Orang-orang di Morowali, Sulawesi Tengah menganggap keberadaan pekerja Tiongkok mempersempit kesempatan kerja warga lokal.
Siang itu, tengah September 2017, AB menikmati waktu istirahat pada sela jam kerja.
Ia mengobrol dengan kawan-kawannya di satu area semacam bengkel dalam kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah.
Di sudut lain, seorang pekerja Tiongkok diam-diam mengabadikan momen itu. Tak berbilang jam, foto AB dan kawan-kawan sampai ke atasan mereka. Mereka dituduh bermain saat jam kerja, lalu dapat teguran dari pengawas asal Tiongkok.
AB merasa tak berbuat salah, karena peristiwa itu terjadi saat istirahat. AB dan kawannya akhirnya kirim balasan. Mereka ambil gambar pekerja Tiongkok termaksud saat yang bersangkutan tertidur persis ketika jam kerja.
“Saya laporkan, akhirnya dia dipindahkan dari divisi kami,” ujar AB. Konon, pekerja Tiongkok termaksud sering berulah, misal melimpahkan pekerjaannya kepada pekerja domestik. “Kalau basuruh (memerintah) nadanya tinggi,” keluh AB.
Perselisihan pekerja domestik dan Tiongkok sering terjadi di kawasan industri nikel hasil kongsi swasta Tiongkok-Indonesia itu. Sepanjang 2017, sedikitnya ada dua video pertikaian pekerja domestik kontra Tiongkok yang viral di media sosial.
Video pertama memuat pertikaian yang berpangkal pada cipratan becek. Mulanya, pekerja Tiongkok bawa mobil dan melintasi jalan becek yang cipratannya mengenai pekerja domestik. Cekcok pecah dan terjadi pemukulan terhadap pekerja Tiongkok.
Rekaman lain menunjukkan pekerja Tiongkok yang tidak mengizinkan para pekerja Muslim melaksanakan Salat Jumat. Belakangan, pihak IMIP bilang bahwa peristiwa itu sekadar salah komunikasi.
Kabarnya, pekerja Tiongkok itu tak paham tentang Salat Jumat dan meminta agar pelaksanaannya dilakukan bergantian. Ia merujuk pada kebiasaan salat lima waktu, yang dilakukan bergilir oleh para pekerja Muslim. Ia pun meminta maaf.
Beda bahasa dan kultur jadi pemicu utama pertikaian bernuansa rasial macam di muka. Padahal, IMIP telah mempekerjakan para penerjemah–kebanyakan etnik Tionghoa asal Batam, Kepulauan Riau–untuk mengatasi masalah ini.
“Biar ada penerjemah, kadang juga tidak sesuai terjemahannya,” kata AB.
***

AB menerima kami di indekos yang masuk wilayah Bungku Timur–tetangga Bahodopi. Ia sengaja menyewa tempat agak jauh dari IMIP–sekitar delapan kilometer–agar mendapat tarif murah (Rp450 ribu).
Kamar itu berdinding batako tanpa plester. Luasnya tiga kali lima meter dan disekat jadi dua ruangan. Satu ruangan jadi tempat menerima tamu, sedangkan bilik lain jadi kamar tidur AB bersama istri dan anaknya. “Kalau di Bahodopi, so hampir satu juta kamar begini,” ujar AB.
Ia merupakan pekerja IMIP pertama yang kami temui. Ia minta namanya disamarkan. “Buruh takut bicara. Kalaupun ada, pasti minta nama samaran. Kalau vokal bisa di-PHK,” katanya.
Lima hari pada pengujung 2017, kami berbincang dengan belasan pekerja IMIP. Mereka berusia antara 27-35, dan bekerja sebagai kru pabrik, pekerja pemeliharaan kendaraan, sopir, hingga “orang kantoran”.
Para pekerja rendahan (level kru) umumnya mengeluhkan keberadaan pekerja Tiongkok. Keluhan paling dominan adalah perkara beda upah.
Tiap hari, rerata pekerja domestik kerja delapan jam plus lembur wajib 1-2 jam. Mereka beroleh upah minimum sektoral sekitar Rp2,5 juta per bulan. Bila ditambah uang lembur, mereka bisa bawa pulang sekitar Rp5 juta saban bulan.
