Tak ada yang menyangka dan menginginkan Ramadan tahun ini berlangsung di tengah pandemi global. Mewabahnya Covid-19 yang melanda dunia sejak Januari lalu menyebabkan serba-serbi tradisi Ramadan kini dilakukan dengan cara yang berbeda. Segala aktivitas peribadatan yang melibatkan orang berkerumun dalam satu tempat seperti salat berjamaah di masjid baik salat fardu lima waktu, Jum’at, dan tarwih juga tak luput dari larangan.
Pelarangan ini tak cuma menyasar umat Islam saja, kegiatan peribadatan agama lain pun juga dibatasi. Kementerian Agama (Kemenag) bahkan menerbitkan surat edaran No. 6 tahun 2020 tentang panduan ibadah Ramadan 1441 H di tengah pandemi Covid-19. Demikian pula Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa agar umat Islam melakukan ibadah dan amalan-amalan bulan puasa di rumah masing-masing.
Namun, menutup atau meniadakan aktivitas keagamaan di masjid secara berjamaah tampaknya tak mudah diterima masyarakat. Sekalipun telah disosialisasikan dan diinformasikan secara terpadu, tetap saja akan mendapatkan sanggahan dan menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat.
Seperti kejadian di salah satu desa di Kecamatan Bungku Timur pada beberapa malam lalu, tersiar kabar jika ada pertikaian antar sesama warga karena perbedaan cara pandang dalam menyikapi imbauan dari pemerintah terkait pelarangan salat berjamaah di masjid. Cerita ini bermula ketika salah satu pihak melarang warga untuk salat di masjid dan pengecualian bagi lima petugas masjid yang memang ditugaskan untuk memberi tanda bergantinya waktu salat. Naas, pihak lainnya tetap memaksakan kehendak untuk diberi kebebasan salat berjamaah.
Setali tiga uang dengan yang terjadi di Islamic Center Bungku Tengah. Sesaat menjelang salat Tarwih, para jamaah tarwih berkisruh dengan Pol PP dan Satgas Covid-19 Morowali dikarenakan pelarangan untuk menunaikan salat secara berjamaah. Begitupun di desa-desa lainnya, banyak masyarakat yang resah dan kecewa dengan keputusan pelarangan peribadatan ini. Sehingga tak pelak pada beberapa kasus, para jamaah tetap kekeuh menjalankan salat tarwih dan tidak menghiraukan imbauan pemerintah.
Kejadian ini menggelitik nalar saya hingga memutuskan berdiskusi dengan beberapa orang yang ngotot untuk melaksanakan salat berjamaah di masjid sekalipun maklumat pemerintah dan lembaga agama terkait telah keluar, dan alasan yang saya dapatkan cukup sederhana.
Mereka bilang, “Kok aktivitas keagamaan seperti salat berjamaah di masjid dilarang, sementara pasar, toko-toko moderen, olahraga dan aktivitas lainnya yang tetap diberi keleluasaan dan tidak dilarang, padahal itu juga melibatkan orang banyak loh”.
Sekilas, pernyataan dari kawan saya ini ada benarnya. Mereka bisa saja patuh terhadap imbauan dan instruksi dari pemerintah namun karena ada pembiaran pada aktivitas keramaian lainnya. Maka mereka juga ikut-ikutan acuh atau sebut saja ini cara mereka menggugat.
Tetapi jika ditelaah lebih dalam, pelarangan salat berjamaah di masjid ini sebenarnya sudah tepat, tidak keliru sedikitpun. Sebab itu menjadi bagian dari ikhtiar melawan Covid-19 yang kian bertambah banyak akhir-akhir ini.
Dengan kata lain, masjid dan pasar memiliki fungsi yang berbeda, sehingga tidak bisa dianalogikan satu sama lain. Masjid adalah tempat berkumpulnya umat Islam sedangkan pasar adalah tempat berbelanja kebutuhan pokok yang mana kehadirannya harus tetap ada agar kita bisa bertahan hidup.
Namun alangkah baiknya, apabila ada beberapa orang semisal petugas masjid yang ditunjuk dan ditugaskan untuk menghidupkan masjid sebagai eksistensi keislaman di setiap wilayah. Tak kalah penting, pelarangan salat berjamaah di masjid juga harus diikuti dengan pengontrolan pasar, toko -toko moderen, serta tempat keramaian lainnya. Agar tidak terkesan acuh dan tebang pilih dalam menangani Covid-19 ini.
Pasar Ideal di Tengah Wabah
Pasar menjadi pusat perekonomian masyarakat yang berlangsung setiap harinya. Urgensinya sangat besar sehingga ketiadaan pasar akan berakibat fatal. Betapa tidak, jika masyarakat tak lagi melakukan aktivitas jual-beli, kebutuhan pangan didapatkan dari mana ?
Terkecuali jika pemerintah mau menyiapkan dan menanggung bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat jika pemberlakukan karantina wilayah misalnya diterapkan. Karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah melakukan pengontrolan secara serius, tidak sebatas pada imbauan saja. Apalagi di bulan suci Ramadan ini, pengunjung pasar semakin banyak dan hampir sebagian mengabaikan imbauan-imbauan tersebut.
Seharusnya dan sebaiknya pemerintah hadir untuk melakukan tindak pengaturan terhadap titik lokasi penjualan para pedagang di pasar, termasuk jalur keluar-masuk pasar, hingga menyiapkan tempat pencucian tangan serta kewajiban memakai masker bagi setiap orang.
Lalu pertanyaannya, mengapa harus mengatur titik lokasi penjualan para pedagang ?
Agar dalam aktivitas transaksi jual-beli, para pembeli bisa terhindar dari kontak fisik
Mengapa harus mengatur jalur keluar dan masuk pasar?
Agar para pembeli yang telah menyelesaikan aktivitas pasarnya dan orang yang baru tiba untuk melakukan aktivitas pasarnya tidak menggunakan pintu yang sama sehingga bisa kontak fisik bisa dihindari.
Mengapa harus menyiapkan tempat pencucian tangan di pintu masuk dan keluar pasar ?
Untuk menghindari virus yang kemungkinan menempel di tangan, karena cuci tangan dapat membersihkan virus. Pemerintah bisa menggunakan tong air dengan kapasitas volume 600 L-1200 L di setiap pintu masuk dan keluar pasar.
Itu hanya sebagai contoh dan sekadar saran jika pemerintah benar-benar serius menangani Covid-19 ini. Begitupun dengan tempat lain yang masih saja menghadirkan orang dengan jumlah banyak, harus segera dikontrol dan ditindaklanjuti demi keamanan masyarakat.
Itu membutuhkan anggaran?
Tentu saja teha. Tetapi jika dihadapkan pada dua pilihan antara mengeluarkan anggaran demi terhindar dari serangan Covid-19 atau mengendapkan anggaran tapi terpapar Covid-19, manakah pilihan yang lebih baik ?
Maka, siapapun itu, jika dihadapkan dengan dua pilihan tersebut, jika rasa kemanusiaannya masih tersisa pasti akan mengambil pilihan pertama yaitu mengeluarkan anggaran agar terhindar dari serangan covid-19 alias tetap sehat.
Ingat, jika rasa kemanusiaannya masih tersisa !!!
Tak perlu menimbangnya hingga bingung, cukup refleksikan kembali pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Alinea keempat dengan tegas menyebutkan jika Negara berkewajiban “Melindungi segenap bangsa Indonesia”.
Apapun kondisinya, keselamatan rakyat adalan prioritas dari segala prioritas…!
Discussion about this post