Menelisik kehidupan ribuan tahun silam memang selalu menyisakan misteri besar. Selain karena masyarakat yang bisa dijadikan sebagai basis pendukung data sudah sangat jarang (bahkan tidak ada lagi) ditemukan, bagaimana mereka menjalani kehidupan dan menciptakan sebuah benda adalah dua hal yang selalu mengundang penasaran serta menarik untuk dipecahkan. Dalam bahasa akademik kita menyebutnya zaman prasejarah—zaman dimana manusia belum mengenal kegiatan tulis menulis, sehingga akses untuk mendapatkan informasi mengenai kehidupan di zaman ini sangat terbatas.
Berbeda halnya dengan zaman sejarah ketika manusia sudah menggunakan tulisan untuk saling berinteraksi. Tentu akan banyak akses literatur yang bisa ditemukan, misalnya melalui manuskrip maupun media seperti yupa (prasasti yang digunakan oleh kerajaan Kutai pada abad ke-4 Masehi, sekaligus sebagai penanda masuknya jaman sejarah di Indonesia). Kehidupan prasejarah hanya mengandalkan benda-benda buatan manusia yang dalam disiplin ilmu arkeologi disebut artefak.
Artefak merupakan benda dari alam yang dibuat atau dimodifikasi baik sebagian maupun keseluruhan oleh manusia untuk menunjang kehidupannya sehari-hari. Dalam artian yang lebih luas, artefak merujuk pada objek arkeologi yang tidak bisa berpindah, salah satunya adalah gua.
Pada umumnya, keberadaan gua yang dihuni oleh manusia memiliki ciri yaitu tidak jauh dari sumber air dan memiliki ukuran ruangan yang besar. Di Indonesia terdapat ribuan gua prasejarah yang telah diteliti oleh peneliti nasional maupun internasional. Beberapa diantarannya juga terdapat di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, yaitu Kawasan Gua Prasejarah Topogaro.
Kawasan Gua Prasejarah Topogaro terletak di desa Topogaro, Kecamatan Bungku Barat. Kehadiran gua ini sebagai salah satu gua prasejarah yang menambah daftar panjang gua-gua hunian di Indonesia. Bersama arkeolog asal Jepang pada tahun 2016 lalu, saya dan beberapa peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Balai Arkeologi Manado, Balai Arkeologi Makassar, dan delegasi mahasiswa dari beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Indonesia memiliki kesempatan untuk melakukan penelitian gabungan.
Sebelum melakukan survei dan observasi, saya bersama tim lebih dahulu melakukan identifikasi kondisi masyarakat yang menghuni desa Topogaro melalui wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat. Salah satu narasumber kami adalah bapak Abdul Rasyid, mantan kepala desa Topogaro yang merupakan keturunan dari suku Bare’e (satu dari beberapa suku tertua yang menduduki desa Topogaro).
Kawasan Gua Topogaro memiliki dua situs gua yang menyimpan jejak-jejak peradaban manusia masa lampau, yang juga sebagai salah satu situs sejarah penting yang bisa menjelaskan jalur penyebaran manusia di masa lampau. Kedua situs gua tersebut yaitu Situs Gua Vavompogaro dan Gua Tokandindi.
Letak antara kedua gua tersebut berjarak kurang lebih 100 meter, dan berada di atas ketinggian sekitar 20 meter di atas permukaan tanah. Sehingga untuk mengaksesnya sedikit sulit karena medan yang licin dan cukup menanjak. Di depan gua terbentang pemandangan menarik, hutan rindang sepanjang mata memandang hingga ke lautan lepas di sebelah utara desa Topogaro. Sementara disekitar gua terlihat beberapa excavator yang sedang parkir selepas mengeruk batu gajah yang nyaris mendekati posisi gua.
Salah satu peninggalan yang paling menarik di dalam gua adalah tinggalan kepercayaan tradisional manusia yang pernah hidup di kawasan ini, yaitu sebuah wadah yang terbuat dari kayu untuk menyimpan jenazah orang yang telah meninggal dunia. Wadah tempat jenazah ini oleh masyarakat sekitar dinamai Soronga.
Tradisi penguburan seperti ini telah dikenal sejak 2000-2800 tahun yang lalu dan masih berlangsung hingga akhir abad ke-20. Hanya saja bahan yang digunakan sebagai tempat jenazah ini telah berubah-ubah mengikuti tingkat kemajuan peradaban masyarakat. Dan tempat jenazah yang dibuat dari kayu ini merupakan wadah termutakhir yang pernah ditemukan dibeberapa kawasan situs gua yang ada.
Menurut keterangan pak Abdul Rasyid, Penempatan soronga di gua-gua tersebut didasari oleh adanya kepercayaan masyarakat penganutnya. Arwah seseorang yang meninggal akan ditempatkan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan mereka yang masih hidup. Sebelum itu, mula-mula mayat akan diletakan pada sebuah tempat yang disebut pontambea atau tempat pembusukan mayat untuk selanjutnya dibiarkan kering selama beberapa waktu.
“Jika telah kering dan tersisa tulang belulang, maka dilakukan upacara sakral yang dipimpin oleh seorang tonggola untuk kemudian disimpan dalam sebuah soronga” lanjut pak Abdul Rasyid berusaha mengingat-ngigat cerita sejak puluhan tahun lalu itu.
Umumnya, tempat jenazah seperti Soronga ini tidak hanya ditemukan di Morowali, tetapi juga diberbagai wilayah di Indonesia dengan penyebutan yang berbeda-beda. Di Toraja dikenal nama dengan erong, di Enrekang dengan istilah mandu, dan di Kabupaten Poso dinamai dengan yumu.
Kehadiran Soronga, bagi kami, memiliki daya unik tersendiri dibandingkan dengan tempat jenazah lainnya. Selain karena ukurannya kecil, pola hias geometris yang tergambar pada wadah tersebut menginformasikan bahwasanya soronga ini telah dipergunakan sejak zaman neolitik. Selain itu, dibeberapa titik dalam Gua Vavompogaro juga terdapat beberapa tinggalan artefaktual lainnya, seperti fragmenkeramik atau gerabah berslip merah, yang merupakan ciri budaya bangsa Austronesia.
Di Indonesia, pusat kebudayaan bangsa Austronesia ini ditemukan di Kalumpang, Sulawesi Selatan. Ditemukan pula artefak litik, sebuah alat pemotong yang terbuat dari batu dan dibentuk sesuai kebutuhan.
Temuan menakjubkan di kawasan gua Topogaro ini merupakan babak baru pagi para peneliti untuk memecahkan persoalan migrasi bangsa Austronesia yang sudah ada sejak zaman neolitikum di Kabupaten Morowali.
Discussion about this post