“Ada dua kekuatan di dunia ini: yang satu pedang dan satu lagi pena. Ada kekuatan yang lebih kuat daripada keduanya yaitu kekuatan kaum perempuan”.
Adagium di atas terdapat dalam buku autobiografi Malala Yousafzai yang berjudul “I am Malala”. Perempuan asal Pakistan yang meraih nobel perdamaian termuda di dunia berkat kegigihannya menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi anak perempuan.
Di Indonesia, perjuangan emansipasi semacam ini telah dilakukan pada masa kolonialisme. RA Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Mutia, Martha Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang, dan Raden Dewi Sartika adalah sederet tokoh perempuan yang dianggap menjadi simbol kebangkitan perempuan.
Setiap 21 April, kita memperingaati Hari Kartini yang bertepatan degan hari kelahiran RA Kartini. Sosok Kartini memang menjadi simbol kebangkitan perempuan. Kartini telah mengubah pemikiran masyarakat jaman kolonial tentang hak perempuan pribumi. Melalui surat-surat yang ditulisnya kepada rekan korespondensinya di Eropa, Kartini menyampaikan gagasan dan pandangannya tentang hak pendidikan bagi perempuan bumiputera. Oleh J.H. Abendanon -saat itu menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda- dikumpulkan menjadi sebuah buku yang kemudian diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Dalam karya fiksi, Sastrawan besar Indonesia Pramudya Anantatur dalam beberapa karyanya kerap kali menggambarkan perempuan sebagai tokoh progresif. Pram mengajak pembaca menelaah karya fiksi untuk menyingkap realitas sosial dan permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui penjabaran konflik dan ideologi yang ia dianut. Salah dua hal dari karya-karya Pram yang menjadi magnum opus adalah “Tetralogi Pulau Buru” di mana tokoh perempuan yang paling sentral adalah Nyai Ontosoroh.
Kemiskinan struktural menjadi pemandangan lazim yang bisa ditemukan pada masa kolonialisme. Relasi kuasa antara priyayi dan wong cilik mempertegas batas-batas hubungan yang tidak boleh dilanggar oleh keduanya. Namun keadaan tersebut bisa berubah jika terjadi perkawinan atau sistem pergundikan yang memaksa seorang perempuan menjadi “tumbal kekuasaan” yang diinginkan oleh orangtuanya. Seperti yang dialami oleh Nyai Ontosoroh yang menjadi gundik atau Nyai Herman Mellema ketika masih berusia 14 tahun.
Dalam tradisi feodal, kedudukan seorang perempuan pribumi tak ubahnya perempuan yang bermoral rendah, bodoh, pelacur, atau wanita piaraan para pejabat dan serdadu Belanda. Kendatipun mengalami keterpurukan karena dijual sebagai gundik, Nyai Ontosoroh justru bangkit dan berusaha keras agar diakui sebagai seorang manusia laiknya yang lain. Nyai Ontosoroh melawan penghinaan, kebodohan, dan kemiskinan struktural dengan cara belajar banyak hal seperti membaca, menulis, berhitung, perniagaan, bahasa, budaya-hukum Belanda, bisnis, administrasi, dan surat-menyurat. Kesemua keahlian ini sangat jarang dimiliki oleh perempuan pribumi kala itu, bahkan kaum laki-laki sekalipun.
Selain itu, Nyai Ontosoroh juga dikenal berkat keberaniannya melawan hukum kolonial terkait hak asuh anak. Sesuatu hal yang sulit untuk ditentang karena anak Indo (hasil perkawinan antara Belanda dan pribumi) hanya diakui garis keturunannya secara patrilinear. Potret Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai seorang perempuan pribumi yang kuat, mandiri, tegar, dan cerdas sehingga citra Nyai yang melekat kuat pada dirinya runtuh berkat kemampuannya untuk keluar dari penjajahan pikiran dan kebebasan yang selama ini membelenggu dirinya.
Dengan kata lain, Nyai Ontosoroh bukanlah seorang perempuan rendahan, figur historis atau sekadar rekaan dari sang penulis. Lebih dari itu, Nyai Ontosoroh menjadi manifestasi perempuan pribumi yang jauh melampaui zamannya, bahwa seorang perempuan bisa merdeka atas pikiran, cara pandang, dan nasibnya sendiri.
Kolonialisme telah hilang dari bumi pertiwi, pun dengan tradisi patriarki yang dulunya mengakar erat juga perlahan mulai runtuh. Lalu bagaimana dengan nasib perempuan di zaman milenial terkhusus para perempuan yang berada di Morowali saat ini?
Well, its notion is still exist.
Memang, saat ini banyak perempuan telah mengeyam pendidikan, ikut dalam konstelasi politik, menjadi wanita karir, memiliki jabatan tinggi, dan bebas dalam mengekspresikan pikiran dan kebebasannya. Pesatnya perkembangan teknologi dan penyebaran globalisasi membawa perubahan paradigma dalam memandang persoalan gender. Gender tidak lagi menciptakan ketimpangan yang besar, namun menjadi sebuah pilihan yang harus dihormati oleh setiap orang.
