Dulu, Kecamatan Bahodopi nyaris terisolir. Tanpa listrik dan jalan yang layak. Kini, investasi miliaran dolar dari Tiongkok bikin wilayah itu semarak.
Sampai satu dekade silam, Kecamatan Bahodopi hanyalah daerah terpencil di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Kala itu, area pesisir pantai tersebut belum punya akses jalan layak. Warga pun kesulitan untuk sekadar menjangkau Bungku, ibu kota Morowali–sekitar 40 kilometer.
“Kalau ke Bungku saja susah, apalagi Palu (ibu kota Sulteng, jalur darat sekitar 500-an kilometer),” kenang Ramli. Pria Sunda itu menikah dengan perempuan asli Bahodopi dan menetap di sana sejak 1994. Sekarang, Ramli menjabat Sekretaris Desa Bahodopi.
Lebih-lebih pada era 1990-an, kata Ramli, mobil hampir dipastikan tak tembus Bahodopi. Orang yang hendak ke sana mesti jalan kaki bila bersemuka jembatan rusak dan jalan berlumpur, terutama pascahujan.
Ramli mencatat, baru pada awal 2000-an poros Bungku-Bahodopi (Jalan Trans Sulawesi) diperbaiki. “Itu pun aspalnya putus-putus. Masih jalan kaki juga kalau banyak lumpur.”
Pedagang asal Pangkep, Sulawesi Selatan, Syamsuddin (40) punya kisah tak kalah pilu. Sejak 2008, ia cari penghidupan di Bahodopi dan Bungku Timur (kecamatan tetangga) dengan berdagang es tong-tong dan bakso–bersepeda keliling dari desa ke desa.
“Pernah menetes air mataku, lantaran dorong sepeda di jalan lumpur dan menyeberang sungai. Bajalan itu berkilo-kilo” kata Syamsuddin.
Saking ruwetnya jalanan, hingga awal 2000-an, penduduk Bahodopi dan Bungku Timur lebih suka naik katinting (perahu motor) menuju Bungku. Rute menyusur laut makan waktu 2-3 jam. Sedangkan jalur darat butuh 3-5 jam–bisa lebih bila jalan rusak.
Saat malam tiba, Bahodopi juga minim penerangan. Penerangan terbatas hanya menyala lepas pukul 18.00 bersumber dari generator seadanya. Kecamatan itu memang belum dapat listrik negara hingga lebih kurang setahun lalu.
Kini, investasi miliaran dolar dari Tiongkok mengubah wajah Bahodopi. Dari sekadar daerah terpencil, Bahodopi berdandan menjadi sentra ekonomi baru di Sulawesi.
Di sana berdiri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), kawasan industri nikel hasil patungan swasta Tiongkok-Indonesia. Aktivitas IMIP, 24 jam non-stop, memicu roda ekonomi Bahodopi dan sekitarnya.
Kala kami berkunjung, akhir Desember 2017, Bahodopi sudah ramai. Motor-motor pekerja memenuhi jalan bila tiba masa pergantian jam kerja IMIP. Mobil-mobil penyuplai bahan makanan hilir mudik menyokong kebutuhan ribuan pekerja IMIP.
Aspal sudah mengalas poros Bahodopi-Bungku, sekaligus memangkas waktu perjalanan menjadi lebih kurang satu jam.
Sekadar catatan, hingga artikel ini terbit, jangan harap menemukan akses ke Bahodopi lewat peta interaktif macam Google Maps. Namun, Bahodopi tak seudik citra Google.
Lampu-lampu rumah sudah menyala. Instrumen perbankan modern, ATM telah tersedia. Pada jam sibuk, empat titik ATM penuh antrean warga yang hendak menuntaskan hajat perbankan.
Listrik jadi satu kunci yang memungkinkan Bahodopi bersolek, dan IMIP berkontribusi menyediakannya. Mulanya, perusahaan itu memberi generator dan subsidi solar untuk warga.
Setahun belakangan, IMIP pilih suplai listrik sebesar 5 megawatt kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kawasan itu memang punya listrik berlimpah dari beberapa PLTU berdaya total 1260 megawatt–konsumsi batubara sekitar 6 ton per tahun.
