Kehadiran aktivitas Tambang dan Industri Nikel di Kabupaten Morowali memunculkan pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat. Disatu sisi kehadirannya dianggap membawa “berkah” ekonomi yang berlimpah untuk kesejahteraan masyarakat. Sedangkan di sisi lain, menciptakan persoalan baru seperti degradasi ruang hidup masyarakat. Persoalan ini, bukan tidak mengakui pertumbuhan ekonomi, namun perlu melihat lebih jauh siapa yang paling diuntungkan dari angka-angka pertumbuhan ekonomi yang dimaksud.
Pertumbuhan Ekonomi
Tahun ini, Kabupaten Morowali dinobatkan sebagai wilayah yang sedang menggeliat dan berkembang di Indonesia. Pada tahun 2017 pendapatan perkapita warga masih 145,2 juta per tahun, sedangkan di 2021 meningkat menjadi 588,3 juta. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata pendapatan perkapita warga tumbuh sebesar 61% per tahun. Sedangkan untuk pertumbuhan tabungan per kapita masyarakat melonjak hingga 202%. Lebih jauh, potret perbaikan ekonomi di Morowali ini tentunya dikonfirmasi melalui angka pertumbuhan ekonomi yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2019, pertumbuhan ekonomi Morowali mencapai 20,26%, sementara pada 2021 mencapai 25,31%
Angka-angka pertumbuhan di atas dirayakan sebagai bentuk kesuksesan pembangunan di Morowali. Tahun 2022, Morowali berada pada peringkat kedua sebagai Booming Cities di Indonesia. Penetapan ini diukur berdasarkan kinerja ekonomi, keuangan dan sosial yang masing-masing kinerja memiliki sub-bagian indikator.
Untuk kinerja ekonomi diukur berdasarkan pertumbuhan domestik regional bruto (PDRB). Di Kabupaten Morowali, sekian sektor lapangan usaha dikembangkan dalam menunjang perbaikan ekonominya, diantaranya sektor Industri Pengolahan serta Pertambangan dan Penggalian. BPS Morowali, menunjukan bahwa sektor-sektor ini memberikan sumbangan terbesar dalam peningkatan PDRB di Kabupaten Morowali. Dimana sektor Industri Pengolahan mencatat peningkatan 29,56% pada tahun 2019 dan 2021 sebesar 70,85%. Terlepas dari Industri Pengolahan, sektor Pertambangan dan Penggalian juga mengalami peningkatan 18,88% di tahun 2021, jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang hanya mencapai 8,67%.
Disamping kinerja ekonomi, kinerja keuangan juga diukur berdasarkan kondisi keuangan perkapita dan kucuran kredit yang diterima. Seperti yang telah disampaikan di awal, tentunya kinerja keuangan di Morowali juga menunjukan perbaikan. Hal ini dibuktikan dengan pendapatan perkapita warga Morowali yang terus mengalami peningkatan. Sehingga terindikasi adanya peningkatan kesejahteraan warga sekitar.
Bertolak dari ekonomi dan keuangan, Datanesia juga lebih lanjut mengukur kinerja sosial berdasarkan kondisi kemiskinan dan pengangguran terbuka. Jika dihubungkan dengan lajunya peningkatan pertumbuhan ekonomi “katanya kemiskinan dapat teratasi” benarkah demikian? tentunya tidak sesederhana itu. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS), membuktikan bahwa persentase masyarakat miskin di Kabupaten Morowali masih menjadi diskursus dalam pembangunannya. Dimana jumlah masyarakat miskin tahun 2021 meningkat 17,07 ribu jiwa jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang hanya mencatat 16,61 ribu jiwa. Sementara angka pengangguran terbuka Morowali berada di angka 2.994 jiwa di tahun 2022. Penurunan tersebut jelas tidak sebanding dengan masifnya industri yang menjadi tumpuan dan andalan pemerintah Morowali.
