Kain kafan sepanjang tujuh meter terbentang tepat di depan kantor Desa Tudua, Kecamatan Bungku Tengah, Morowali. Sejak Jumat malam (07/08) melalui musyawarah, Warga Desa Tudua bersepakat menolak investasi pertambangan yang hendak masuk ke lahan mereka. Kain yang dibentang menghadap jalan raya itu bertuliskan “1000 tanda tangan Masyarakat Tudua menolak tambang PT GIU”.
Penolakan aktivitas tambang di Desa Tudua menjadi oase di tengah gurun. Dalam lima tahun terakhir, gerak investasi pertambangan di Morowali makin agresif. Setelah hampir menyisir habis lahan dari Kecamatan Bungku Selatan, Bungku Pesisir, Bahodopi, Bungku Timur, kini pengerukkan hendak menyentuh Kawasan Bungku Tengah yaitu Desa Tudua dan Puungkoilu.
PT GIU atau PT Graha Istika Utama merupakan perusahaan tambang lokal yang beroperasi di Morowali. Dalam catatan investigasi Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah (Jatam Sulteng) yang dirilis di Mongabay Indonesia pada 27 September 2013, PT GIU merupakan satu dari 43 perusahaan di Morowali yang pernah memiliki IUP tumpang tindih dengan lahan kontrak karya (KK) PT Vale Indonesia di kawasan Desa Onepute Jaya, Kecamatan Bungku Timur.
PT GIU saat ini telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi tambang batu gamping di area seluas 189, 84 Ha yang berada tepat di atas lahan perkebunan warga Desa Puungkoilu dan Desa Tudua.
“Kami secara tegas menolak penambangan di wilayah kami,” kata Kepala Desa Tudua Usman Pasida kepada Kamputo.com di rumahnya, Senin (10/8).
Usman menjelaskan, 90 persen warga Desa Tudua yang jumlahnya sekitar 500 jiwa menggantungkan hidup dari lahan pertanian dan perkebunan. Warga Desa Tudua telah menopang ekonomi mereka dari hasil tani selama kurang lebih 40 tahun.
“Menjadi petani adalah warisan dari nenek moyang kami. Kami sudah syukuri apa yang sudah ada ini, kami ini ingin hidup tenang, walaupun ekonomi kami mungkin tidak terlalu bisa andalkan. Yang kami inginkan ketenangan bukan kekayaan,” ujarnya.
Desa Tudua merupakan wilayah pemekaran dari Desa Puungkoilu pada 4 Desember 2004. Lahan perkebunan di sana menjadi salah satu yang teluas di Morowali. Tanaman pokok adalah cengkeh, pala, dan merica.
Budidaya pertanian, khususnya tanaman pala merupakan peninggalan Sangaji Haji Amrin yang kala itu masih mengepalai tiga desa sekaligus yaitu Unsongi, Lahuafu, dan Puungkoilu. Haji Amrin merupakan pebisnis Ikan Kalaroa yang bolak-balik Morowali-Manado, kala itu ia membawa bibit pala dari Manado yang kemudian menjadi hasil tani terbesar di Tudua hingga kini.
“Menanam Pala ini bukan waktu yang sebentar, butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa normal dan dinikmati hasilnya,” ujar Usman.
Kepala desa yang sudah menjabat selama tiga periode itu mengaku tak pernah menyangka akan ada ancaman seperti ini di desanya. Pernah suatu malam, dari rumah pondok kebunnya ia menangis terseduh sambil membayangkan lahan kebun seluas 4 Ha di sekelilingnya itu digusur oleh aktivitas pertambangan.
“Lahan pertanian ini telah menghidupi kami, menyekolahkan anak kami hingga jenjang sarjana, memberangkatkan sebagian dari kami naik haji ke Tanah Suci Mekkah. Kami tidak melawan, tapi kami memohon agar tolong jangan ganggu lahan kami,” ujar Usman.
