan sekitar satu ton.
Proses panen jambu mete terkesan mudah dan tidak terlalu susah, bahkan tidak membutuhkan keahlian khusus. Dengan kata lain, jika buahnya matang, tinggal menggoyangkan batangnya untuk membuat buah jatuh ke tanah. Setelah dipetik, buah dijemur selama 3 (tiga) hari dan langsung dijual ke pedagang pengumpul.
Tidak hanya jambu mete, masyarakat Morowali (petani) juga banyak mengelola komoditi coklat atau kakao. Pengelolaan komoditi ini banyak tersebar di beberapa kecamatan. Kecamatan Bungku Timur, khususnya desa Kolono telah memanfaatkan komoditas tersebut untuk pemenuhan kebutuhan hidup sejak 90-an. Sebagaimana komoditi yang menjadi pilihan, pengelolaan coklat atau kakao juga terdokumentasikan di kecamatan Bahodopi (Baca: Hasnia 2018).
Satu diantaranya, masyarakat desa Fatufia bahkan sejak 1970-an telah menggantungkan hidup pada komoditi coklat atau kakao (Baca: Anriani 2019). Terlepas dari kecamatan Bungku Timur dan Bahodopi, Bungku Pesisir juga menjadikan komoditi coklat atau kakao sebagai komoditi pilihan dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakatnya (Baca: Saimu 2015).
Selain petani perkebunan, sumber penghidupan masyarakat Morowali (petani) juga terdokumentasikan pada sektor kehutanan. Lebih jauh, aktivitas masyarakat petani di sektor ini dapat ditemukan pada pencaharian damar, rotan dan gaharu. Masyarakat di desa Laroenai dan Torete khususnya dapat memiliki pendapatan berkisar antara Rp. 50.000,- Rp. 100.000, perhari pada aktivitas tersebut. Dalam satu bulan, masyarakat yang menggantungkan hidup di sektor kehutanan biasanya memiliki hari-hari untuk beristirahat.
Sehingga, jika dihitung secara efektif pendapatan pencari damar, rotan, dan gaharu di hutan dapat berkisar antara Rp. 1.200.000,- s.d. Rp. 2.250.000,- perbulan (Baca: Saimu 2015). Selain Laroenai dan Torete, di Bahodopi pun sejak lama masyarakatnya telah memanfaatkan hasil hutan berupa kayu bakar, damar, dan rotan di ex-kawasan hutan yang saat ini menjadi kawasan pertambangan nikel (Baca: Hasnia 2018 dan Sangadji et al., 2020).
Bersamaan dengan perkebunan rakyat dan kehutanan, penghidupan masyarakat petani yang paling utama bersumber dari sektor pangan. Mengapa demikian? karena sektor pangan menghasilkan produksi yang mengandung protein utama sebagai sumber penghidupan masyarakat. Sektor pangan di Morowali meliputi jenis komoditi yang menghasilkan dan digunakan sebagai bahan makanan oleh masyarakat sekitar.
Di Morowali sendiri, sektor pangan khususnya padi sawah mengalami kesuksesan. Sesuai dengan data yang telah disampaikan di awal, panen pertama untuk satu hektar, rata-rata dapat menghasilkan 20 karung dengan berat masing-masing 50 kilogram (Baca: Andika 2014). Umumnya petani menggunakan “traktor” dengan biaya antara 600 hingga 700 ribu rupiah per 75 are. Biaya produksi lainnya adalah biaya tanam yakni sebesar 225 ribu rupiah.
Dengan ini, rata-rata biaya yang petani keluarkan berkisar tiga juta rupiah. Jika petani tidak mampu mengeluarkan ongkos sebesar tiga juta rupiah ini, terpaksa menggunakan tenaga buruh tani ataupun anak-anak dari petani sendiri. Selain itu, petani juga biasanya terpaksa berhutang untuk membiayai penggarapan padi sawah.
