Seorang teman pernah berkata bahwa “mencintai budaya sama halnya dengan mencintai seseorang. Dengan mencintai, tumbuh rasa kepemilikan, kecemburuan, tanggungjawab, dan pengorbanan yang besar sehingga kehadiran kebudayaan lain tak akan mampu menggeser kebudayaan yang sudah dimiliki sejak awal.
Derasnya gelombang kebudayaan luar di era kiwari menyebabkan masyarakat Bungku yang kearifan lokalnya tidak terpatri dengan baik dibuat gegai dengan keadaan tersebut. Apalagi ditambah ketiadaan tradisi tulis dan kurangnya pengetahuan sejarah menjadikan masyarakat Bungku masuk dalam zona merah sebagai daerah krisis identitas budaya.
Setidaknya ada tujuh unsur yang mendukung eksistensi suatu kebudayaan, di antaranya bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Saya akan mencoba menjabarkan ketujuh unsur kebudayaan yang sudah saya sebutkan sebelumnya dalam lingkup kebudayaan Morowali.
Bahasa
Mayoritas penduduk Morowali adalah Suku Bungku yang mempertuturkan salah satu rumpun suku bahasa Austronesia yaitu bahasa Bungku. Akan tetapi, di beberapa kecamatan dan desa, masyarakat Morowali tak hanya berbahasa Bungku saja namun juga mempertuturkan bahasa lain. Saya kadang dibuat heran dengan fenomena ini karena di daerah lain bahasanya hanya satu dan satu-satunya.
Di Kecamatan Bungku Tengah khususnya di Kelurahan Lamberea terdapat Bahasa Tombelala dan Bahasa To’o di Desa Matansala. Kecamatan Bungku Timur di Desa Unsongi menggunakan Bahasa Koroni, Penduduk di Kecamatan Bahodopi memiliki Bahasa Toepe, Kecamatan Witaponda memiliki Bahasa Towatu dan Mori, penduduk di Kecamatan Bungku Barat memiliki Bahasa Bare’e, sedangkan di Kec. Menui dan Bungku Selatang masing-masing memiliki Bahasa Tomenui dan Tofaya. Banyak dan membingungkan my lov !
Melansir dari Bahasa dan Peta di Indonesia, berdasarkan perhitungan dialektometri, Bahasa Bungku memiliki tujuh dialek yaitu 1) Dialek Menui Lawangsa, 2) Dialek Menui Ulunambo, 3) Dialek Molongkum, 4) Dialek Bungku Parilangke, 5) Dialek Torete, 6) Dialek Moiki, dan 7) Dialek Kangua.
Selain dialek, bahasa bungku juga dibedakan atas empat macam tingkatan bahasa yaitu bahasa yang sangat halus, bahasa halus, bahasa sehari-hari (pasar), dan bahasa kasar.
Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan masyarakat Bungku bisa dilihat pada acara mebokulu (potong rambut) atau lazim dikenal dengan sebutan Aqiqah.
Selain kambing sebagai persyaratan utama dalam acara tersebut, perlengkapan lainnya yang juga harus dipersiapkan adalah poti (kelapa muda yang belum memiliki daging), empat lembar daun mapu (bakung putih), satu rumpun pokondo (rumput beluntas), satu tangkai daun ketela pohon, beras yang diberikan kunyit secukupnya, kalung emas, benang, dan gunting sesuai aturan tertentu.
Untuk poti, seorang yang mengambilnya tidak boleh menjatuhkannya karena menjadi pertanda buruk jika airnya bergerak atau buahnya jatuh ke tanah dan pecah. Untuk pokondo, yang ditugaskan mengambil adalah anak yang masih memiliki kedua orangtua. Saat pokondo dicabut, anak tersebut harus menggantinya dengan sejumlah uang pada bekas cabutan dan kemudian mengambilnya kembali sebagai imbalan setelah acara mebokulu selesai.
Untuk acara mebokulu sendiri dilakukan sampai empat tahap pengguntingan. Jika bayi laki-laki yang mebokulu, maka pemotong terakhir harus menggunting rambut anak perempuan yang hadir. Sebaliknya, jika bayi perempuan yang mebokulu, maka rambut anak laki-laki yang akan digunting. Hal ini dilakukan atas dasar kepercayaan bahwa baik laki-laki maupun perempuan nantinya harus berpasangan satu sama lain.
