Morowali akhirnya memiliki desa budaya. Melalui Program Pemajuan Kebudayaan Desa yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dua desa di Kabupaten Morowali yaitu desa Topogaro di Kec. Bungku Barat dan desa Mbokita di Kec. Menui Kepulauan dipilih sebagai desa budaya percontohan. Keputusan ini tentu saja membanggakan sebab bidang kebudayaan selama ini masih menjadi aspek kesekian yang digunakan dalam arah pengembangan Morowali. Terlepas dari hal tersebut, pertanyaan yang kemudian timbul adalah parameter apa yang membuat kedua desa tersebut dipilih sebagai desa budaya ?
Well, pemilihan kedua desa tersebut merupakan hasil keputusan Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan melihat profil desa di setiap provinsi. Namun sebelum itu, Pemda Morowali melalui Dinas Pendidikan Daerah terlebih dahulu mendata desa-desa di Morowali yang berpotensi menjadi Desa Budaya untuk kemudian dilimpahkan ke Kemendikbud.
Untuk menjadi Desa Budaya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi di antaranya menjadi Wilayah Super Prioritas, memiliki potensi budaya, usaha/industri desa, Cagar Budaya, Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), dan kapasitas sumber daya lokal. Pada tahun ini, terpilih 359 Desa Budaya yang tersebar di seluruh Indonesia, dua di antaranya terdapat di Morowali.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, rupanya kedua desa tersebut memiliki potensi budaya berupa situs-situs arkeologis yang belum dimanfaatkan dan dikembangkan oleh stakeholder terkait. Sehingga dipilih dua orang Pembina Budaya Desa atau disebut Daya Desa yang ditunjuk langsung oleh Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Morowali untuk mengembangkan potensi budaya di wilayah tersebut.
Dua orang tersebut adalah Moh. Yasir sebagai Daya Desa di desa Topogaro dan Alaudin sebagai Daya Desa di desa Mbokita. Dalam kurun waktu enam bulan, mereka ditugaskan untuk melakukan pendataan, pengembangan, dan pemanfaatan potensi budaya desa yang nantinya digunakan sebagai bahan pengambilan kebijakan di bidang kebudayaan. Untuk merealisasikan hal tersebut, mereka dibantu oleh seorang Daya Warga dan Penggiat Budaya bekerjasama dengan pemerintah desa setempat.
Lalu, apa sih yang istimewa dari kedua desa tersebut ?
Desa Topogaro, Kec. Bungku Barat
Desa ini memiliki dua situs prasejarah yaitu Gua Vavompogaro dan Tokandindi yang memiliki tinggalan arkeologis berupa wadah kubur kayu yang disebut Soronga, fragmen tembikar, dan artefak litik. Pada 2016 lalu, arkeolog Jepang bernama Rintaro Ono bekerja sama dengan Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), Balai Arkeologi Manado, Balai Arkeologi Makassar, bersama dengan perwakilan mahasiswa dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Udayana melakukan penelitian di Gua Vavompogaro.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fragmen gerabah lapita yang ditemukan dengan ciri khas pola zoomorfik, geometrik, hiasan motif berwarna putih dan penggunaan teknik gores (incising) merupakan kebudayaan bangsa Austronesia.
Penyebaran gerabah lapita masih terbatas di Indonesia dan keberadaannya di Sulawesi dapat ditemukan di situs Mansiri (Sulawesi Utara) dan Kalumpang (Sulawesi Barat). Gerabah yang ditemukan pada kedua wilayah tersebut berumur antara 3500-3000 BP. Adapun penyebaran tradisi gerabah lapita di situs Gua Vavompogaro sudah berlangsung sejak zaman neolitik akhir sampai zaman perunggu sekitar 2800-2000 BP.
Desa Mbokita, Kec. Menui Kepulauan
Desa Mbokita merupakan salah satu wilayah konservasi laut di kawasan Pulau Sombori yang dikenal sebagai miniatur Raja Ampat Papua karena pesona lautnya yang memesona. Selain itu, desa dengan luas 7,01 km2 rupanya memiliki lukisan dinding gua berupa gambar telapak tangan yang tersebar di Gua Berlian dan Gua Mbokita. Penemuan ini begitu prestisius sebab lukisan dinding di Kabupaten Morowali baru ditemukan di wilayah tersebut.
Tak hanya itu, desa Mbokita yang dihuni oleh suku Bajo dengan budaya maritimnya yang masih kuat ini juga memiliki tradisi maritim berupa upacara sedekah laut yang dikenal dengan nama ngangaidah. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur pada laut, leluhur, dan Tuhan atas hasil laut yang melimpah dengan menyajikan 44 hidangan. Oleh pemerintah setempat, tradisi ini disulap menjadi pesta budaya dengan nama Festival Bajo Pasakayyang yang diselenggarakan setiap tahunnya. Salah satu kuliner tradisionalnya yaitu tolimbu merupakan makanan berbahan dasar ubi kayu pahit dapat disantap dengan menggunakan aneka ragam lauk seperti ikan asin, dabu-dabu, ikan bakar, gurita, dan kerang-kerangan.
Then, output dari program tersebut apa ?
Jadi teha, program Pemajuan Kebudayaan Desa mengharuskan setiap Daya Desa menyusun Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (DPKD) bekerja sama dengan Daya Warga, Penggiat Budaya, dan Pemerintah Desa setempat. Dokumen tersebut akan menjadi dasar pengambilan kebijakan dan pedoman dalam arah pegembangan dan pemanfaatkan kebudayaan yang ada di kedua desa tersebut.
Semoga di tangan kedua Daya Desa, desa Topogaro dan desa Mbokita sebagai Desa Budaya terpilih bisa menjadi desa percontohan bagi pelestarian tradisi dan nilai-nilai kearifan Tobungku yang saat ini mulai tergerus oleh perkembangan zaman. Karena kendatipun zaman terus berganti, budaya akan terus hidup, tumbuh, dan berkembang. Dan hanya kita yang bisa menyelamatkannya dari ambang kepunahan !
Tambahan :
Discussion about this post