Selama masa pandemi Corona Virus Disease (Covid-19), pemerintah pusat, maupun daerah banyak mengeluarkan surat edaran yang berkaitan dengan pemberitahuan kebijakan penanganan pandemi. Tak heran, di jagat media sosial belakangan ini ramai bertebaran surat edaran dari pemerintah, di grup-grup whatsapp, status facebook, hingga di beberapa laman berita daring.
Pemerintah terus memperbaharui kebijakan mengikuti perkembangan penanganan Covid-19 yang sangat dinamis. Dengan demikian, surat pemberitahuan/edaran secara masif diterbitkan oleh pemerintah kepada masyarakat yang terdampak.
Di tengah masifnya surat edaran pemerintah yang kita terima, tak jarang dijumpai beberapa kesalahan tata penulisan. Mulai dari susunan kalimat yang terlalu berbelit, pemakaian kata serapan yang tidak sesuai, penggunaan tanda baca dan huruf kapital yang tidak tepat, format surat yang tidak teratur, dan tata bahasa yang tidak baku.
Seperti diketahui, surat edaran merupakan bagian dari surat resmi/surat dinas yang bersifat formal. Biasanya surat ini memuat kepentingan tugas dan kegiatan dinas suatu instansi.
Khusus dalam lingkup instansi pemerintah daerah, tata persuratan mulai dari format penulisan hingga bagian-bagian lainnya telah diatur dengan lengkap dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri 54 tahun 2009. Di sana telah ada panduan lengkap pembuatan surat dinas di antaranya kop/kepala surat, tanggal, alamat, pembuka surat, isi, dan kaki surat. Bahasa surat harus menggunakan kalimat baku dan memerhatikan kaidah bahasa Indonesia yang benar, baik dan lugas.
Meski demikian, jika kita cermati beberapa surat edaran Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Morowali belakangan ini, nampaknya kesalahan penulisan juga dilakukan dengan benar, baik dan lugas. Wkwkwkw
Mari kita lihat…
Hal pertama dan utama adalah penulisan format kop surat yang tidak konsisten, khususnya pada penulisan alamat. Pada beberapa surat edaran yang dikeluarkan, pencantuman alamat seolah dilakukan seenak hati saja, kadang digunakan, kadang tidak sama sekali. Padahal, dalam Permendagri di atas, tepatnya pada Bab VII, pasal 62 poin (3) penulisan kop surat seharusnya memuat alamat, nomor telepon, nomor faksimile, website, e-mail dan kode pos.
Jika lebih dicermati lagi, alamat yang kadang dicantumkan itupun tidak disertai e-mail.
Selanjutnya adalah penggunaan tata bahasa yang tidak baku dan tidak sesuai kaidah. Sebagai contoh pada surat edaran bernomor: 188.5/0519/PKPPKBD/V/2020 yang ditandatangani Bupati Morowali Taslim pada 15 Mei kemarin (lihat gambar). Jika diperhatikan dengan cermat, nampaknya surat tersebut ditulis asal-asalan, mulai dari penggunaan kata yang tidak tepat, penulisan istilah asing yang tidak ditulis miring, penggunaan huruf kapital dan tanda baca yang tidak sesuai, padanan bahasa yang tidak cocok, serta penggunaan kalimat yang tidak efektif.
Misalnya penggunaan kata “di” sebagai kata kerja dan keterangan tempat nampaknya tak terlalu dibedakan dengan cermat. Pada pembuka surat kalimat “dibeberapa wilayah” seharusnya ditulis dengan “di (spasi) beberapa wilayah” sebab kata “di” pada redaksi tersebut bukanlah kata kerja melainkan keterangan tempat atau merujuk ke suatu alamat.
Kemudian pada kalimat “dirapid test”. Selain penulisan yang seharusnya dimiringkan, pemakaian kata depan “di” pada istilah asing juga tidaklah tepat, seharusnya “melakukan rapid test”. Tentu saja masih banyak lagi kekeliruan lain yang tak perlu disebutkan satu persatu.
Beberapa kekeliruan di atas mungkin akan terksesan manusiawi jika dilakukan hanya sekali-dua kali, namun nampaknya tidak demikian, selain berulang dalam satu surat yang sama, di beberapa surat sebelumnya pun juga ditemukan kekeliruan yang sama.
Kesalahan semacam ini mungkin dianggap hanya “persoalan sepele”. Padahal, sebagai lembaga resmi negara, sejumlah kekeliruan seperti ini seharusnya bisa dihindari. Selain berpotensi menimbulkan kesalahan pemaknaan, hal tersebut juga menunjukkan betapa tidak seriusnya pejabat pembuat surat dalam lingkup Pemda Morowali. Profesionalitas tata kelola administrasi pun patut dipertanyakan.
Ulasan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan seseorang atau pejabat tertentu, namun jika persoalan sepele macam ini saja tak terlalu diperhatikan, tradisi pembiaran kelalaian terus dipupuk, bagaimana masyarakat bisa menyandarkan banyak hajat pada penyelenggara pemerintahan macam ini?
Semoga semua badai cepat berlalu…
Discussion about this post