Berdasarkan kinerja pengukuran diatas, Morowali hanya kalah dari kota Jakarta. Namun berbeda dengan kondisi sosialnya cenderung belum memuaskan. Tingkat kemiskinan maupun pengangguran terbuka masih diatas rata-rata nasional (Baca:Datanesia dan BPS), sehingga ini bukan lagi menjadi rahasia umum ketika dalam melakukan perbaikan pembangunan, pemerintah Morowali terus mendorong dan meningkatkan kinerja beberapa sektor lapangan usaha seperti industri Pengolahan dan Pertambangan yang berbasis pada sumber daya alam.
Degradasi Ruang Hidup
Berkebalikan dari Datanesia dan BPS, kerja riset yang dilakukan oleh Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menunjukkan bahwa perbaikan sosial dan ekonomi melalui sektor Industri Pengolahan dan Pertambangan memunculkan diskursus dalam pembangunan yang dilakukan. Dalam laporannya, AEER secara spesifik menemukan kehadiran industri berbasis sumber daya alam justru menjadi persoalan baru di Kabupaten Morowali. Masifnya pertambangan atau industri disebut memperparah dampak lingkungan dan sosial yang sebelumnya telah dialami masyarakat. Selain itu, peningkatan kesejahteraan pekerja (buruh) dan perbaikan kondisi kerja masih jauh dari kata adil.
Sejalan dengan itu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulteng mengkonfirmasi bahwa aktivitas industri nikel di Morowali tidak bisa dihindari dengan pengrusakan lingkungan yang berdampak negatif pada ruang penghidupan masyarakat nelayan (pemiskinan) khususnya di desa Lafeu, Laroenai, Torete, Lobata dan desa-desa sekitarnya. Bukan hanya nelayan, petani juga diperhadapkan dengan penurunan kualitas ruang produksi. Di Bahodopi khususnya Desa Bahomakmur, masyarakat petani mengalami penurunan produksi, karena tanah yang dijadikan tumpuan hidup telah berkurang kesuburannya. Dengan kata lain, penurunan produksi lahan masyarakat petani dipengaruhi dengan sumber pengairan yang terkontaminasi oleh tanah merah hasil galian Tambang.
Selain pengrusakan ruang penghidupan masyarakat nelayan dan petani, aktivitas Industri ini juga memberikan sumbangsi pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat yang dipaksa hidup berdampingan dengan pembakaran batubara. Dengan kata lain, proses pembakaran batubara terindikasi mempunyai keterkaitan dengan adanya Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) yang dialami masyarakat. Data Puskesmas Bahodopi setidaknya mencatat ada 52% warga yang terkonfirmasi mengidap ISPA.
Potret pembangunan yang saling bertolak belakang dengan pertumbuhan ekonomi dan sosial kini menjadi pembahasan sehari-hari. Pertama, pengakuan perbaikan angka pertumbuhan ekonomi di Morowali cenderung membanjiri media massa, cetak, maupun media elektronik. Bersamaan dengan itu pula, masalah sosial menjadi hal kedua yang tentunya mewarnai perdebatan dikalangan masyarakat Morowali.
Pertumbuhan Ekonomi Untuk Siapa
Dengan potret pembangunan di Morowali, cukup menarik dan tidak lagi asing bagi pembaca untuk mempertanyakan lebih lanjut “siapa yang paling diuntungkan dalam angka-angka pertumbuhan ekonomi tersebut”, tentu jawabannya bukan petani, nelayan dan masyarakat sekitar. Hal ini terkonfirmasi dengan persoalan-persoalan sosial yang tak kunjung terselesaikan. Alih-alih ingin melakukan perbaikan kesejahteraan melalui pembangunan, namun kemudian yang teramati adalah pembangunan yang meminggirkan (pengrusakan ruang hidup) serta mendorong masyarakat sekitar untuk berada pada kondisi kesehatan yang memburuk.