Namun, dominasi pemikiran “patriarki” dan sikap primitif masyarakat zaman feodal masih mangakar kuat dan menjadi semacam kewajaran baik untuk kaum laki-laki maupun perempuan sekalipun. Keberhasilan dan kesuksesan seorang perempuan yang diakui oleh masyarakat kita adalah saat perempuan berada dalam ikatan suci pernikahan dan hidup happy ending ala falala-falala drama Korea. Bahkan perempuan yang menikah muda akan dielu-elukan keberadaannya hingga trend semacam ini latah dilakukan oleh kaum milenial.
Berbanding terbalik dengan perempuan yang tetap mengeyam pendidikan hingga umurnya menuju kepala tiga misalnya, cibiran negatif seperti “perawan tua” akan menghiasi perjalanan kehidupannya sebelum status lajang dilepasnya. Generasi tua patriarkis dan konservatif semacam ini melihat ujung takdir seorang perempuan pada kemampuannya megurus anak dan suami di rumah.
Hal ini pernah saya alami ketika memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat pascasarjana. Bukan dukungan yang saya terima, melainkan cemohan, ejekan, dan bahkan hinaan karena berada di zona tidak nyaman ala perempuan kebanyakan. Aduhhh ….
Tugas perempuan tidak melulu pada urusan dapur, kasur, dan sumur saja sebab perempuan juga membutuhkan akses pendidikan, sosial ekonomi, kesehatan, dan hak-hak hidup lainnya. Aspek pendidikan misanya sangat penting sebab perempuan menjadi penentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dari generasi penerus. Kedudukannya sebagai ibu rumah tangga dan pendidik pertama bagi anak menjadi kekuatan perempuan untuk menciptakan generasi bangsa yang terdidik.
Tantangan yang dihadapi perempuan saat ini semakin berat dengan munculnya era revolusi industri 4.0. Peran strategis perempuan sebagai ibu rumah tangga dan masyarakat mengharuskan perempuan tak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga harus menguasi teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, perempuan juga harus mampu mengaktualisasikan dirinya agar tidak tertinggal. Sebab selain harus menuntun anak untuk memanfaatkan teknologi ke arah positif, mereka juga harus menggunakannya untuk mengembangkan potensi diri tanpa melupakan nilai-nilai luhur pertiwi yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Namun nyatanya perkembangan teknologi tidak sejalan dengan kemampuan literasi sebab tingkat literasi digital perempuan Indonesia masih rendah. Hal ini tak dapat dimungkiri sebab faktor penghambat penguasaan teknologi seperti tingkat pendidikan, fasilitas, pelatihan, dan pengaruh budaya patriarki masih tinggi.
Di Morowali misalnya, ketimbang menggunakan sosial media untuk melakukan hal-hal positif dan mengembangkan diri, timeline sosial media saya seperti Facebook diisi dengan gossip online ala ibu-ibu milenial. Hal ini tambah dilematis sebab kelakuan semacam ini tak hanya dilakukan oleh mereka saja, tetapi merambah generasi penerus perempuan yang menghiasi kehidupan maya mereka dengan hate speech, status alay, dan saling ejek yang jauh dari perempuan progresif.
Untuk partisipasi politik, pun demikan halnya. Walaupun UU pemilu yang baru membuat partisipasi politik perempuan sebesar hanya 30% saja, itu juga belum terwujud sebagaimana mestinya. Di Morowali sendiri, jumlah anggota legislatif perempuan hanya 4 orang saja dari 25 anggota DPRD seacara keseluruhan. Apalagi untuk jabatan struktural di pemerintahan, jumlah perempuan yang menduduki jabatan tertentu sangat sedikit.
Sebagai perbandingan antara laki-laki dan perempuan di tingkat eselon II sebanyak 30 dan 5, eselon III sebanyak 133 dan 39, dan eselon IV sebanyak 247 dan 171 pada tahun 2018 lalu. Pun untuk dinas dan instansi pemerintah, jumlah anggota laki-laki selalu mendominasi dibandingkan perempuan kecuali untuk Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan KB daerah yang didominasi perempuan sebanyak 284 orang dan 59 laki-laki.
Beda jaman, beda tantangan, dan beda pula tujuan. Namun pada dasarnya esensinya sama yaitu memperjuangkan kebebasan perempuan untuk merdeka atas tubuh dan pikirannya sendiri tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang ibu. Perempuan yang bergelar “ibu” adalah ujung tombak peradaban suatu bangsa yang akan mengubah dunia menjadi lebih baik jika dia mampu membuat dirinya menjadi yang terbaik.
Untuk itu, untuk kamu perempuan, bebaskanlah dirimu atas kungkungan patriarki dan jadikan dirimu perempuan berkualitas untuk melahirkan generasi anak bangsa yang terbaik.
Discussion about this post