“Selamat berjuang sahabat buruh…! Semampuku kan berbuat apapun agar anda, kita dan mereka bisa terbuka matanya, telinganya dan hatinya untuk KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA”.
Di atas merupakan sebuah status di akun media sosial seorang buruh bernama Sebastian Manuputty yang diunggahnya sesaat sebelum membakar diri dan terjun menjatuhkan diri dari atap Stadion Gelora Bung Karno berketinggian 30 meter, 4 tahun silam.
Sebastian jatuh menimpa alat musik Drum yang tengah mengiringi Ahmad Dani bernyanyi di atas panggung konser perayaan hari buruh kala itu. Kepala Sebastian pecah akibat benturan keras. Salah satu cymbal drum yang terbuat dari logam kuningan retak akibat tertimpa tubuhnya. Sebastian tewas seketika.
Seperti halnya juga nasib Marsinah. Seorang buruh perempuan yang hidupnya berakhir tragis akibat penculikan dan penganiyayaan karena lantang menyuarakan kenaikan upah buruh di perusahaan tempatnya bekerja. Beda dengan Marsinah, Sebastian malah memilih mengakhiri hidupnya dan membawa sebuah keresahan mendalam yang mungkin tak terjelaskan hanya dengan teriakan lewat pengeras suara di panggung-panggung orasi manapun.
Ia jatuh dan tewas di hadapan para serikat buruh yang saat itu sedang berunjuk rasa sambil berdendang mengikuti alunan musik yang dinyanyikan mantan vokalis Dewa itu di GBK. Setelah peristiwa itu, lantas yang kemudian terjadi, buruh tetap kembali bekerja sesuai waktu kerjanya masing-masing seperti sediakala. Sampai 1 Mei datang kembali di satu tahun berikutnya.
Rentetan peristiwa tragis yang menimpa setiap buruh dari waktu ke waktu bukan lagi hal yang terdengar asing di telinga-telinga kita. Bahkan telah menjadi sesuatu yang terdengar klise, yang datang lalu kemudian berlalu begitu saja.
Dari sana, perenungan yang mendalam baik lewat akal sehat yang paling polos atau lewat teori-teori akademis dalam tingkatan yang paling tinggi telah terimplementasi dengan tegas, bahwa penderitaan serta segala keresahan perlu disuarakan, dibicarkan, dan diekspresikan meski dengan cara apapun demi tujuan, seminimal mungkin, agar diperhatikan.
Persoalan upah, jam kerja, keselamatan kerja, sistem outsourching, serta hal lainnya yang bagi banyak orang mungkin tak begitu dipersoalkan. Tapi tak berlaku bagi individu setiap buruh yang sudah lama tersiksa dengan keadaan yang dihidupinya. Atau paling tidak, keresahan atas pemahaman yang membebani pikirannya, membuatnya memilih jalan sendiri bahkan dengan bentuk aspirasi yang paling radikal.
Meski begitu, tak ada yang membantah bahwa “perkumpulan” tetap menjadi sesuatu yang paling representatif untuk menyatukan keresahan-keresahan pribadi menjadi sebuah kekuatan yang besar untuk sebuah tuntutan. Dalam logika demokrasi, juga ikut mengaminkan “prinsip representasi”. Di mana semakin tinggi representasi sebuah perkumpulan, atau dengan kata lain, semakin banyak orang yang diwakilkan dalam sebuah perkumpulan, semakin tinggi pula kesahihan atas klaim olehnya. Tetapi konsep seperti ini juga tak selamanya berjalan sebagaimana idealnya.
Dari peristiwa di atas dan beberapa yang terjadi lainnya, mengonfirmasi bahwa sebuah perkumpulan buruh atau akrab disebut serikat buruh yang sudah lama ada dengan glorifikasi setiap peristiwa agung di jamannya masing-masing, dalam beberapa kondisi belum mampu memberikan ruang aspirasi dan mewakili pikiran setiap individu-individu di dalamnya yang sedang menderita pesakitan dan resah tak tertahankan.
Maka tak heran jika tak jarang ada tumbal dari setiap gerakan-gerakan buruh baik di dunia maupun di tanah air. Meski dengan cara apapun, kematian para buruh adalah hutang yang harus dibayar mahal oleh perjuangan serikat buruh untuk tetap berdiri tegap dan bersuara dengan lantang melanjutkan perjuangan sampai tuntutan benar-benar bisa direbut.
1 Mei atau yang kerap disebut sebagai May Day, adalah hari buruh sedunia yang diperingati setiap tahunnya. Di belahan dunia utara, May Day semula hanya berupa festival musim semi, ada juga yang sekedar menjadikannya sebagai hari libur tradisional. Namun, sejak abad ke-19 hingga sekarang, nyaris semua negara di berbagai belahan dunia menjadikan hari ini sebagai hari amarah bagi banyak orang, tak hanya buruh, beberapa komunitas lain seperti pelajar juga turut serta meluapkan aspirasinya di hari buruh ini.
Serikat buruh adalah satu-satunya alat legitimasi yang paling kuat bagi para buruh untuk menyuarakan aspirasi di hadapan semua orang. Serikat buruh telah lama menjadi tunggangan para buruh yang dijamin oleh undang-undang. Namun, terlepas dari itu, serikat buruh juga datang dengan berbagai masalah internalnya sendiri, serikat buruh hari-hari ini setidaknya memiliki beberapa masalah fundamental yang membuatnya mengalami kemunduran dalam banyak hal.
Pertama, independensi para elit serikat buruh terhadap politik praktis. Koneksi elite serikat buruh dan partai politik membuat gerakan buruh akan mengalami kemunduran sebab politik transaksional akan menjadi jerat yang tak dapat dihindari. Selain itu, kesibukan para elit serikat buruh dalam politik praktis akan mengalihkan perhatian terhadap fokus utama mereka sebagai gerakan serikat buruh. Akibatnya, advokasi terhadap permasalahan anggotanya di tingkat paling kecil telah minim dilakukan.