Untuk menjawab siapa yang diuntungkan dari angka pertumbuhan ekonomi melalui sektor Pengolahan dan Pertambangan tersebut, perlu kemudian memahami berbagai pendekatan kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah daerah Morowali maupun Pusat. Jika mengamati kerangka kerja pembangunan di Morowali, tentunya pertumbuhan ekonomi banyak terserap oleh birokrasi daerah. Secara singkat, dapat dibuktikan dengan perbandingan antara jumlah anggaran Belanja Modal Jalan, Jaringan, dan Irigasi tahun 2022 hanya sekitar 54 miliar rupiah dibandingkan dengan belanja pegawai kurang lebih 390 miliar rupiah. Bahkan, jumlah anggaran bantuan sosial memiliki nilai lebih kecil lagi, yakni sekitar 3 miliar rupiah.
Katakanlah bahwa belanja pegawai adalah kebutuhan untuk menjalankan pelayanan publik dan pemerintahan di Morowali. Namun, mari kita bandingkan antara belanja program-program sosial pada Dinas Sosial hanya sekitar 8 miliar rupiah dengan belanja operasional Sekretariat DPRD sekitar 24 miliar rupiah (Baca: APBD Morowali 2022). Maka, siapa yang diuntungkan?
Masih dalam kerangka kerja pembangunan di Morowali, pemerintah cenderung menghendaki suatu redistribusi pendapatan yang menguntungkan Pemilik Modal. Dimana, kebijakan pemerintah banyak memberikan insentif pajak pada pemilik Modal Asing. Untuk Morowali sendiri, dengan nikel sebagai komoditas utamanya, pemberian insentif tentunya diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang memiliki smelter nikel seperti PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Padahal sumber pembiayaan pembangunan berasal dari penerimaan pajak. Tentu saja, kebijakan-kebijakan ini diterapkan dengan maksud bahwa insentif pajak akan meningkatkan nilai tambah dari hasil produksi tambang. Siapa lagi yang diuntungkan?
Namun praktek pemberian insentif seperti ini, di negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah memunculkan permasalahan dalam keseluruhan tahapannya yakni mulai dari defisit neraca pembayaran, hingga pergeseran pendapatan yang hanya menguntungkan pemilik Modal Asing. Sederhananya insentif pajak ini tidak menguntungkan bagi Indonesia secara umum, dan masyarakat Morowali (Buruh, Petani dan Nelayan) secara khusus. Akan tetapi yang paling banyak mendapat keuntungan adalah pemilik modal internasional, pada kasus ini keuntungan setinggi-tingginya dinikmati oleh pemilik Modal asal Tiongkok.
Lebih jauh, insentif pajak ini disebut-sebut berperan dalam mengembangkan Industri Pengolahan nikel Morowali untuk menciptakan lapangan kerja. Seperti yang telah disebutkan di atas, sektor utama penopang PDRB Morowali adalah Industri Pengolahan yang bagi Datanesia didominasi oleh aktivitas hilirisasi nikel. Persentase sektor ini bahkan sebesar 35% dari total PDRB Morowali tahun 2021. Padahal, industri pengolahan nikel ini termasuk industri padat modal yang tidak menyerap banyak tenaga kerja.
Datanesia mencatat daya serap industri pengolahan yang didominasi smelter nikel hanya mampu menyerap 6,9% dari total kapasitas penyerapan tenaga kerja. Bahkan, sektor pertambangan dan penggalian sekalipun yang terus dibangga-banggakan memiliki persentase penyerapan tenaga kerja yang jauh lebih kecil yakni 2.1% tahun 2021 di Sulteng khususnya Morowali.
Dapat disimpulkan bahwa kerangka kerja pembangunan di Morowali dan dukungan insentif dari pusat maupun daerah lebih menguntungkan pemilik Modal Asing (Tiongkok). Sehingga, jika ada yang mengatakan bahwa masuknya Modal Asing berbasis Pertambangan di bawah sistem ekonomi eksploitatif (Kapitalisme) dalam perbaikan kesejahteraan masyarakat (Buruh, Petani dan Nelayan) Morowali maka itu adalah sebuah “pembenaran atas peminggiran dan pengrusakan ruang penghidupan”.
Lalu siapa yang paling dirugikan? Nantikan tulisan part II.
Penulis:
Aksan Talib, Magister Administrasi Publik Universitas Gajah Mada
James roberto A. Makatutu, Mahasiswa Ilmu pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD
Discussion about this post