Beberapa hari lalu, saya sudah menghadiri tiga acara deklarasi Kandidat yang akan bertarung pada pemilihan Kepala Daerah. Sebetulnya saya ikut itu bukan untuk mendengar visi-misinya sih. Apalagi mau mengajak selfie para kandidat. Itu bukan saya sekali.
Lebih kepada sekadar menikmati acara hiburannya saja. Di sana ada konser musik. Kawan-kawan saya yang hadir juga begitu. Sekalian pula bisa dapat baju kaos dan bahan bakar gratis. Kapan lagi datang diacara konser, tetapi dibiayai mulai dari pakaian sampai transportasi? Jangan tanya untuk konsumsi. Pasti ada. Rugilah kalau tidak datang.
Maklum saja, di tiga acara konser deklarasi kandidat tersebut masing-masing mendatangkan penyanyi-penyanyi ibu kota. Mulai dari band papan atas sampai penyanyi dangdut koplo. Sungguh awal tahun yang menurut saya, sebagai orang yang doyan nonton konser, begitu paripurna.
Acara deklarasi di gelar sebagaimana biasanya. Ada orasi politik di atas panggung untuk mempromosikan kandidat. Dan tentu saja, orasi kandidat itu sendiri yang mempromosikan dirinya. Tidak luput disertai janji-janji politiknya. Sesekali diselingi dengan penampilan artis pengisi acara. Kemudian di akhiri dengan Doa bersama.
Sepintas memang tidak ada yang waah pada kegiatan tersebut. Namun, pikiran saya berkata lain. Cuih!. Ada yang mengganjal di kepala saya setelah bernyanyi dan teriak-teriak bersama. Coba kalian teliti lagi secara saksama dalam agenda-agenda deklarasi itu. Barangkali kita punya pikiran yang sama.
Sudah?
Kalau kalian berfokus pada diksi “janji”, berarti pikiran kita tidak sama. Kalau janji itu mah tidak perlu dibahas. Namanya juga janji, Cuma bikin sakit hati nantinya. Eh~
Di acara deklarasi itu Saya justru lebih berfokus ke doa yang dilantunkan para ustad-ustad. Ya, doa. Apakah doa itu tidak boleh? Siapa yang melarang orang berdoa? Ustadnya mendukung penista Agama? Apa ustadnya belum mandi bersih? Atau apa? Bukan. Bukan itu maksud saya. Coba jangan berurat dulu. Selo!
Jadi gini. Sebelum kalian berpikiran yang tidak-tidak kepada saya. Saya mau klarifikasi lebih dulu kalau saya ini Islam dan percaya Muhammad itu Rasul serta Allah adalah Tuhan saya. Saya juga percaya dengan doa. Layaknya manusia yang cuma suka sosmed-an macam saya ini, apalah saya ini kalau menganggap doa itu tidak penting. Untuk itu, bukan doa-nya yang saya akan bahas. Melainkan apa yang terucap di dalam doa tersebut.
Para ustad itu berdoa di acara deklarasi, kira-kira begini,
Kandidat kesatu: “…Ya Allah, kami semua berkumpul disini memohon keridhaan-Mu untuk kandidat kami. Dengan penuh kerendahan hati, kabulkanlah permohonan kami semua. Agar engkau memberikan kesempatan kepada Kandidat kami ini untuk bisa memimpin Daerah yang kami cintai ini. Kami percaya bahwa kandidat kami layak memimpin Daerah kami ke arah yang lebih baik”. Kemudian orang ramai-ramai mengaminkan.
Kandidat kedua: “…Tidak lama lagi kami akan berganti pemimpin. Untuk itu, ya Allah, kiranya engkau dapat mendengar doa-doa yang kami munajatkan hari ini. Kami menginginkan agar kali ini kandidat kami bisa memimpin Daerah kami. Gerakkan hati setiap hamba-Mu untuk mau memilih Kandidat kami ini sebagai pemimpin Daerah ini”. Kemudian di aminkan lagi.