IMIP pun membangun transmisi listrik senilai Rp22 miliar demi menyalakan Bahodopi.
Sokongan IMIP memungkinkan PLN jual listrik kepada warga di 12 desa lingkar tambang: Fatufia, Keurea, Bahomakmur, Bahodopi, Bete Bete, Dampala, Labota, Lalampu, Le-Le, Makarti Jaya, Padabaho, dan Siumbatu.
Bila melintasi poros Bahodopi akan terlihat dua desa paling bercahaya: Keurea dan Fatufia. Keduanya bersisian langsung dengan IMIP.
Sepanjang jalan ada deretan warung kelontong dan puluhan rumah makan yang menawarkan bermacam menu. Gerai lain tak kalah semarak, macam kios pulsa, toko ponsel, bengkel, salon, penyewaan PlayStation, hingga penjual rokok elektrik.
Bila malam tiba, kedai-kedai kopi segera terlihat sebagai tempat nongkrong para pekerja IMIP. Ada pula sejumlah kafe remang-remang yang menawarkan layanan karaoke beserta gadis pendamping.
***
Keramaian muncul setelah ribuan orang dari berbagai penjuru Sulawesi berdatangan ke Bahodopi demi mengais rezeki di IMIP.
Saban hari, perangkat desa di Bahodopi dan sekitarnya menerima permohonan pindah status kependudukan. IMIP memang memprioritaskan penduduk Morowali dalam perekrutan. Alhasil pencari kerja dari luar Morowali pilih alih status kependudukan.
“Orang Palu, Poso, Toraja, Bugis, sampai Kendari, semua ke sini,” kata Ramli. Ia mengaku kesulitan mengenal orang-orang di Bahodopi saking banyaknya penduduk baru.
Migrasi itulah yang memicu aneka peluang bisnis. Usaha hunian paling kentara moncernya.
Sebagai ilustrasi, hampir separuh dari 322 kepala keluarga di Desa Bahodopi punya usaha indekos. Di desa itu juga mulai berjalan beberapa proyek pembangunan perumahan bersubsidi.
Tarif indekos bervariasi dari Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan, tergantung luas, bahan bangunan, fasilitas, dan jarak menuju IMIP.
Ramli pun punya warung kelontong dan 13 kamar indekos bertarif Rp1 juta sebulan. “Cukup untuk menyekolahkan empat anak saya di Bandung,” kata Ramli. “Perusahaan buka lapangan kerja untuk yang muda. Yang tua, macam saya, bisa bikin usaha.”
Syamsuddin ikut menadah cuan (untung). Dari sekadar pedagang jajanan keliling bermodal sepeda, pria Bugis itu kini punya “Warung Pangkep”, kedai yang sedia bakso dan makanan khas Sulawesi Selatan, macam sop sodara, konro, hingga coto makassar.
Warungnya bertempat di Desa Keurea–diurus enam pekerja. Kedai itu buka pukul 9.00-24.00, dengan omzet sekitar Rp5 juta per hari. “Pekerja IMIP banyak dari Sulawesi Selatan, makanya saya jual makanan khasnya,” kata Syamsuddin.
Pekerjaan moncer lain adalah penyuplai sembako, yang menambal kebutuhan logistik pekerja IMIP.
Satu nama yang kerap disebut sebagai “juragan supplier” adalah Abdul Majid, Kepala Desa Bahodopi. Beberapa sumber kami di Bahodopi menyebutnya sebagai “supplier beras” dengan transaksi mencapai ratusan juta per bulan.
Dua kali kami bertamu ke rumahnya, tetapi Abdul Majid selalu tak ada di tempat. Di rumahnya, ada puluhan kamar kos, penginapan, dan satu mobil kabin ganda anyar.
***
Sepanjang 2013-2017, IMIP mengucurkan dana sekitar US$4 triliun demi membangun kawasan industri nikel seluas dua ribu hektare di Bahodopi, Morowali. Investasi ditandai dengan pembangunan pabrik smelter (pemurnian) sejak pengujung 2013.
Peresmian pabrik dilakukan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 29 Mei 2015. Pada tahun yang sama pertumbuhan ekonomi Morowali seketika melonjak hingga 67,82 persen. Pertumbuhan itu terus melaju sampai 2016, dengan torehan 13,18 persen.