Sedangkan pekerja Tiongkok dapat upah 2-4 kali lipat dari buruh domestik. Pembedanya hanya lama kerja, sebab orang Tiongkok kerja 12 jam sehari.
“Bagi bujangan lima juta cukup. Tapi kalau punya anak susah, apalagi kalau sudah sekolah. Belum bayar kos, cicil motor, dan kebutuhan pokok di sini mahal,” kata seorang pekerja pabrik feronikel.
Bagi orang Morowali dan Sulteng, Bahodopi bergelar “daerah dolar” karena lonjakan harga-harga kebutuhan pokok.
Pekerja yang sama juga mengaku pernah bicara dengan kenalannya yang orang Tiongkok. “Dia bilang gajinya dorang sampai tiga kali lipat. Cuman selama di Indonesia, tidak dikasih semua,” katanya.
***

Perselisihan di lingkungan kerja, perkara upah, hingga beda bahasa dan kultur ikut menyuburkan sentimen anti-Tiongkok.
Warga Bahodopi dan sekitarnya menganggap pekerja Tiongkok telah mempersempit kesempatan kerja orang lokal. Mereka pun menuding IMIP mempekerjakan pekerja ilegal asal Tiongkok.
Tudingan ini telanjur jadi kasak-kusuk, meskipun warga tak pernah melihat langsung orang Tiongkok dalam jumlah banyak berkeliaran di sekitar mereka.
“Orang Tiongkok tidak bebas keluar. Hanya sesekali, berkelompok pakai mobil dengan penerjemah dan penjaga,” kata seorang pemilik warung kopi di Bahodopi. “Biasanya cuman keluar belanja di pasar. Kalau belanja, hobi sekali batawar (menawar).”
Merujuk data IMIP, jumlah pekerja domestik mencapai angka 19.175 orang. Sedangkan pekerja Tiongkok berjumlah lebih kurang 2.000 orang.
Belasan pekerja IMIP yang kami temui meragukan klaim itu. Mereka menaksir jumlah pekerja Tiongkok antara 5.000-7.000 orang–beberapa menyebut “setengahnya orang Indonesia”.
Taksiran itu bukan tanpa hitungan. Konon, di IMIP, ada belasan mess tempat tinggal orang Tiongkok. Mess-mess itu diberi label berurut abjad.
Empat pekerja domestik menyebut ada 14 mess (A sampai N) di kawasan IMIP. Tiap mess punya dua-tiga lantai, satu lantai ada 40 kamar, dan masing-masing bilik ditinggali empat orang. Dengan asumsi tiap mess punya 80 kamar (dua lantai), maka total pekerja Tiongkok bisa melebihi angka 4.000.
“Belum lagi ada ‘Mess 2000’, itu katanya bisa menampung 2.000 orang,” kata seorang “pekerja kantoran” di IMIP.
Komentar juga datang dari Asnan As’ad (29), pentolan Aliansi Rakyat dan Buruh Bersatu (ARUS), kelompok masyarakat yang sering mengkritik IMIP.
“Mungkin yang tidak dilaporkan itu pekerja ilegal. Beberapa bulan ini, tiap hari, kami taksir 20-30 orang Tiongkok masuk, meski ada juga yang pulang,” ujar Asnan.
Beberapa pekerja domestik bilang, ada orang-orang Tiongkok yang cenderung mengalah saat berselisih di lingkungan kerja. Mereka menduga orang Tiongkok dengan kebiasaan itu kemungkinan besar berstatus ilegal. “Takut bermasalah,” kata AB.
Dari belasan pekerja, kami juga mengobrol dengan tiga sopir dump truck–dua orang masih bekerja dan satu baru habis kontrak.
Lewat pekerjaan sarat mobilitas, para sopir itu mengaku sering melihat orang Tiongkok dalam jumlah besar di area perusahaan seluas 2.000 hektare itu.
Dari mereka, kami dengar kasak-kusuk soal pekerja Tiongkok yang sembunyi ke hutan bila ada sidak dari pihak Imigrasi. “Jarak Pos I IMIP ke dalam berkilo-kilo. Jadi petugas (sidak) datang, masih bisa lari pekerja ilegal,” kata seorang sopir.