Kandidat ketiga: “…Siapapun yang akan terpilih menjadi pemimpin kedepannya, kami percaya itu semua atas kehendakmu, ya Allah. Namun, biarkan itu tetap menjadi rahasia-Mu. Sementara kami yang berkumpul di sini untuk tetap berdoa dan bertawakal kepada-MU. Dan jikalau kiranya kami boleh memohon. Kami semua meminta kepadamu, ya Allah, kami yakin bahwa kandidat kami kelak akan mampu membawa daerah kami jadi jauh lebih baik. Untuk itu ijabahlah doa kami semua agar kandidat kami bisa memimpin kami semua di Daerah ini”. Lalu di aminkan lagi.
Nah, apa yang jadi benang merah dari semua doa-doa itu? Cuma satu: Semua berkeinginan, di masing-masing ustad, supaya kandidatnya yang akan terpilih.
Maka secara tidak langsung, ketika para ustad itu mendoakan agar kandidatnya saja yang akan menang, sama saja mereka mengadu kepada tuhan bahwa kandidat lainnya tidak pantas jadi pemimpin. Gimana coba doa yang begitu itu?
Kalau lawan kandidatnya barangkali non-muslim, maka saya tidak ingin mencampuri urusan ini. Nanti lagi saya dibilangi kafir atau sebangsa kafir lainnya. Namun, ini sama-sama Islam loh. Masa sesama Islam yang punya tuhan yang sama saling menggugat lewat doa dihadapan Tuhan. Ini sungguh tidak mencerminkan prinsip-prinsip doa, lebih-lebih sebagai yang mengaku Islam. Apalagi ini seorang Ustad—terlepas dia digelari jadi ustad itu melalui mekanisme apa.
Coba lah kalau mendoakan para kandidat itu supaya objektif saja. Jangan terlalu subjektif macam begitu. Kalaupun mau berdoa supaya kandidatnya saja yang menang, ya tidak perlu juga masyarakat di ajak-ajak. Biarkan masyarakat berdoa masing-masing sesuai dengan apa yang mereka mau. Kecuali doanya itu tidak menitikberatkan kepada kemenenangan satu calon, ya silakan berjamaah. Itu malah lebih bagus lagi.
Misalnya, berdoa agar siapapun yang terpilih jadi pemimpin semoga tetap amanah; Siapapun yang jadi pemimpin maka masyarakat harus mendukungnya dan doa sejenis lainnya. Sudah, yang begitu-begitu saja doanya. Tidak perlu lagi di tambah dengan embel-embel lain yang menjurus, seoalah-olah, kandidatnya saja yang pantas dan harus jadi pemimpin. Ini sama saja mau mencampuri penilaian Tuhan terhadap hambanya. Tuhan, ya Tuhan. Hamba, ya hamba. Jangan jadi hamba yang macam Tuhan.
Bagaimana mungkin kita mengaharapkan persatuan, sementara ternyata di atas langit sana doa-doa para ustad kita sementara bertarung dihadapan Tuhan. Kalau langit saja sudah mulai rusuh—karena pertarungan doa—apalagi dunia yang hanya seupil ini.
Cukuplah masyarakat kita yang mengambil peran perselisihan itu. jangan lagi ditambah dengan perseteruan doa-doa para ustad. Apa lagi yang bisa kita harapkan untuk menyudahi segala bentuk ketidakmasukakalan yang terjadi di dunia ini. Hukum tidak di percaya. Kitab suci di artikan sesuai kepentingan masing-masing. Kebanyakan orang merasa dirinya paling benar. Apa lagi coba? Selain doa itu sendiri yang menjadi cara terakhir.
Namun, mau gimana lagi. Pilkada memang selalu menjadi ajang kompetisi yang paling menguras pikiran dan tenaga. Dan, bukan hanya kubu-kubu kandidat saja yang sedang berkompetisi. Di luar itu semua, ada kompetisi yang paling berat. Di situ masyarakat menjadi bagian yang paling penting. Setidaknya ucapan “Amin”-nya bisa menambah kekuatan.
Ya, apalagi kalau bukan kompetisi memenangkan doa dihadapan Tuhan.
Discussion about this post