Pemodal Tiongkok masuk Morowali lewat kerja sama dengan Bintangdelapan, yang sering disebut “tambang para jenderal”. Kongsi itu berbuah pusat nikel terbesar di dunia.
Satu pagi pada pengujung Desember 2017, delapan sekuriti berjaga di Pos I Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Di satu sisi pos, dua orang berpakaian tentara mengobrol dengan dua polisi yang memegang senapan.
Pos itu merupakan pintu utama kawasan industri nikel di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Posisinya di sisi timur Sulawesi, ada di ketiak pulau berbentuk huruf “K” itu. Jaraknya sekitar 1.700 kilometer dari Jakarta.
Kami boleh masuk area IMIP berbekal janji bertemu dengan seorang stafnya. Bangunan-bangunan besar segera terlihat begitu masuk kawasan itu. Beberapa cerobong asap menjulang.
Beton hotmix berdebu mengalas jalan kawasan IMIP. Dump truck bermuatan penuh lalu lalang di atasnya. Rambu-rambu memuat informasi dalam dua bahasa: Indonesia dan Tiongkok.
IMIP juga sedang membangun jalan layang di area muka kawasannya. Beberapa pekerja Tiongkok sibuk merangkai jaring-jaring besi untuk keperluan konstruksi di titik pembangunan itu.
Itu sekadar tampak muka kawasan industri nikel di bawah bendera IMIP. Merujuk masterplan, area seluas 2.000 hektare itu bakal memuat berbagai pabrik, pembangkit listrik, mess pekerja, landasan helikopter, landasan pesawat, resort, hingga lapangan golf.
Itu memang bukan kawasan industri kacangan. Sejak 2013, IMIP menggelontorkan uang hampir US$4 miliar demi membangun kerajaan nikel. Mereka juga mempekerjakan 19.175 pekerja domestik dan sekitar 2.000 pekerja asal Tiongkok.
“Kami terus membangun. Targetnya, pada 2020, kami mempekerjakan 25 ribu orang di Bahodopi,” kata Direktur Eksekutif IMIP, Alexander “Alex” Barus.
Kami bertemu Alex di kantor IMIP, Wisma Mulia, Jakarta, Senin (22/1/2018)–sebulan setelah berkunjung ke Bahodopi. Lelaki berdarah Medan itu tampak antusias saat menjelaskan capaian perusahaan yang dipimpinnya.
“Ini adalah pusat nikel terbesar di dunia,” katanya.
Saat ini, ada delapan pabrik pemurnian (smelter) di kawasan IMIP. Tahun lalu, kawasan itu produksi 1,5 juta metrik ton nikel pig iron dan 3,5 juta metrik ton stainless steel. Guna memenuhi target produksi, mereka menyerap 15 juta nikel ore (bahan mentah)–tak hanya dari Morowali.
Dengan kapasitas produksi itu, total penjualan IMIP menyentuh angka US$2,6 miliar dolar. Mereka juga menyumbang pajak sekitar US$100 juta dolar.
Sekadar informasi, nikel merupakan penyokong industri modern. Ia terpakai dalam pelbagai benda yang mendukung peradaban manusia, mulai dari baterai, ponsel, perkakas dapur, kendaraan bermotor, bahan bangunan, hingga pesawat terbang.
***
IMIP merupakan proyek kongsi swasta Tiongkok-Indonesia. Di atas kertas pemegang sahamnya adalah Shanghai Decent Investment Group (49,69%), Sulawesi Mining Investment (SMI, 25%), dan Bintangdelapan Group (25,31%).
Sebagai catatan, Decent merupakan bagian dari Tsingshan, raksasa baja dan besi asal Tiongkok. Tsingshan pula yang berkongsi dengan Bintangdelapan guna membentuk SMI.
Adapun Bintangdelapan merupakan perusahaan pertambangan asal Indonesia. Warga Bahodopi kerap menyebutnya sebagai “tambang para jenderal”. “Bintangdelapan itu simbol delapan jenderal, gosipnya begitu,” kata Asnan As’ad (29), tokoh pemuda Bahodopi.