Seorang pakar ilmu politik dari Universitas Oslo, Norwegia, Olle Tornquist berpendapat bahwa imbas dari perselingkuhan elit serikat buruh dengan partai politik akan menjauhkan mereka dari tujuan utama, yakni menyejahterakan anggotanya. Banyak serikat terlibat dalam gerakan populis jangka pendek dari politik transaksional kaum elite lawas. Mereka bahkan kehilangan strategi jangka menengah dalam haluan dan pendirian mencapai politik demokratis yang transformatif.
Masalah kedua adalah tak adanya konsep ideologi yang konsisten dalam internal serikat buruh. Kesadaran kelas yang menjadi semangat awal lahirnya serikat buruh akhirnya tak lagi menjadi pondasi berpikir yang populer di kalangan serikat buruh, ia telah dikalahkan oleh pikiran populis yang mengedepankan eksistensi atau popularitas.
Goenawan Muhamad, salah satu pendiri majalah Tempo pernah menulis dalam sebuah buku: Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Menurutnya, setelah marxisme tersingkir dan digagalkan, yang menggantikannya adalah sejenis sikap pragmatik, kerja yang tak mengedepankan persoalan benar atau tidak menurut suatu doktrin atau asas, baik atau tidak menurut suatu ajaran, kriteria legitimasinya hampir sepenuhnya dikaitkan dengan hasil atau performativitas belaka.
Masalah ketiga adalah tidak terciptanya transformasi dan hirarki ilmu pengetahuan antara elit serikat buruh dengan anggotanya. Hal ini tentu saja banyak dijumpai di organisasi manapun. Saat duduk merumuskan berbagai masalah dengan latar belakang keilmuan masing-masing, para elit organisasi terkadang terlalu asik berdiskusi panjang lebar dalam sebuah forum kecil di dalam ruangan ber-AC, setelah itu dengan santai mereka keluar dari ruangan, lantas menyerukan sebuah perintah bak penguasa otoriter yang bisa memerintah hanya sekali tunjuk kepada kerumunan massa.
Saat unjuk rasa berjalan buntu, perundingan terbatas dengan para elit perusahaan di dalam ruangan tertutup dilangsungkan, setelah itu mereka pulang dengan tertib. Massa ikut patuh di belakang mereka. Tak jarang kerumunan massa itu tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Upaya penyamarataan ilmu pengetahuan di kalangan serikat buruh adalah satu hal penting yang mestinya tak boleh diabaikan. Para buruh harus diberdayakan dengan ilmu pengetahuan, agar gerakan serikat memiliki kekuatan bahkan sampai di barisan paling belakang. Pengetahuan ini juga akan menjadi kesadaran pribadi yang menentukan seberapa konsisten setiap anggota memperjuangkan haknya sebagai buruh.
Tentu saja, serikat buruh tak ingin kembali seperti awal kemunculannya pada abad 19 di Inggris, saat itu serikat buruh hanya dibentuk untuk mereka yang dianggap sebagai tenaga ahli, karena menganggap pekerja tidak ahli tidak cocok bergabung dalam wadah organisasi formal, karena perbedaan karakteristik upah, pendidikan, isu, dan aspirasi.
Masalah berikutnya adalah kesiapan strategi dari serikat buruh menghadapi setiap konsikuensi dari gerakan yang hendak atau telah dibuatnya. Paska unjuk rasa atau mogok buruh, tak jarang para buruh menemui masalah baik secara organisasi maupun individu setiap anggotanya. Pemecatan secara sepihak, PHK, kriminalisasi akan datang menyusul mereka satu persatu. Kejadian ini pula yang membuat beberapa serikat buruh rentan terhadap pembubaran masal. Jika tak diantisipasi dengan taktis, tentu ini menjadi kelemahan yang paling utama dari setiap serikat buruh.
Serikat buruh telah harus berpikir bagaimana sebisa mungkin mereka mengidentifikasi hal-hal yang tidak saja berupa catatan penderitaan dan kesia-siaan buruh saat sedang bekerja di dalam pabrik, tapi juga untuk menyusun suatu agenda-agenda pembebasan setelahnya.
Masih banyak lagi masalah lain yang sedang dihadapi oleh serikat buruh di manapun, belum lagi masalah perusahaan di era industri 4.0 yang membuat masalah perburuhan semakin kompleks. Tetapi bagaimanapun, yang paling paham dan mengerti dengan persoalan buruh tentu saja buruh itu sendiri. Bukan berasal dari kalangan di luar mereka.
Di awal tahun 2019, tepatnya tanggal 25 Januari, salah satu mogok buruh terbesar yang pernah dilakukan oleh buruh di Morowali berlangsung dengan tuntutan upah minimum 20 persen. Mogok ribuan buruh tersebut diadakan oleh gabungan dari banyak serikat buruh yang ada di Morowali.
Meski tak kunjung menemui hasil yang sesuai yaitu upah minimum 20 persen, tentu gerakan seperti ini tetap menjadi pelajaran paling berharga. Sebuah kepercayaan akan kekuatan diri dan semangat berjuang bersama telah ditanamkan lewat seruan mogok, dan akan kembali dituai di perjuangan buruh berikutnya. Ini adalah capaian penting untuk hari depan, sebagai bagian dari pemenuhan tugas sejarah buruh seperti kata Sebastian Manuputty sebagai pemimpin KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA.
Teruslah berserikat, karena kesejahteraan tak datang karena diminta, kesejahteraan hanya datang dengan cara direbut. Selamat hari Buruh…!
Discussion about this post