Direktur Eksekutif IMIP, Alexander “Alex” Barus membantah segala tudingan itu. Ia menyebut tudingan itu “tak masuk logika”.
“Mana ada 5.000 pekerja Tiongkok. Mau ditampung di mana? (Kapasitas) pabrik juga enggak cukup. Silakan periksa,” kata Alex. “Enggak ada masuk hutan. Logika berpikir aja, mau dapat listrik di mana kalau di hutan? makan apa? tinggal di mana?”
Meski begitu, Alex mengaku ada sejumlah mess di area IMIP–tanpa memerinci jumlahnya. “Ada banyak mess, saya lupa persisnya. Semua orang Tiongkok memang di dalam area perusahaan.”
***
Merujuk data Kantor Imigrasi Banggai, sepanjang 2017, pihak IMIP mengantongi 1.122 izin tinggal terbatas untuk tenaga kerja asing (TKA). Pemilik izin jenis itu bebas bekerja dan beroleh upah di wilayah Indonesia (6-12 bulan).
Data yang sama mencantumkan ada 11.163 izin tinggal kunjungan yang diberi kepada IMIP.
“Kalau izin tinggal kunjungan berlaku 30 hari, dan bisa diperpanjang. Ini data izin–bukan jumlah orang. Satu orang bisa dobel izin kalau diperpanjang,” kata Nouvly Momongan, Kepala Kantor Imigrasi Banggai.
Ia pun menjamin tak ada pekerja ilegal dari angka itu. “Ada juga investor atau urusan dagang. Di sana banyak juga kontraktor yang kerja sama dengan perusahaan,” katanya. “Perusahaan (IMIP) kooperatif. Saat sidak, tahun lalu, tidak ada TKA ilegal.”
Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebut IMIP punya 1.092 TKA. Angka itu merujuk jumlah IMTA atau izin mempekerjakan tenaga asing.
Guna beroleh IMTA, sebuah perusahaan wajib bayar US$100 per TKA saban bulan–pendapatan negara bukan pajak. Sebagai ilustrasi, dengan 1.000 TKA, perusahaan mesti bayar sekitar Rp1,3 miliar per bulan.
“IMTA menggunakan prinsip kehati-hatian. Uangnya untuk peningkatan sumber daya lokal,” kata Maruli Hasoloan, Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja – Kemenaker.
Di IMIP, kata Maruli, penggunaan TKA dibutuhkan dalam tahap kontruksi–terutama pembangunan pabrik.
“Mereka harus balik setelah konstruksi selesai. Pas mulai produksi, giliran tenaga kerja Indonesia. Inikan membuka kesempatan kerja, positif donk,” katanya.
Adapun Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hanya merekomendasikan 1.072 TKA untuk pekerjaan konstruksi di IMIP–selisih 20 orang dari IMTA yang dirilis Kemenaker.
Wisnu Wijaya Soedibyo, Direktur Wilayah III Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal – BKPM, mengakui beda data bisa terjadi–versi IMIP, Kemenaker, dan Imigrasi. Pasalnya, tiap data punya penanda waktu, dan boleh jadi ada TKA datang atau pulang.
“Izin imigrasi kan terbatas waktunya. Mungkin sekali ada yang sudah kembali ke negara asal. Kalau kami di BKPM hanya bersandar pada Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) dari perusahaan,” ujarnya.
Menurut Wisnu, masyarakat tak perlu gelisah dengan isu ledakan TKA. Pasalnya, beban perusahaan untuk membayar pekerja asing sudah cukup besar.
“Tidak semua investor asing mampu menggaji TKA. Cost-nya besar, perusahaan bisa rugi. Bilapun dilakukan itu hanya untuk fase konstruksi atau untuk teknologi yang belum kita miliki dan kuasai.”
***Tulisan ini pernah dimuat sebelumnya di beritagar.id dengan judul “Hantu Anti Tiongkok di Sulawesi”, pada tanggal 29 Januari 2018. Dimuat ulang atas izin penulis, dan untuk tujuan pendidikan dan literasi.
Discussion about this post