Sedikitnya ada dua pensiunan militer di jajaran komisaris Bintangdelapan: Letjen (Purn) Sintong Panjaitan, bekas Komandan Kopassus pada era Orde Baru; Mayjen (Purn) Hendardji Supandi, yang pernah jadi kontestan Pilkada DKI Jakarta 2012.
Ada pula pensiunan polisi, Komjen Pol. (Purn) Suparni Parto, mantan Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri.
“Mereka semua komisaris. Setelah pensiun, gak papa donk bisnis. Dan saya jamin ini bukan bisnis militer,” kata Alex Barus, saat kami tanya tentang status para jenderal itu.
Sejak 2007, Bintangdelapan mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Morowali.
Waktu itu, kebanyakan pertambangan di Morowali sekadar ekspor nikel ore, demikian halnya Bintangdelapan.
Morowali memang kaya nikel dengan cadangan 379 juta ton–cukup untuk berpuluh tahun. Hingga kini, tercatat ada 67 pemegang IUP di Morowali. Pun, ada belasan proyek pabrik pemurnian (smelter) yang dibangun di daerah itu sejak 2012.
Tiongkok, konsumen nikel terbesar di dunia, menjadi tujuan utama ekspor nikel dari Morowali.
Kondisi berubah setelah hadir UU No.11/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Aturan itu mengamanatkan penghentian ekspor bahan mentah. Ekspor hanya boleh jika hasil tambang sudah melewati proses pemurnian (smelting).
UU Minerba mulai berlaku pada 12 Januari 2014. Bintangdelapan cergas mengantisipasi, dengan merangkul Tsingshan guna membangun pabrik pemurnian.
Menurut narasumber kami, semula Tsingshan lebih tertarik berkongsi dengan perusahaan pelat merah, Aneka Tambang (Antam). Medio 2009, sempat terjadi pembicaraan antara Tsingshan dan Antam untuk membangun pabrik pemurnian. Namun negosiasi kandas.
“Lalu, Tsingshan ketemu Bintangdelapan. Lebih cocok mereka,” kata sumber kami, seorang tokoh dengan pengalaman puluhan tahun di industri pertambangan. “Kalau dengan Antam lebih untung, karena sahamnya punya pemerintah.”
Selanjutnya, Tsingshan dan Bintangdelapan sepakat membuat perusahaan kongsi: SMI. Bendera itulah yang membangun pabrik pemurnian pertama di Bahodopi.
Pembangunan pabrik SMI setali tiga uang dengan proyek kawasan IMIP. Kedua proyek itu berhulu pada Oktober 2013 seiring lawatan Presiden Tiongkok, Xi Jinping.
Salah satu agenda Xi Jinping adalah memuluskan kerja sama antarpebisnis Indonesia dan Tiongkok. Agenda itu berjalan mulus ditandai dengan penekenan kerja sama antarpebisnis Indonesia dan Tiongkok di Hotel Sangri-La, Jakarta, pada 3 Oktober 2013.
Penekenan disaksikan langsung oleh Xi Jinping dan Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Proyek pembangunan kawasan industri dan pabrik pemurnian di Morowali turut tercantum dalam kesepakatan.
Sejak itulah proyek kawasan industri nikel di Morowali tancap gas. Pabrik SMI akhirnya beroperasi per 29 Mei 2015. Itu merupakan pabrik pertama yang berdiri di kawasan IMIP.
Peluncurannya megah. Presiden Joko “Jokowi” Widodo terbang ke Bahodopi demi meresmikan pabrik. Jokowi naik helikopter super puma milik TNI dari Palu–ibu kota Sulawesi tengah, berjarak sekitar 300 kilometer–menuju Bahodopi.
Setelah pabrik SMI beroperasi, ekonomi Morowali melonjak hingga 67,82 persen (2015). Padahal, tahun sebelumnya (2014), ekonomi Morowali hanya tumbuh 0,09 persen–seiring penerapan UU Minerba, yang melarang ekspor bahan mentah.
