Dalam sepekan, sudah ada sekitar 9 dokter yang wafat. Menjadi memilukan karena dokter-dokter itu adalah mereka yang berjibaku menangani Covid-19. Tambah menyayat hati lagi, kalau kita tarik ke belakang, bahwa ini adalah akibat dari penyelenggara negara Indonesia yang gagap merespon wabah ini.
Virus yang pertama kali merebak di Wuhan, China pada 31 Desember 2019 ini berubah menjadi teror di dunia. Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah mengeluarkan peringatan pertama terhadap wabah virus ini karena setidaknya telah menyebar ke 18 negara pertanggal 30 Januari 2020.
Kemudian tak lebih dari dua bulan, penyebaran wabah Covid-19 semakin bertambah hingga mencapai 114 negara. Dengan demikian, WHO melalui rilisnya pada rabu, 11 Maret yang lalu mengumumkan ketetapan Covid-19 menjadi Pandemi Global.
Aba-aba untuk bersikap siap dari WHO terus tersampaikan, tapi bagaimana Indonesia merespon itu? Biasa saja, kurang responsif kalau tidak mau disebut kecolongan. Hal ini jelas tercermin dari para pejabat negara ini yang terkesan meremehkan saat virus ini belum (ketahuan) ada di Indonesia.
Seolah Indonesia adalah negara yang mustahil bagi Covid-19. Misalnya, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang tidak terima dengan hasil riset Tim Harvard, yang menyatakan Virus Corona seharusnya sudah masuk di Indonesia sejak wabah ini mulai merebak di Wuhan.
Keangkuhan negara berlanjut, pernyataan-pernyataan takabur bergantian keluar dari mulut para pejabat kita. Mulai dari menyepelekan virus ini karena dianggap tak lebih berbahaya dari flu, sampai menyanjung ketahanan tubuh masyarakat Indonesia yang dirasa kuat karena terbiasa makan nasi kucing.
Kelakar pengurus negara ini seperti menjadikan wabah ini sebagai lelucon dan warganya yang sedang panik dianggap gimik. Sungguh biaya pemilu yang mahal ternyata menghasilkan pejabat yang murahan.
Komunikasi publik yang terkesan santai dari pemerintah terhadap pandemi ini sebenarnya tak menjadi soal, jika pemerintah sigap dalam bertindak melindungi segenap warganya. Tapi realita berkata lain, belakangan setelah dipastikan ada warga Indonesia yang positif terinfeksi barulah gagap gempita. Alhasil protokol penanganan tidak jelas, belum lagi didukung birokrasi yang berjalan lambat. Sungguh kombinasi yang pas untuk menyebut “Indonesia”.
Ketidakmampuan negara melindungi identitas pasien positif Covid-19 misalnya, menambah tekanan bagi pasien serta kepanikan bagi masyarakat luas. Bahwa mengidap virus ternyata adalah serupa aib. Betapa negara kurang cakap memperlakukan warganya. Jika sudah begitu jangan salahkan masyarakat jika sudah panik melihat respon pemerintah, percuma mengeluarkan himbauan tetap tenang. Kami sudah panik bahkan sejak bapak Terawan dipilih jadi Menteri Kesehatan.
Semacam balas dendam, Covid-19 yang diremehkan oleh pejabat negara ini pun menunjukkan tajinya. Pasien positif meningkat, sejalan dengan itu korban meninggalpun bertambah jumlahnya. Syukur saja masih ada warga yang bisa sembuh. Sementara itu apa yang dibuat negara? Tidak ada atau tepatnya warga tidak tahu.
Bagaimana tidak, pemerintah justru terkesan tertutup soal persebaran wabah Covid-19 dengan dalih untuk menghindari kegaduhan. Padahal kecenderungan menutup-tutupi informasi itulah yang justru menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat.
Seiring melajunya jumlah terinfeksi Covid-19, Indonesia dituntut untuk berbuat lebih. Paling tidak publik menyarankan dua pilihan untuk segera dilakukan, lockdown (kunci) atau tes massal. Setidaknya dua pilihan itulah yang tersedia dan keduanya hampir sama berat bagi Indonesia. Jika melakukan lockdown apakah negara siap? Kalaupun tes massal apakah negara mampu?.
Siap tidak siap Indonesia harus segera memilih, dan semoga bukan hasil ‘hompimpa’, kebijakan tes massal-lah yang diambil. Ribuan alat rapid test didatangkan, juga dengan jutaan obat yang dinilai ampuh. Kabar yang membahagiakan tentunya.
Namun, belum juga kata kebahagiaan itu selesai dieja, kita sudah dihadapkan dengan kabar yang menyesakkan lainnya. Kabarnya alat tes massal itu pertama-tama akan dipakai buat mengetes anggota DPR beserta keluarganya. Helooo!
Para tenaga medis adalah yang paling membutuhkan untuk segera dites. Mereka harus bisa menghadapi medan perang untuk bisa selamat. Sudah 13 tenaga medis yang meninggal. Dari situ sudah dapat dilihat mana prioritas utama. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika semua tenaga medis terinfeksi, siapa yang mau menyembuhkan pasien yang sakit?.
Setelahnya juga ada para pekerja harian yang tetap harus bekerja di jalan agar tetap bisa makan. Mereka yang sebelum datang wabah ini hidupnya sudah dipenuhi kepanikan. Merekalah yang rentan terpapar virus sebab tuntutan hidup.
Pilihannya mati karena virus atau mati kelaparan? Maka merekalah selanjutnya yang menjadi prioritas untuk segera dicek. Bukan para anggota dewan itu, yang kalaupun tidur saat sidang tetap juga menerima gaji. Sungguh kami tidak rela semua wakil rakyat itu mewakili semua lini kehidupan rakyat.
Belum juga selesai soal hingar-bingar rapid test, kita sudah dipamerkan kegagapan baru penanganan wabah ini. Terbaru, Presiden menolak permintaan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk melakukan lockdown. Juga Presiden tidak mau adanya karantina wilayah selevel nasional maupun provinsi.
Padahal China saja langsung berlakukan lockdown di Wuhan saat korban baru mencapai 17 orang dan 600 lebih yang terinfeksi. Sementara Jakarta baru saja memakamkan sekitar 98 orang yang diduga terinfeksi. Ya Tuhan, sepertinya malaikat Izrail akan lama bertugas di Indonesia.
Hingga tulisan ini diterbitkan, kasus positif corona di Indonesia mencapai 2.092 dengan total 191 meninggal dan tanpa status lockdown ataupun karantina wilayah. Malah justru yang muncul adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bisa berujung pada darurat sipil.
Wow! Indonesia tidak berlakukan lockdown atau karantina wilayah dengan dalih kita punya budaya dan tingkat kedisiplinan berbeda. Seolah rakyat dituduh tak disiplin dan negara tak mau menanggung kebutuhan rakyat sebagai konsikuensi dari lockdown atau karantina wilayah. Kalau sudah begini kami rasanya lebih takut sama negara ketimbang virus.
Discussion about this post