Selama menjabat sebagai Kepala Desa Tudua, Usman bahkan lebih banyak menjalankan aktivitasnya di kebun, “Karena sebagian besar masyarakat saya ada di kebun,” tegasnya.
Tak hanya lahan pertanian, mata air yang menjadi sumber kehidupan Warga Tudua selama ini juga terancam rusak.
Batu gamping bagian atas pada umumnya mempunyai rekahan yang intensif akibat dari proses karstifikasi, sehingga menjadikan zona ini mempunyai porositas sekunder yang berfungsi mengalirkan air yang meresap dari tanah di atasnya, kemudian mengalir ke gua bawah tanah melalui rekahan yang terbentuk di bawah (bedrock).
Air mengalir sebagai sungai bawah tanah, secara alami keluar ke permukaan sebagai mata air. Di Desa Tudua bisa diidentifikasi pada mata air Baho Bubuno, Baho Gata, Bahontomatano, dan Ulu Baho yang menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari.
“Ketika terjadi pertambangan, pasti kami tidak akan minum air, dan kemungkinan kami ambil air dari luar,” kata Usman.
Hal yang tak kalah penting adalah dampak umum dari pertambangan yaitu ancaman bencana alam.
Staff Data dan Informasi BMKG Makassar, Syamsul Bahri mengatakan Morowali merupakan salah satu kabupaten dengan frekuensi kejadian gempa cukup tinggi, sehingga potensi longsor sangat besar pada daerah dengan kemiringan lereng seperti Desa Tudua dan Puungkoilu.
“Faktor yang menyebabkan rawannya suatu kawasan mengalami longsor yaitu lemahnya daya ikat antar tanah dan batuan,” ujar Syamsul Bahri saat dihubungi Kamuto.com pada Selasa (11/8).
Terlebih lagi tambahnya, untuk wilayah Morowali, curah hujan tertinggi sering terjadi pada bulan Juni, Juli, hingga Agustus. Hal ini menyebabkan tanah dan batuan menjadi jenuh sehingga daya ikat menjadi semakin berkurang.
“Makin besar kemiringan lereng tersebut makin besar pula peluang terjadinya longsor,” ujarnya.
Pada 2012, longsor pernah terjadi di Desa Tudua, lereng setinggi 150 meter jatuh ke bawah mengikis perkebunan warga. Anggota BPD Tudua Yusrin mengatakan longsor kala itu terjadi akibat pembukaan lahan kebun yang dilakukan warga di atas lereng ditambah curah hujan yang tinggi.
“Ketakutan kami, tanah dari atas gunung itu. Ketika dibongkar di bawah, runtuh dari atas” kata Yusrin.
Tempat bersejarah peninggalan Kerajaan Bungku yaitu Benteng Fafontofure yang bersisian langsung dengan lahan pertanian warga juga terancam rusak jika terjadi aktivitas pertambangan.
***
Isu penambangan di Desa Tudua dan Desa Puungkoilu sudah mulai berhembus sejak Maret tahun ini. Kala itu, pihak PT GIU mendatangi kediaman Kepala Desa Tudua Usman membawa lembaran berkas yang berisi permintaan tanggapan mengenai rencana penambangan perusahaan.
Usman mengaku, hingga detik ini belum pernah mengisi apapun dari lembaran yang diberikan pihak perusahaan tersebut. Satu-satunya lembaran yang ia ditandatangani kala itu adalah lembaran daftar hadir sosialisasi. Daftar hadir tersebut diisi secara formalitas sebab sosialisasi tak bisa dilakukan seperti biasa karena situasi pandemic Covid-19.
Saat kunjungan itu, Usman menyampaikan kepada pihak perusahaan bahwa dirinya tak bisa mengambil keputusan hingga hal ini ditanyakan langsung ke masyarakat terlebih dahulu.
“Mereka (PT GIU) bilang nanti situasi aman baru datang lagi untuk membicarakan ini lebih lanjut,” ujar Usman.