Belakangan, Jokowi menjadikan kawasan industri nikel di Morowali sebagai proyek strategis nasional, seperti tertuang dalam Peraturan Presiden No. 3/2016.
Alex Barus pun mengklaim bisnis yang dipimpinnya sebagai contoh implementasi UU Minerba.
“Kita (Indonesia) harus berhenti jadi pengekspor bahan mentah. Bahkan, sekarang IMIP impor bahan mentah dari negara lain, misalnya Afrika Selatan,” katanya.
***
Satu sore di pengujung Desember, seorang ibu muda (28) duduk memangku anaknya di teras sebuah kamar sewaan. Indekos itu berada di Desa Fatufia persis bersemuka poros Bahodopi (Jalan Trans Sulawesi), kira-kira sekilo dari kawasan IMIP.
Ibu muda itu sedang menunggu suaminya pulang. Sang suami bekerja di divisi pemeliharaan kendaraan IMIP. Saat kami berbincang, anaknya yang masih berusia tiga tahun berulang kali batuk dan bersin.
“Sering begini anak-anak di sini. Kalau ke Puskesmas paling dibilang ISPA. Lihat itu jalan berdebu dan asap PLTU,” katanya sambil menunjuk gumpalan hitam di langit area IMIP.
Kendaraan pergi pulang IMIP bikin debu-debu berterbangan. Lebih-lebih bila musim kemarau dan angin kencang bertiup. Pemandangan macam itu mudah terlihat di Fatufia, Keurea, dan Bahomakmur, tiga desa yang bersisian langsung dengan IMIP.
Aktivitas IMIP memang bukan tanpa masalah. Warga pun kerap gelar aksi yang menyoal berbagai perkara, mulai dari dampak lingkungan hingga realisasi dana tanggung jawab sosial perusahaan.
Namun, beberapa tahun terakhir, isu pekerja Tiongkok menjadi perkara paling panas.
Keberadaan tenaga kerja asing itu dianggap mempersempit kesempatan kerja penduduk lokal Morowali–terkhusus Bahodopi. Bahkan, ada tudingan bahwa IMIP mempekerjakan pekerja ilegal asal Tiongkok.
“IMIP bilang sekitar 2.000. Riilnya lebih dari itu. Kenapa tidak jujur, mungkin karena banyak yang ilegal,” kata Asnan As’ad, tokoh pemuda Bahodopi sekaligus pentolan Aliansi Rakyat dan Buruh Bersatu (ARUS)–kelompok yang getol mengkritik IMIP.
Belasan pekerja IMIP yang kami wawancara menaksir angka pekerja Tiongkok di kawasan industri nikel itu mencapai 5.000-7.000 orang.
Di sisi lain, pucuk eksekutif IMIP, Alex Barus mempersilakan warga berdemonstrasi. “Itu hak mereka. Sepanjang tuntutannya betul, kita layani,” katanya. Namun, Alex bilang pihaknya kerap menerima tudingan berlebihan, terutama soal pekerja Tiongkok.
“Mana ada 5 ribu pekerja Tiongkok. Mau ditampung di mana? (Kapasitas) pabrik juga enggak cukup. Silakan periksa,” kata dia.
Perihal permukiman yang bersisian dengan IMIP, Alex mengakui ada beberapa desa yang mesti direlokasi. “Tapi relokasi itu bukan kewenangan kami. Kami hanya berkomunikasi dengan pemda dan menawarkan city plan Bahodopi,” kata Alex.
Mantan Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian itu menargetkan Bahodopi menjadi kota industri yang “hijau, aman, nyaman dan tenang” pada 2025.
“IMIP tidak bisa mengubah semua masalah ini seperti membalik telapak tangan,” katanya. “Dalam istilah militer, proses itu harus: bertahap, berjenjang, dan berkelanjutan.”
***Tulisan ini pernah dimuat sebelumnya di dengan judul asli “Kapital Tiongkok di Ketiak Sulawesi”, pada tanggal 29 Januari 2018. Dimuat ulang atas izin penulis, dan untuk tujuan pendidikan dan literasi.
Discussion about this post