Setelah itu, semua potongan rambut akan dimasukkan ke dalam poti dan oleh seorang pinoko pelanda atau orang yang dituakan akan menginjakkan kaki bayi pada pokondo, mapu, poti, serta metona (berdoa) agar kelak bayi tersebut dapat kokoh seperti kokohnya rumput pokondo, sejuk kehidupannya seperti sejuknya daun mapu, dan bersih dan tenangnya hati si bayi laiknya air poti.
Sistem Kemasyarakan dan Organisasi Sosial
Sistem organisasi kemasyarakatan etnis Bungku dibedakan atas dua macam yaitu lembaga organisasi yang dibentuk sebagai alat pelengkap organiasi pemerintahan dan lembaga organisasi yang dibentuk karena kebutuhan masyarakat.
Adapun wujud organisasi kemasyarakatannya dapat dilihat pada berbagai bentuk kerjasama sosial seperti gotong royong, sistem kepemimpinan, aktivitas keagamaan, sistem kekerabatan, pergaulan, dan fungsi masing-masing anggota keluarga.
Terkait dengan gotong-royong, orang Bungku mengenal tiga jenis gotong royong di antaranya bentuk gotong-royong tanpa pamrih seperti metapoko-pokofali (saling bantu-membantu) atau metatulungi, bentuk kerjasama berdasarkan pamrih seperti mefalo-falo atau moala’oleo (mengambil hari), dan kerja bakti.
Untuk metapoko-pokofali, wujud kerjasama yang diberikan berupa pemberian bantuan tenaga baik materi maupun spiritual seperti meuma (berkebun).
Contoh mo’ala oleo yang bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah menolong orang lain dalam hal mata pencaharian dengan harapan si orang yang dibantu akan mengembalikan bantuannya nanti juga dalam bentuk tenaga. Adapun contoh untuk kerja bakti seperti membersihkan kampung, mengerjakan masjid, sekolah, jembatan, dan lain sebagainya.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Untuk membuka sebuah lahan pertanian, masyarakat Bungku memiliki beberapa tahapan yang harus dilakukan di antaranya menyiapkan lahan, motasu (menanam), dan mesofi (panen). Sebelum membuka lahan, terlebih dahulu diadakan acara mesui (memohon ijin) kepada Sangia atau Tonuana (penguasa hutan dan tanah) dengan mengumpulkan perlengkapan sesajian seperti seekor ayam jantan, sebilah kapak, sebutir telur ayam, dan sirih pinang.
Untuk memulai acara mesui, si empunya lahan dan yang dituakan akan menunggu petunjuk dari kicauan burung. Kalau mendapat kabar baik, lahan yang akan dibuka kemudian dibersihkan dan diberikan pembatas berupa ranting kayu yang ditata secara melintang dan sambung menyambung.
Setelah itu, yang dituakan akan membaca mantera dan meletakkan sesajian berupa telur ayam dan sirih pinang, menancapkan kapak ke sebuah batang pohon, dan melepas ayam. Mereka kemudian akan kembali keeseokan harinya untuk melihat apakah permohonan mereka diterima oleh Tonuana atau tidak.
Jika keinginan mereka dikabulkan, maka kapak tetap berada pada batang pohon, ayam berkeliaran dan sesajian masih tetap utuh pada lokasi mesui. Sebaliknya permohonan yang ditolak ditandai dengan adanya kapak yang jatuh, hilangnya ayam beserta sesajian. Selanjutnya, yang dituakan akan menentukan hari baik untuk memulai pekerjaan mobadi (memaras).
Sistem Mata Pencaharian Hidup
Dulu, sebelum perusahaan nikel datang dan mengubah sistem mata pencaharian masyarakat Bungku, kebanyakan orang Bungku bermata pencaharian sebagai petani dan bercocok tanam. Mereka mengenal kuraete yaitu lahan bekas ladang yang telah kembali menjadi hutan dan diwariskan secara turun-temurun sebagai tanah pusaka.
Untuk membuka sebuah lahan pertanian, Masyarakat Bungku akan mencari inalahi atau hutan yang belum pernah terjamah sekitar 2-3 jam perjalanan dari kampung. Namun sekarang, pekerjaan semacam ini sudah mulai ditinggalkan dan beralih ke sektor pertambangan, jasa, ekonomi, atau bahkan menjadi aparatur negara.
Sistem Religi
Penduduk Bungku mayoritas beragama Islam, sebagian beragama Kristen dan Hindu yang tersebar di beberapa kecamatan. Tiga tahun lalu, saya pernah melakukan penelitian di salah satu gua di Desa Topogaro, Kec. Bungku Barat. Di dalam gua tersebut ditemukan ratusan wadah kubur yang oleh masyarakat setempat menyebutnya soronga.
