Beberapa waktu lalu, pemerintah daerah Kabupaten Morowali melalui Dinas Pendidikan Daerah menggelar musyawarah adat untuk membentuk Dewan Adat Tobungku. Dalam acara yang digelar selama dua hari tersebut, dua orang narasumber dihadirkan untuk memberikan materi kepada para peserta terkait sejarah Tobungku. Ialah Yasher Sakita dari kota Manado yang merupakan seorang pengamat sejarah dan Haliadi, S.S., M.Hum., PhD dari kota Palu yang merupakan seorang dosen sejarah dari Universitas Tadulako. Keduanya memaparkan dua tema yang berbeda di mana Yasher Sakita menjelaskan sejarah Tobungku berdasarkan tinggalan arkeologis sedangkan Haliadi menjelaskan sejarah kerajaan Bungku.
Namun tak dinyana, saat presentasi, Haliadi mengatakan jika data yang dikemukakan oleh Yasher Sakita konon tidak bisa dikategorikan sebagai penelitian sejarah. Menurut beliau, sketsa tertua yang ditampilkan oleh Yasher Sakita hanyalah sebuah gambaran kasar yang belum selesai sehingga invalid untuk dijadikan sebagai rujukan. Benarkah demikian adanya ?
Let us find the truth
Buku Sejarah Kerajaan Bungku yang ditulis oleh alm. Syakir Mahid bersama Haliadi dan Wilman pada 2012 lalu merupakan proyek kerja sama antara Pemda Morowali bersama Pusat Penelitian Sejarah (PusSEJ) Untad Palu. Menjadi satu-satunya buku cetak yang membahas tentang Bungku membuat buku tersebut menjadi primadona dan acap kali dijadikan sebagai referensi saat mencari sejarah Bungku terutama terkait Kerajaan Bungku.
Namun pada 2017 lalu saat berkunjung ke Kota Palu ketika saya berkesempatan bertemu dengan alm. Syakir Mahid. Dalam usia senjanya, beliau meminta agar buku yang mereka tulis diperbaiki karena isi buku tersebut memuat beberapa informasi yang tidak valid untuk dijadikan konsumsi publik. Bahkan di beberapa kesempatan, beliau secara pribadi selalu meminta saya untuk melaksanakan penelitian di Bungku demi memperkaya data terkait aspek arkeologis dan sejarah Bungku. Hingga beberapa bulan sebelum ajal menjemput, beliau masih sempat berpesan “Ndoumo mu lako penelitian le kampuno mia, falilimo le kampu”
Setidaknya ada beberapa alasan yang membuat buku Sejarah Kerajaan Bungku perlu direvisi.
Pertama, tidak ada kesesuaian antara judul dan isi. Judul yang tertera adalah Sejarah Kerajaan Bungku, namun isi buku tidak merepresentasikan sebagaimana yang tertulis pada judul. Dengan kata lain, isi buku saling tumpang-tindih karena tidak jelas apakah mau menulis kebudayaan Bungku atau sejarah kerajaannya. Hal ini bisa dilihat pada Bab IV berjudul Kerajaan Bungku : Dari Peapua Lamboja Hingga Peapua Abdurrabbie. Sekilas jika merujuk pada judul bab, hal yang pertama kali terlintas adalah bab tersebut akan menjelaskan bagaimana pemerintahan Kerajaan Bungku dari raja pertama hingga terakhir. Namun yang terjadi adalah bab tersebut lebih banyak memuat simbol-simbol dan adat di Kerajaan Bungku baik berupa perkawinan, adat istiadat, sanksi/hukuman, tata cara berbicara, tata cara duduk, bagaimana Islam berkembang di Kerajaan Bungku, dan wilayah kekuasaan Kerajaan Bungku di masa lalu.
Contoh lainnya adalah buku tersebut memiliki satu bab khusus yang membahas tinggalan arkeologis di wilayah Bungku, namun yang dibahas kebanyakan adalah aspek mitologi yang tidak memiliki korelasi dengan hal tersebut.
Kedua, data tertua Bungku saat ini merujuk pada catatan yang di dalamnya memuat kata Tubuzu, ditulis oleh Andres de Urdaneta, seorang navigator dan penjelajah asal Spanyol. Dalam catatannya ia, menuliskan seperti ini :
“Di sebelah Barat Daya Maluco (Maluku) ada sebuah pulau besar bernama Tubuzu, di mana ada banyak besi yang tersedia dibagian pulau ini, besi-besi disini dibawa ke Jaba (Jawa), Timor dan Burney (Kalimantan). Saya pergi ke pulau itu dengan beberapa orang Gilolo (Jailolo).