Bila diamati, kejayaan dan dominasi sektor ini ditandai dengan hasil swadaya masyarakat petani yang mengandalkan kemandirian tanpa fasilitas dari pemerintah daerah (Baca: Andika 2014). Meskipun dilakukan secara mandiri dan kurangnya dukungan dari pemerintah, kejayaan tersebut secara substansial perlu kemudian dipertanyakan lebih jauh. Mengapa bisa demikian? dominasi dan kejayaan tersebut tentunya tidaklah sungguh-sungguh mengindikasikan bahwa masyarakat petani di Morowali memiliki nasib (sejahtera) yang sama.
Faktanya, sektor pertanian di Morowali sebelum masifnya tambang telah berada dalam situasi sosial yang kompleks. Kondisi sektor pertanian ini, terlepas dari hasil produksi pertanian yang melimpah dan berjaya di masa lalu, sedari dulu memiliki kesenjangan di antara masyarakat petani. Hal ini didasari oleh penguasaan tanah atau lahan yang menjadi syarat utama dalam aktivitas produksi di sektor pertanian tradisional-semi modern di Indonesia khususnya Morowali.
Berdasarkan grafik “kue” pembagian lahan pertanian, terdapat empat pola kepemilikan lahan pada masyarakat pertanian Morowali.
Pertama, Petani yang mempekerjakan orang lain untuk menggarap lahannya (Petani Kaya). Dengan kepemilikan lahan antara 10-100 hektar lebih, tentunya terdapat sekelompok kecil petani (588 Rumah Tangga) yang memiliki alat produksi pertanian memadai serta mempekerjakan orang lain untuk memproduksi hasil yang melimpah.
Kedua, Petani yang memiliki lahan antara 2-9.99 ha dengan jumlah 14.610 Rumah Tangga (Petani Menengah). Kelompok ini terkadang mempekerjakan orang lain ketika memiliki modal yang cukup untuk membiayai proses produksi, namun terkadang juga menggarap lahan menggunakan tenaga sendiri atau tenaga keluarga jika modal yang dimiliki tidak mumpuni.
Ketiga, Petani dengan kepemilikan lahan kurang dari 1.99 ha (Petani Kecil) yang berjumlah 21.275 Rumah Tangga. Petani Kecil, sebab kepemilikan lahan yang tidak luas, akan cenderung menggarap lahan yang dikuasai dengan tenaga sendiri atau keluarga yang tidak diberi upah.
Keempat, Petani yang menggarap lahan milik orang lain (Buruh Tani). Kelompok ini disebut dengan “Bawon”, karena tidak memiliki lahan selain tenaga kerja. Istilah “Bawon” dibawa oleh Transmigran Pulau Jawa. Setiap “Bawon” mendapat upah sebesar 10% dari hasil panen. Jika mengalami gagal panen dan tidak memberikan hasil maka upah “Bawon” terpaksa ditunda untuk dibayarkan dan menunggu masa panen berikutnya.
Bertolak pada data-data pembagian atau pola yang telah disampaikan, sejatinya masyarakat petani Morowali tidaklah setara dan harmonis. Kenyataan ini sebenarnya bukan lagi cerita baru bagi penstudi yang berfokus pada “pembagian kelas di sektor pertanian” (Bernstein 2010; McCarthy, JF 2010; Fortin 2011; Habibi 2021; dan Habibi 2022).
Namun, sebagaimana disampaikan di awal, tulisan ini berfokus pada keadaan petani dan industri tambang, sehingga tidak akan memberikan penjelasan secara detail tentang pembagian kelas dalam sektor pertanian Morowali. Akan tetapi, singgungan ini penting untuk menganalisis lebih jauh “ternyata” dalam sektor pertanian pun ada masyarakat petani yang tidak diuntungkan sebelum masifnya, transisi, dan sesudah masifnya industri tambang. Di samping itu, masifnya industri tambang di Morowali semakin memperparah masalah yang telah ada.
Disclaimer: Kecamatan Bahodopi, Bungku Timur dan Pesisir, banyak disebutkan dalam tulisan ini, karena wilayah tersebut berlatar belakang dengan sektor pertambangan.
Penulis adalah Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Aksan Talib dan Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Faqih Naufal.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari part 1: Siapa yang Diutungkan dari Pertumbuhan Ekonomi Berbasis Tambang di Morowali?
Nantikan part selanjutnya!
Discussion about this post