Pagi itu cuaca tampak mendung. Udara di sekitar terasa lebih dingin ketimbang hari-hari biasanya. Ditambah dengan tiupan angin yang sepoi-sepoi, sudah cukup untuk mengundang embun dibalik semak rerumputan. Di atas, awan mulai tebal, menghitam. Sinar matahari terhalang oleh tebalnya awan itu. Langit biru tak dapat terlihat oleh mata. Pelan-pelan yang muncul hanya kepulan-kepulan awan hitam yang kian menebal setiap menitnya. Rasa-rasanya hanya menunggu sepersekian menit lagi, maka hujan akan turun dengan sangat deras.
Pak Koji buru-buru membangunkan Kilam. Lelaki paruh baya itu hendak memastikan supaya anak laki-lakinya tidak terlambat di hari pertamanya, ia mengenakan pakaian putih-biru. Apalagi cuaca di luar sana mulai menunjukan geliat yang kurang bersahabat.
Seperti biasa kalau pagi, Bu Dwi, Ibunya Kilam, mulai sibuk menyiapkan sarapan buat keluarga mereka. Sementara Pak Koji usai membangunkan Kilam, ia lanjut menonton acara ceramah agama yang tiap pagi ditayangkan disalah satu stasiun televisi nasional. Itu merupakan satu dari acara televisi yang paling ia gemari. Penceramahnya adalah KH. Zainuddin M.Z. Ulama kondang yang dijuluki da’i sejuta umat. Sesekali ia menyetel ke stasiun televisi lain untuk menyaksikan berita apabila acara ceramah tersebut sedang jeda iklan.
“Pakkk… Sarapan!” Dari dapur terdengar suara Bu Dwi dengan nada seperti orang yang sedang berteriak, tapi tak lantang. “Kilam, cepat, Nak. Nanti terlambat.” Kali ini suaranya tertuju pada Kilam.
Menu sarapan yang tersaji di atas meja tampak lebih variatif dari biasanya. Ada telur ayam kampung direbus, susu, aneka gorengan, kue-kue kering, serta ada pula Jepa (makanan yang berbahan dasar sagu yang dicampur dengan gula Jawa, cara bikinnya disangrai). Jepa itu makanan paling disukai Kilam. Kata Bu Dwi, ini khusus untuk menyambut sekaligus merayakan status Kilam yang sudah memasuki pendidikan ditingkat Sekolah Menegah Pertama (SMP). Katanya lagi, biar Kilam tambah semangat sekolah, dan belajarnya semakin ditingkatkan.
“Wah, banyak sekali. Apa tidak terlalu berlebihan ini makanannya, Ma?” Pak Koji menggoda Bu Dwi.
“Ya, tidak apa toh Pak, sekali-sekali. Iya kan, Kilam?” Saut Bu Dwi melirik Kilam.
“Hmm… Bapak cemburu ya, apa cuma Kilam yang dikhususkan Ibu pagi ini?”
“Enak saja! Itu terbalik, Nak. Sejak kapan Bapakmu ini cemburu. Tahu sendiri kan kalau Bapakmu ini punya wajah yang gantengnya minta ampun. Ekhem. Jadi, bisa tahu lah siapa yang keseringan cemburu?” Pak Koji tertawa kecil.
“Maksudnya, Mama yang sering cemburuan, Pak?”
“Ya coba tanya langsung sama mamamu. Yah… Moga-moga aja kali ini mau diakui.” Saut Pak Koji cengengesan.
“Emang betul, Ma?”
“Hust! Sudah, Sudah! Ayo sarapan. Nanti kamu ke sekolahnya lambat lagi.”
Belum juga usai sarapan, hujan sudah mengguyur. Suaranya terdengar mulai berisik di atap rumah mereka. Kilam terlihat sedikit kegirangan. Pikirnya, kalau hujan berarti ke sekolah jadi batal.
