Ada yang berbeda dengan Ramadan kali ini, celetuk teman saya di kampung. Serba-serbi Ramadan yang biasanya sudah terasa jauh hari sebelum masuknya bulan puasa, kini tak ubahnya seperti hari-hari biasa. Bulan suci yang kehadirannya begitu dinantikan ini tak disambut lagi dengan suka cita seperti tahun-tahun sebelumnya. Kemunculan pandemi Corona memaksa umat Muslim harus menggeser tradisi yang biasanya dilakukan saat bulan puasa tiba dan menerima kondisi sekarang dengan kekuatan dan kesabaran yang lebih lapang dari sebelumnya.
Betapa tidak, situasi pandemi Corona yang menghantam hampir seluruh Negara di dunia membuat aktivitas masyarakat di seluruh sektor berubah. Di Indonesia, virus ini menginfeksi ribuan orang dan menyebabkan ratusan nyawa meninggal dunia dalam kurun waktu sebulan terakhir. Demi memutus rantai mata penyebaran virus, pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota/kabupaten, physical distancing (pembatasan kontak fisik), work/school from home, dan larangan mudik lebaran.
Lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengeluarkan imbauan agar umat Islam menjalankan ibadah termasuk salat tarwih di rumah masing-masing. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan dan dialami oleh umat Islam sebelumnya sehingga menimbulkan pro dan kontra pada masyarakat. Hal ini tidak lain karena kehadiran bulan penuh berkah ini selalu disambut dengan penuh suka cita, ditandai dengan salat tarwih berjamaah di masjid, tadarus di masjid, dan sederet kegiatan peribadatan lainnya. Sekarang semua umat Muslim harus legowo untuk melaksanakan peribadatan dari rumah.
Di timeline sosial media Facebook saya misalnya, pro dan kontra untuk beribadah rumah terus bergulir hingga situasi yang seharusnya membutuhkan semangat kebersamaan malah berujung pada perdebatan yang tak berkesudahan. Manusia oh manusia !!!
Namun bukan itu yang menjadi inti dari tulisan ini. Di Morowali, ada beberapa tradisi yang dilakukan setiap menjelang Ramadan yang keberadaannya tidak akan sama dan semarak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pertama dan paling utama adalah pendirian ndengu-ndengu, yaitu sebuah bangunan untuk membangunkan masyarakat saat sahur menjelang. Di dalam bangunan yang berukuran kira-kira 2×3 meter dengan ketinggian 5-20 meter dari bawah tanah ini, terdapat berbagai instrumen alat musik tetabuhan seperti gong. Bagi masyarakat Bungku, Ramadan akan terasa hambar jika bangunan ndengu-ndengu tidak ada. Sebab bangunan ini menjadi alarm sahur yang keberadannya telah ada sejak zaman Kerajaan Bungku berkuasa. Alunan dari alat tetabuhan yang kebanyakan dari peralatan dapur bertalu-talu dimainkan oleh anak-anak muda. Umumnya bangunan ini berada di lingkungan masjid, namun setiap desa biasanya memiliki lebih dari satu bangunan ndengu-ndengu yang tersebar di beberapa titik.
Tahun ini, pendirian bangunan ndengu-ndengu tidak sebanyak tahun-tahun yang sudah lalu. Imbauan melakukan ibadah di rumah masing-masing berdampak pada pergeseran tradisi yang tiap tahunnya rutin dilakukan. Walaupun di beberapa desa, bangunan ini masih didirikan, namun semangat dan euforia anak muda sebagai pelaku dibaliknya mulai berkurang. “Tak apa, setidaknya masih ada satu dua ndengu-ndengu yang berdiri”, kata teman saya dalam sebuah pesan teks WhatsApp.
Kedua adalah pasar Ramadan yang mana pangsa terbesarnya berada di Kelurahan Marsaoleh, Kec. Bungku Tengah. Setiap sore, baik yang menjual maupun yang membeli takzil buka puasa akan mengerumuni pasar Ramadan. Makanan tradisional yang biasanya ditemukan pada saat bulan puasa seperti sunde-sunde, dodara, songkolo, panada, dan banda-banda menjadi takzil khas yang sering diburu oleh orang Bungku. Namun tahun ini, agaknya makanan tersebut akan jarang ditemukan kecuali jika ada keluarga yang berinisiatif membuat panganan kue tersebut atau membelinya pada penjual secara online yang menjualnya.
Ketiga adalah ngabuburit. Hampir di seluruh dunia, tradisi ngabuburit atau acara kumpul bersama menjelang buka puasa menjadi kegiatan yang sifatnya fardhu ain bagi para kawula muda. Sebenarnya, muda-mudi Morowali bukan tipikal orang yang akan menghabiskan waktu ngabuburit di café atau warkop tertentu sebab tempat nongkrong yang lagi ramai diperbicangkan sekarang baru muncul dalam setahun terakhir. Biasanya anak muda akan menghabiskan waktu ngabuburit di pelabuhan, ndengu-ndengu, atau warung makan. Laiknya ngabuburit anak desa kebanyakan, namun semuanya berubah ketika negara api menyerang, eh maksudnya Cina dengan dunia tambangnya.
Saat ini, tempat nongkrong Morowali semakin banyak dan dengan adanya pembatasan jarak fisik menjadikan tempat-tempat ini akan sepi dari keramaian. Tongkrongan yang biasanya dilakukan secara face to face bergeser ke pertemuan virtual lewat sosial media. Kolarooo !
Selain itu, tentu saja kewajiban melaksanakan salat tarwih di rumah masing-masing. Ini bukan perkara yang mudah diterima masyarakat sebab bulan puasa identik dengan mendirikan salat tarwih secara berjamaah di masjid. Masyarakat Morowali umumnya melaksanakan salat tarwih sebanyak 23 rakaat yang imamnya diisi oleh orang-orang pilihan. Sayangnya arahan untuk melaksanakan salat tarwih di rumah tidak dibarengi dengan buku panduan oleh lembaga agama terkait sehingga menciptakan kekalutan di masyarakat. Kansema carano sambahea tarae le raha ? naku hapalao yo doano ! begitulah kira-kira pandangan masyarakat terhadap keputusan ini.
Masjid-masjid terpaksa ditutup tetapi suara adzan tetap berkumandang menciptakan kesedihan yang menyiksa batin bagi umat Muslim. Kondisi pandemi ini akan memberikan pahala bagi orang yang beriman jika memahami pentingnya berdiam diri rumah dan akan menjadi azab bagi orang yang tidak beriman jika keukeh melawan imbauan saat wabah melanda. Padahal dalam HR Bukhari, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kamu memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”.
Amalan-amalan yang dikerjakan selama bulan puasa tetap dilaksanakan seperti biasa, yang berbeda hanyalah tempatnya saja. Kita harus memetik hikmah dengan adanya pandemi ini dengan mempertebal keimanan dan lebih mendekatkan diri ke Sang Maha Pencipta. Tenang saja, pandemi ini tidak akan lama lagi berlalu.
Marhaban Ya Ramadhan, selamat menjalankan ibadah di bulan penuh berkah ini wahai saudaraku semua 😊
Discussion about this post