Hingga potongan draft Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PT GIU ramai beredar di media sosial, pihak perusahaan tak kunjung menemui satupun pihak pemerintah Desa Tudua.
Pada Minggu (9/8), Pemerintah Desa Tudua menerima surat dari Dinas Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Morowali bernomor 005/388/DLHD/VII/2020 tentang undangan rapat Komisi Penilaian Amdal (KPA). Undangan yang dijadwalkan pada Kamis (13/8) tersebut awalnya bertempat di salah satu rumah makan di Kota Bungku, sehari berikutnya melalui pemberitahuan lisan, lokasi rapatnya dipindahkan ke Kantor Bupati, Fanuasingko, Bungku Tengah.
Salah satu tokoh pemuda Desa Tudua Jabir mengatakan tindakan yang dilakukan oleh pihak perusahaan seperti bermain kucing-kucingan dengan masyarakat.
“Jadi selama ini mereka masuk sembunyi-sembunyi mengambil sampel, kemudian dengan tiba-tiba mengundang kami menghadiri sosialisasi penilaian Amdal, ini jelas seperti tindakan pencuri,” ujarnya.
Warga Tudua diwakili oleh Pemerintah Desa dan Tokoh Pemuda menemui Wakil Bupati Morowali Najamuddin pada Senin (10/8) di kediamannya untuk menyampaikan aspirasi warga. Audiensi tersebut mendapat respon positif, keesokan harinya Selasa (11/8) Najamuddin mengunjungi langsung Desa Tudua untuk meninjau langsung kondisi lahan perkebunan warga Desa Tudua.
Dengan menggunakan sepeda motor, Najamuddin Bersama beberapa warga menyusuri jalanan beton sepanjang 10 km yang dibangun secara mandiri oleh warga untuk memudahkan akses masuk ke lahan perkebunan.
Saat melewati lorong perkebunan, seorang petani perempuan dari pinggir jalan mengacungkan sebilah parang hendak menyapa wakil bupati, “Jaga tanaman kami,” ujarnya sambil membiarkan rombongan Najamuddin melintas.
Dari atas, Najamuddin menyaksikan langsung tanaman yang tumbuh di setiap jengkal lereng gunung di atas Desa Tudua.
“Tidak bisa, jelas tidak bisa, ini masih original, kita pertahankan, tidak boleh ada industri,” ujar Najamuddin.
Dengan kamera DSLR yang ia bawa sendiri dari kantornya, Najamuddin mengambil beberapa gambar di sekitar lahan perkebunan warga, katanya untuk menjadi bahan paparannya ketika dimintai keterangan di pertemuan dengan pihak perusahaan Kamis nanti.
“Sejak awal, kami tetap bertahan, pada posisi kami yaitu menolak, soal investasi tidak ada urusan,” tegasnya.
Kewenangan pemerintah daerah memang masih dibatasi oleh Undang-Undang (UU) Minerba No.4 tahun 2009, dan UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di mana pemerintah daerah tingkat kabupaten tak dilibatkan dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kewenangan tersebut masih berada di tingkat provinsi.
Namun, dalam penerbitan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) pemerintah provinsi tetap diwajibkan mendapat surat rekomendasi dari pemerintah kabupaten. Perlu diketahui, penilaian Amdal adalah langkah terakhir sebuah perusahaan sebelum mendapatkan IUP Operasi Produksi dari Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T) Provinsi.
Sebelum pulang, Wakil Bupati yang membidangi bagian pengawasan itu ikut membubuhkan tanda tangan di atas kain kafan yang sudah dipenuhi ratusan tanda tangan.
Kain kafan tersebut kata Jabir akan dibawa pada pertemuan Kamis nanti sebagai simbol penolakan warga terhadap apapun yang menyangkut aktivitas pertambangan.
“Tak Perlu ada pembicaraan lagi mengenai Amdal. Kami dengan tegas menolak!,” tegasnya.
Discussion about this post