Memang kebanyakan anak seusianya di kampung ini, apabila hujan, yang muncul dalam pikiran mereka, hujan jadi alasan yang lumayan mujarab biar tidak ke sekolah. Entahlah kenapa bisa begitu. Barangkali yang mereka pahami, Tuhan mengirim hujan untuk memberikan isyarat supaya manusia bisa rehat dari berbagai aktifitasnya. Termasuk bersekolah. Ditambah lagi ketika turun hujan, adalah momen paling pas untuk bermalas-malasan. Itu juga yang Kilam rasakan. Mulailah ia memikirkan posisi tidur terbaiknya. Nyaris sudah tidak ada lagi keinginannya untuk berangkat ke sekolah.
“Pak, sudah hujan.”
“Bapak juga tahu, Nak!”
“Berarti ke sekolahnya batal dong. Hehehe”
“Loh, kok bisa begitu?”
“Paling teman-teman Kilam juga tidak ada yang ke sekolah, Pak. Paling juga banyak yang masih tidur.”
“Kan tidak ada aturannya, kalau hujan maka sekolah diliburkan.”
“Kalau teman-teman Kilam tidak ada yang ke sekolah, kan tidak ada yang diajar, Pak. Berarti libur.”
“Ya makanya Kilam harus ke sekolah, biar ada murid yang diajar.”
Tak berselang lama, mereka semua sudah selesai sarapan. Ibu Kilam membereskan meja makan. Kilam langsung menuju kamar. Ia buru-buru mengemasi barang-barangnya. Kemudian mengenakan seragam sekolah.
“Pak, payung di rumah ini sudah rusak. Tolong ya ambilkan daun pisang. Di pohon pisang yang di belakang rumah sini saja. Buat Kilam pakai jadi payungnya ke sekolah.”
Sesaat kemudian, daun pisang sudah disiapkan Pak Koji. Tidak terlalu besar, tapi kira-kira sudah lumayan untuk melindungi Kilam dari air hujan saat berangkat ke sekolah. Ibu Dwi juga menyiapkan dua buah kantong kresek. Satu kantong itu yang mau dipakai Kilam membungkus sepatunya biar tidak kotor. Jalan di kampung itu belum teraspal. Kalau hujan begini sudah pasti sepanjang jalan akan jadi kubangan lumpur.
Terpaksa Kilam sebentar harus telanjang kaki sepanjang perjalanan menuju sekolah. Nanti kalau sudah tiba di sekolah, barulah ia bisa mengenakan sepatunya. Bukan cuma sepatu, satu kantongnya lagi dipakai untuk membungkus tas ransel. Hanya mengandalkan payung dari daun pisang tentu saja tidak menjamin untuk melindungi sempurna tubuh Kilam dari hujan, termasuk tas ranselnya.
“Wah, rupanya alam ikut juga menyambut di hari pertama kamu masuk sekolah, Nak. Bapak pikir, alam turut merestuimu.” Celetuk Pak Kilam pada Kilam yang tengah menunggu Ibunya membungkus sepatu dan tasnya.
“Maksudnya gimana, Pak?” Kilam belum menangkap maksud perkataan Bapaknya.
“Hujan ini sudah lebih dulu ingin mengajarimu sebelum tiba di sekolah, Nak.”
“Kilam belum paham, Pak.”
“Gini. Kamu sekarang sudah masuk ke tahap sekolah yang lebih tinggi lagi, SMP. Pelajaran-pelajarannya tentu akan terasa lebih rumit ketimbang kamu dulu masih SD…”
“Terus, Pak?” Kilam menyambar perkataan Pak Koji.
“Hmm… Bapakmu kan belum selesai bicara, malah ditodong. Tidak baik loh Nak motong-motong perkataan orang tua. Kamu kan sudah SMP sekarang.”
“Hehehe… Maaf, Pak.”
“Bapak lanjut lagi… Berarti tantanganmu juga semakin bertambah. Katakanlah, tambah berat. Jadi kamu harus lebih dan lebih giat lagi belajarnya. Dan kamu sekarang tidak hanya akan menerima dan harus memahami pelajaran baru, tapi juga pelajaran-pelajaranmu dulu di SD, tetap harus kamu ingat. Itu jadi modal kamu untuk menerima pelajaran yang baru.”