Angka Pendapatan Asli Daerah (PAD) Morowali juga terkatrol, dari Rp25,30 miliar (2014) menjadi Rp84,80 miliar (2015) beriring pembukaan pabrik IMIP.
Setahun setelahnya (2016), angka PAD turun menjadi Rp72,80 miliar, tetapi masih jauh di atas pendapatan sebelum pabrik smelter beroperasi.
Bukan hanya Bahodopi dan Morowali yang kena imbas positif. Sulteng, sebagai pengayom, turut terkatrol dengan menyandang status sebagai provinsi dengan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi pada 2016.
Pencapaian itu merujuk pada pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulteng yang mencapai 9,98 persen. Bahkan DKI Jakarta hanya punya pertumbuhan PDRB 5,58 persen.
Pun, sepanjang 2013-2016, sumbangsih Morowali pada PDRB Sulteng sangat signifikan.
Kabupaten yang berdiri pada 1999 itu tercatat menyumbang lebih dari 8 persen dalam total PDRB Sulteng (2013-2014). Angka itu meningkat hampir 12 persen hingga dua tahun setelahnya (2015-2016).
Per Desember 2017, IMIP mempekerjakan 19.175 pekerja domestik. Itu belum termasuk sekitar 2.000 pekerja asal Tiongkok. Jumlah keseluruhan pekerja itu hampir tiga kali lipat penduduk Kecamatan Bahodopi pada 2016 (7.388 jiwa).
Penyerapan tenaga kerja membawa dampak positif pada tingkat kesempatan kerja yang trennya naik dari 95,13 persen (2010) menjadi 97,71 (2015). Persentase pengangguran terbuka di Morowali juga turun dari 4,87 persen (2010) menjadi 2,29 persen (2015).
Tren itu ikut menekan persentase penduduk miskin di Morowali dari 18,85 persen (2011) menjadi 15,13 persen (2016). Persentase itu merujuk pada total 115.199 jiwa yang mendiami wilayah seluas 3.037 kilometer persegi–sekitar setengah luas Shanghai.
Dalam sudut pandang berbeda, keberhasilan industri nikel menyerap tenaga kerja di Morowali turut menggerus jumlah angkatan kerja sektor lainnya.
Pekerja sektor pertanian, misalnya, antara 2011-2015 turun dari 55,5 ribu jadi 24 ribu. Sebagai catatan, data Badan Pusat Statistik (BPS) ini mencantumkan “pertanian” sebagai indeks untuk pekerjaan bidang pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan.
“Di sini, dulu, orang berkebun tanaman musiman. Biasanya juga orang masuk ke hutan cari damar atau rotan. Ada juga nelayan,” kata Ramli. “Tapi sekarang orang pilih usaha dan kerja di perusahaan (IMIP).”
Catatan kritis datang dari Asnan As’ad (29). Tokoh pemuda Kecamatan Bahodopi itu menyebut investasi IMIP telah merampas lahan pekerjaan lain, macam nelayan.
Menurut Asnan, perairan Desa Fatufia merupakan tujuan nelayan-nelayan dari Bahodopi, Bungku Timur, dan Bungku Selatan. Pasalnya, di perairan yang masuk area Teluk Tolo itu banyak ikan roa–biasanya dikeringkan dengan cara diasapi.
Belakangan, ikan roa sulit ditemukan sebab laut yang berada persis di depan kawasan IMIP itu sudah berwarna kecokelatan.
Pembangunan dan aktivitas jetty (dermaga) IMIP disebut sebagai sumber masalah. Konon, warna laut kian keruh, setelah ada reklamasi Pulau Polo’e, di depan Desa Fatufia yang kini jadi tempat berdirinya resort internal IMIP.
“Laut warna cokelat, kapal kesana-kemari. Mana ada ikannya? Sekarang, hampir so te’ada nelayan. Susah cari ikan, jarak tangkap jauh,” keluh Asnan.
***Tulisan ini pernah dimuat sebelumnya di beritagar.id dengan judul yang sama, pada tanggal 29 Januari 2018. Dimuat ulang atas izin penulis, dan untuk tujuan pendidikan dan literasi.
Discussion about this post