Penguburan semacam ini disebut penguburan kedua (secondary burial) yaitu penguburan yang tidak langsung menguburkan jenazah ke dalam tanah. Jenazah terlebih dahulu akan melalui proses pembusukan di suatu tempat yang disebut pontambea hingga tersisa tulang-belulangnya. Kemudian tulang-belulang tersebut diambil, diupacarakan dengan ritual tertentu, dan dimasukkan dalam wadah kubur.
Jenis penguburan semacam ini ditandai dengan adanya beberapa individu dalam satu wadah kubur, biasanya tiga sampai empat individu. Di Indonesia sendiri, penguburan semacam ini bisa ditemukan pada beberapa daerah seperti di Kab. Toraja yang disebut erong, Poso disebut yumu, dan Kab. Enrekang disebut mandu.
Penguburan sekunder merupakan jenis penguburan prasejarah yang dilakukan ketika manusia belum mengenal kepercayaan Agama Samawi. Kepercayaan mereka tertuju pada animisme dan dinamisme sebagai kepercayaan paling awal dan primitif yang dipercayai oleh manusia purba.
Walaupun penguburan tersebut tidak dilakukan langsung oleh suku Bungku tetapi keberadannya yang berlokasi di wilayah Kab. Morowali menjadikan wadah kubur kayu soronga sebagai salah satu khazanah budaya lokal yang harus dipertahankan, dilindungi, dan dilestarikan.
Kesenian
Kesenian orang Bungku dibedakan atas dua yaitu seni suara dan seni tari. Seni suara meliputi tindi, kabia, dan kayori sedangkan seni tari meliputi luminda, modero, dan moja’i. Tindi adalah susunan puisi yang dibawakan dalam bentuk nyanyian dan diiringi oleh alat musik seperti gesong-gesong, kacapi, dan gambus.
Selain sebagai sebuah seni, tindi juga berfungsi untuk menyampaikan maksud tertentu yang disebut mefandu-fandu kepada orang lain semisal ketika niat menikah. Pada saat itu, seorang keluarga akan mengutus seseorang untuk menyampaikan maksud menikah pada keluarga yang dituju dengan catatan saat menyampaikannya harus dalam bentuk tindi. Untuk kabia dan kayori penulis belum bisa menjelaskan secara spesifik karena kekurangan referensi.
Modero dan mojai dilakukan dengan cara membentuk lingkaran sambil berpegangan tangan, kemudian berputar dengan menggerak-gerakkan tangan dan kaki mengikuti irama tetabuhan dan nyanyian. Dulu baik modero dan mojai dilakukan sambil berbalas pantun namun sekarang hal tersebut sudah tidak dilakukan lagi.
Tarian Luminda dimainkan oleh laki-laki dan perempuan secara berpasangan yang juga diiringi irama tetabuhan dan nyanyian. Dulunya tarian ini sangat digandrungi oleh tentara Jepang sehingga tiada malam tanpa luminda dan pamornya perlahan mulai menghilang ketika Jepang mengalami kelalahan pada saat Perang Dunia II terjadi.
Aduh, kepanjangan teha, hehe
Dewasa sekarang, masifnya penyebaran informasi dan perkembangan teknologi yang pesat menyebabkan kebudayaan luar dengan cepat menyebar. Era digital membawa perubahan pada berbagai gaya hidup yang keberadaannya mulai mengikis nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita sejak dahulu. Kebudayaan adalah identitas kita dan seharusnya mampu hidup di tengah pesatnya arus globalisasi dan modernisasi.
Sebagai tunas muda harapan Bangsa Indonesia terkhusus Morowali ke depan, kita adalah generasi penerus yang akan melanjutkan tongkat keberlangsungan bangsa ini. Keacuhan, ketidaktahuan, dan ketidakmauan untuk mempelajari kebudayaan lokal akan membawa kehancuran bagi bangsa kita.
Oleh karena itu, kita harus menjadi pioneer untuk menyelamatkan kebudayaan yang masih ada selagi belum menghilang. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan dan tidak pernah ada kata kuno untuk belajar kebudayaan !
Referensi:
Mahid, Syakir., 2002, “Sosialisasi Nilai Budaya dalam Keluarga di Lingkungan Etnis Bungku”, dalam Tesis Universitas Gadjah Mada.
Discussion about this post