“Kilam sanggup tidak ya, Pak?!”
“Bukan cuma itu saja. Mungkin, ini mungkin saja ya, kamu juga akan dianggap sebagai saingan oleh teman-temanmu kalau saja mereka merasa kamu lebih pintar dari mereka. Apalagi kalau kamu yang juara satu. Kan, yang peringkat satu itu cuma diambil satu orang saja.”
“Jadi Kilam gimana dong kalau begitu?”
“Nah, tadi kan Bapak sudah bilang di awal, kalau hujan ini lagi memberikan pelajaran buat kamu.”
“Kilam masih bingung, Pak.”
“Hujan ini mengganggu kenyamanan, atau bikin kamu jadi tambah susah tidak ke sekolah?”
“Lumayan mengganggu sih, Pak. Itu Ibu harus repot-repot lagi bungkus tas dan sepatu. Terus Kilam ke sekolah tidak pakai sepatu. Cuma pakai daun pisang pula lagi untuk jadi payung. Pasti bikin tambah susah Kilam lah pokoknya.”
“Nah, begini maksud bapak. Hujan itu seumpama mata pelajaranmu yang mulai tambah rumit. Juga seumpama teman-temanmu yang nantinya akan mengganggap kamu saingan. Tidak menyenangkan buat Kilam, menggangu. Tapi masa hanya karena itu bikin Kilam jadu tidak mau sekolah? Emang Kilam rela cita-cita Kilam tidak tercapai?”
“Tidak mau dong, Pak. Kilam harus tetap sekolah. Cita-cita Kilam banyak soalnya.”
“Ya harus begitu. Intinya apa? Kilam harus tetap punya semangat dan usaha yang besar. Selama kita masih punya semangat serta usaha, maka apapun pasti akan bisa kita lewati, Nak. Tanpa terkecuali pelajaran-pelajaran itu nanti.”
“Seperti semangat dan usaha Ibu dan Bapak untuk menyediakan daun pisang, membungkus tas dan sepatu Kilam ya Pak biar Kilam tetap bisa ke sekolah?”
“Itu Kilam sudah paham. Jadi jangan buru-buru mengeluh. Orang yang semangat dan usahanya tinggi, kendati pun dipaksa supaya mengeluh, dia tetap tidak akan mengeluh.”
“Oke deh… Kilam sudah mengerti, Pak.”
“Belum selesai. Satu lagi…”
“Apa itu?”
“Untuk teman-temanmu yang akan menganggapmu sebagai saingan, terima mereka itu sebagai tantangan buat Kilam, bukan dijadikan beban.”
“Itu bagaimana, Pak?”
“Yang namanya tantangan, itu harus dihadapi, dilewati, bukan untuk dihindari. Dan hujan ini juga sebagai tantangan. Kalau tadi kamu memilih untuk tidur, sama saja kamu lari menghindari tantanganmu, lari dari tantanganmu. Padahal kan biar cuma pakai daun pisang, kamu bisa melewati hujan ini. Artinya, kamu tidak harus menghindar dari teman-temanmu, lebih-lebih mau menjatuhkan mereka. Mereka ada sebagai tantanganmu. Kamu hanya perlu untuk terus berusaha dengan belajar, belajar dan belajar.”
“Baik, Pak. Kilam tambah paham sekarang.”
“Ya sudah, ayo berangkat sekarang. Keburu telat.”
Kilam mengambil tangan Bapaknya, lalu menciumnya punggung tangannya. Juga kepada Ibunya. Ia sudah mengenakan tasnya. Sepatunya diikat pada bagian bawah tali tas ranselnya. Tangan kanannya mengangkat daun pisang yang diacungkan di atas kepalanya. Ia mengucapkan salam kepada kedua orang tuanya. Dengan mantap, Kilam menerobos hujan pagi itu. Menerobos tantangan permulaan di hari pertama ia dengan seragam putih-biru. Fase baru dari perjalanan panjang yang akan ia hadapi dalam mengarungi dunia pendidikan.
Discussion about this post