“Lesua kantoro?”
“Rara nepo!”
Beberapa tahun silam, pertanyaan dengan menggunakan Bahasa Bungku seperti di atas sempat viral dan menjadi buah bibir masyarakat. Pertanyaannya sederhana, mempertanyakan sebuah lokasi kantor, kemudian dibalas dengan jawaban atas pertanyaannya. Nahasnya, dialeg yang diucapkan oleh si penanya dan penjawab, atas respon kebanyakan orang, rupanya terdengar lucu dan menjadi bahan tawa.
Jika kalian orang Bungku, pastilah tak asing lagi dengan dialeg dibeberapa desa di Kabupaten Morowali. Sebut saja miano (red: orang) Sakita, Puungkoilu, Tudua, Bahodopi dan Buleleng. Betapa tidak, dialeg yang sering mereka lantunkan terkesan mendayu-dayu dan ndeso abis.
Apabila kalian anak zaman 2000-an awal, pasti juga tak asing dengan ringtone Nokia yang seantero Indonesia, bahkan dunia begitu terkenal. Yup, nada “Nokia Tune” yang disebut sebagai ringtone legendaris ini memang sukses membuat Nokia menjadi merek HP nomor satu kala itu. Lah, memang kaitannya ringtone Nokia dengan dialeg Bahasa Bungku, apa? Yah, jelasnya ada toh. Ringtone Nokia, menurut beberapa orang, katanya sama dengan dialeg orang-orang Sakita (hohoho). Adapun untuk Pungkoilu dan Tudua, masing-masing memiliki ciri khas dengan menambahkan “Uuu” di awal kalimat. Contohnya, “Uuuuu… I hele” (Dia senang), “Uuuuu… konantangka tama sou” (Cowok itu ganteng).
Beda dengan dua desa di atas yang pakai “Uuu”, masyarakat Bahodopi justru menambahkan dengan ungkpan “Hoo”. Setiap kalimat, pengucapan “Hoo” hampir tak pernah dilupakan. “Hoo, manasa munde ai” (Memang kau ini). Sedangkan orang Buleleng mengganti huruf t jadi c. Contohnya, “Ku pongkica lucu mongka punci momaca” (Saya melihat monyet sedang makan pisang mentah). Sangat beragam, bukan?
Namun, sayangnya saat ini orang-orang yang menggunakan Bahasa Bungku dengan dialeg khasnya sudah mulai mengalami penurunan sedikit demi sedikit. Kebanyakan orang menganggap menguasai bahasa asing lebih keren dan hebat. Sedangkan penutur bahasa daerah dianggap kampungan dan tidak gaul. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa para orang tua saat ini lebih suka mengajarkan bahasa asing kepada anaknya dibandingkan bahasa daerahnya sendiri.
Saya jadi teringat suatu pengalaman. Ketika itu keluarga besar saya berkumpul pada saat lebaran idul fitri. Saat itu tante dan om yang sudah puluhan tahun tinggal di luar Kabupaten Morowali datang untuk bertukar rindu. Dalam suasana sedang mengobrol, tiba-tiba saya bertanya kepada sepupu saya yang umurnya lebih tua setahun dari saya, “Humpai tokua munde tooleo lahi mu leu le Sakita?” (Kenapa kamu lama sekali datang di Sakita ?). Sepupu saya hanya memasang muka polos disertai senyum malu-malu tanda tak mengerti. Lantas, tante saya balik menegur “Nai motau nade nou bahasa bungku, mogkoa mompaha” (Dia mengerti, tetapi tidak bisa berbahasa Bungku). Saya mengeryit dahi dan menggerlingkan mata, bagaimana mungkin tante dan om saya yang notabenenya orang Bungku tulen tidak mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anaknya. Sungguh terlalu.
Pernah juga, suatu ketika saya mengajak beberapa teman dari Morowali untuk ikut serta dalam pelaksanaan bazar yang diadakan oleh himpunan dari kampus saya. Ketika bertemu, saya menggunakan bahasa daerah untuk bertegur sapa, sedang mereka menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Sepintas tidak ada yang salah dengan kondisi seperti itu, hanya saja perlakuan mereka menambah keyakinan saya: mereka malu menggunakan bahasa daerah di kota.
Hal ini sangat ironis mengingat bahasa daerah adalah kebudayaan kita yang perlu dilestarikan. Selain itu, bahasa daerah mengandung norma kesopanan yang bisa menjadikan kita pribadi yang santun kepada siapapun. Saya kadang tidak mengerti dengan pikiran beberapa orang yang gengsi dan malu berbahasa Bungku.
Seyogianya, kurikulum pengajaran bahasa Bungku di setiap sekolah mulai dari Paud sampai SMA harus digalangkan. Para orang tua juga harus sadar posisi sebagai madrasah pertama bagi anak. Ada proses pembelajaran bahwasanya bahasa Bungku adalah budaya yang harus dilestarikan dan diwariskan turun-temurun kepada setiap generasi. Tidak ada larangan untuk mengajarkan bahasa asing kepada anak. Kita sadar akan kondisi zaman yang memaksa siapapun untuk belajar bahasa. Namun, bukankah lebih baik jika keduanya bisa bersinergi? Menguasai bahasa asing tanpa melupakan bahasa daerah.
Jika saja Doraemon bukan sebatas tokoh dalam film kartun, saya ingin meminjam alatnya yang bernama “mesin waktu”. Saya ingin kembali ke masa sebelum saya menjadi mahasiswa. Saya ingin memilih jurusan sastra daerah yang bagi kebanyakan orang madesu alias masa depan suram.
Namun, bagi saya tidaklah se-madesu itu. Selain karena sadar akan kekurangan bahasa Bungku yang tidak memiliki aksara dan abjad yang sewaktu-waktu dapat terancam purnah jika tidak diajarkan, generasi muda sebagai harapan bangsa adalah yang terpenting bagi saya. Memberikan sejarah yang tidak hilang karena ulah dan kesengajaan kita adalah poin penting mengapa kita harus melestarikan bahasa Bungku.
Jadi, masihkah kalian enggan berbahasa Bungku ?
Discussion about this post