Media massa dan perempuan bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan, keduanya memiliki kaitan erat yang berjalin berkelindan dan saling melengkapi. Tidak sedikit pula perempuan memanfaatkan jasa media massa demi meningkatkan popularitasnya, sementara media massa meginginkan adanya “nuansa khas” dari sosok perempuan, misalnya media membidik perempuan dari sisi keberhasilan karir dan jabatannya, ketegarannya menyikapi sebuah persoalan besar, “kenekatannya” dalam melakukan sesuatu, bahkan keberaniannya untuk memperlihatkan auratnya. (Musta’in:2013)
Simbiosis mutualisme inilah yang kemudian menjadi alasan bagi media untuk membangun sebuah realitas tentang perempuan. Problematika perempuan dalam media massa itu sendiri kerap diistilahkan dengan “Gender”. Menurut Mansour Faqih, gender merupakan atribut yang dilekatkan secara social maupun kultural, baik pada laki-laki maupun perempuan. Gender bukan merupakan kodrat, tetapi merupakan konstruksi sosial, budaya, agama, dan ideology tertentu yang mengenal batas ruang dan waktu sehingga gender sangat tergantung pada nilai-nilai masyarakat dan berubah menurut situasi dan kondisi (Hariyanto: 2009)
Lalu di manakah peran media massa dalam problematika gender ini? Melalui berbagai instrumen yang dimilikinya, media massa berperan serta membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Konstruksi terhadap realitas dapat dipahami sebagai upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa. Wartawan ketika melihat suatu realitas ia menggunakan pandangan tertentu sehingga realitas yang hadir merupakan realitas yang subjektif. Dalam hal ini, realitas atau fakta menurut James W. Carey (Eriyanto, 2002), bukanlah sesuatu yang terberi (reality is not given) melainkan ada dalam benak kita. Fakta atau realitas itu diproduksi dan dikonstruksi dengan menggunakan perspektif tertentu yang akan dijadikan bahan berita oleh wartawan. Maka tak mengherankan jika media massa memberitakan berbeda sebuah peristiwa yang sama karena masing-masing media massa memiliki pemaknaan berbeda pula. (Haryati: 2012)
Gambaran perempuan dalam media telah mendapatkan sorotan dari berbagai macam kajian. Dalam penelitian pada media di barat maupun di Indonesia sendiri menunjukkan hasil yang relatif konsisten bahwa perempuan yang ideal adalah pasif, berada dalam lingkungan domestik dan biasanya cantik. Di samping itu adanya beberapa studi bahwa perempuan digambarkan sebagai objek kenikmatan seksual yang terutama ditujukan pada konsumen laki-laki. (Farihah: 2013)
Sebuah jurnal berjudul Body issues: The political economy of male sex work oleh Nicola J Smith (2012) di University of Birmingham, UK menyatakan dalam hal konseptual, fokus pada ‘perempuan dan anak perempuan’ diartikan sebagai seks komersial dan implikasinya gender, yang pada dasarnya, terletak dalam ‘matriks hetero seksual’ di mana pembeli seks diasumsikan menjadi laki-laki hetero seksual. Dapat dikatakan bahwa jenis kelamin sangat hetero normatif. Esensinya adalah objektifikasi seksual terkait dengan tubuh perempuan dan subjektivitas seksual terkait dengan laki-laki. Tetapi pada akhirnya, dalam hal normatif, bahwa laki-laki dan trans gender pekerja seks tidak termasuk dalam konsep subjektivitas tidak berpotensi untuk agen politik.
Dalam hal ini praktek esploitasi terhadap wanita yang mana digambarkan dalam sektor ekonomi, industri seks beroperasi dalam hal penawaran dan permintaan: pasokan perempuan dari negara-negara berkembang yang peluang ekonominya terbatas menyebabkan mereka untuk menjual seks; dan permintaan untuk eksotis lainnya oleh orang-orang dari negara-negara kaya yang mampu melayanani seksual mereka. Lebih dari itu, mereka juga mereproduksi perbedaan antara perempuan ‘baik’ dan ‘buruk’ (yaitu antara tidak bersalah/dipaksa dan bersalah/pekerja seks sukarela), yang mengguling gagasan bahwa ‘wanita yang melanggar norma-norma seksual layak untuk dihukum’ dan mendorong agenda kebijakan perbudakan. Hal ini mengindikasikan beroperasinya ideologi gender yaitu: patriakisme (melalui kekerasan seksual dan objektifitas seksualitas), kapitalisme (dominasi pria atas wanita, peneguhan stereotip peran gender, domestikasi dan ekstensinya sebagai profesi), dan misoginisme (melalui kekerasan seksual dan semua bentuk kekerasan seksual).
Perempuan sebagai objek seksualitas dalam media juga dibenarkan oleh David Gauntlett (2002) dalam bukunya Media, Gender and Identity: an Introduction dalam sub bab Representations of gender today bahwa“Some shows put successful professional women at the forefront, and are focused on their quests for sex, pleasure and romantic love”. Pada akhirnya, perempuan sebagai objek seksualitas menjadi stereotype yang beredar di masyarakat dan menjadi bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Stereotipe yang demikian telah membatasi kebebasan, menyulitkan dan merugikan perempuan (Fakih, 2003: 74). Akibatnya, perempuan sering mengalami tindak kekerasan (violence), baik fisik maupun psikologis. Kekerasan terhadap manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber. Salah satu kekerasan terhadap perempuan antara lain disebabkan oleh anggapan gender yang salah. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related violence (Fakih dalam Imron: 2013)
Dalam Konstruksi Kapitalis pada Media Massa, perempuan sering ditemui pada yang digunakan sebagai titik penarik perhatian dari berbagai macam produk di mana perempuan hanya sebagai hiasan dan cenderung menetapkannya dalam situasi yang tidak pernah berubah serta menempatkannya sebagai objek sekaligus target iklan dan berada di bawah bayang-bayang dominasi laki-laki (Juditha: Tanpa tahun). Memang demikian bahwa perempuan dijadikan objek komoditas bagi industri media massa terutama pada periklanan yang menonjolkan seksualitas perempuan melalui fisiknya. Mulyana (2008) dalam bukunya yang berjudul “komunikasi massa” mengatakan diperkirakan 90% iklan televisi memanfaatkan perempuan sebagai model iklan. Maka melihat hal tersebut, media membentuk dan membangun konsep perempuan yang akan di terima oleh masyarakat. (Harumningtyas: 2014)
***Penulis adalah calon magister (S2) ilmu komunikasi di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Discussion about this post