Di sebelah barat pulau ini sangat dekat dengan pulau Macazares (Makassar), di mana terdapat banyak emas …
Di sebelah pulau Tubuzu tersebut, di sisi timur, ada pulau kecil bernama Bangay (Banggai)….”
Ketiga, kebaruan data berupa sumber tertulis yang belum digunakan. Saat ini, sudah banyak data terkait Tobungku yang ditemukan, salah satunya mengenai jumlah raja Bungku dan siapa raja pertama yang memerintah. Data terbaru mengungkapkan jika jumlah raja Bungku berjumlah 24 orang dan yang pertama memerintah adalah Sangaji Lalari sedangkan pada buku Sejarah Kerajaan Bungku hanya memuat 17 raja dan raja Bungku pertama adalah Peapua Lamboja.
Tak hanya itu, sketsa tertua Bungku saat ini dibuat pada abad ke-17. Haliadi selaku tim penulis buku Sejarah Kerajaan Bungku membantah sketsa yang ditampilkan oleh Yasher Sakita pada saat presentasi sebagai sketsa tertua Bungku saat ini. Mungkin beliau lupa jika sketsa tersebut juga mereka tampilkan pada halaman pertama buku tersebut dengan menuliskannya sebagai “Peta Bungku 1650”.
Tapi mohon maaf sebelumnya Pak, jika memperbesar peta tersebut, kita akan menemukan tulisan Belanda Tua dari abjad A-S dengan judul “Afbeelding Van Tland En De Rheede Van Tambocco”. Sketsa tersebut diperkirakan dibuat oleh Van der Wall pada 13-17 Maret 1685 saat menyambangi wilayah Bungku. Jika diperhatikan secara seksama, peta tersebut memuat beberapa benteng yang diperkirakan adalah Benteng Fafolobani, Benteng Fafontofure, dan Benteng Ua Mpono’i, beberapa pelabuhan serta kapal.
Keempat, sumber data yang digunakan kurang kompatibel. Di beberapa tulisan, sumber data menggunakan tulisan blogspot yang disadur secara mentah tanpa dilakukan kritik data secara komprehensif. Padahal tulisan semacam ini memiliki distorsi (tingkat kekeliruan yang tinggi) sehingga harus hati-hati dalam menjadikannya sebagai sebuah rujukan.
Kelima, buku tersebut tidak melalui proses pengeditan yang menyeluruh. Entah karena merupakan sebuah proyek yang memiliki keterbatasan waktu sehingga dituntut untuk cepat selesai atau karena faktor lainnya, perlu diakui bahwa buku tersebut tidak diedit secara baik. Hal ini bisa dilihat dari isi buku yang tidak dirunut secara sistematis dan penggunaan tata bahasa yang masih rancu.
Mohammad Sairin, S.Pd., M.A, dosen Sejarah Peradaban Islam Institut Agama Islam Negeri Palu mengungkapkan jika beliau mengapresiasi buku tersebut karena merupakan buku pertama yang bisa dibaca publik secara luas tentang sejarah Bungku, namun pada beberapa aspek buku tersebut perlu direvisi.
“Alm. Pak Syakir berniat untuk merevisi buku itu, keinginanannya adalah menulis dua buku tentang Bungku yaitu kebudayaan Bungku dan sejarah Bungku. Terakhir kali saya ketemu, beliau memanggil saya dan beberapa muridnya yang lain untuk membantunya menulis kembali sejarah Kerajaan Bungku”, ucapnya saat dihubungi oleh Kamputo.com melalui sambungan telepon pada Minggu (4/7).
Beliau juga mengungkapkan bahwa buku tersebut sudah berupaya untuk menghadirkan data-data baru dari Belanda yang pada saat itu belum digunakan oleh sejarawan atau peneliti lokal.
“Penggunaan data-data Belanda cukup luar biasa karena waktu itu akses terhadap sumber masih sulit, bahkan sumber digital/online hampir-hampir belum ada sebagaimana sekarang”, tambahnya.
Memang, menjadi seorang sejarawan tidaklah mudah. Apalagi mengumpulkan puzzle demi puzzle sejarah Tobungku yang selama ini hanya mengandalkan tradisi lisan. Namun, bukan berarti kita tidak bisa merekonstruksi sejarah yang telah lalu. Yang kita butuhkan saat ini adalah hanyalah sifat kritis untuk setiap data yang kita dapatkan, sejauh mana kita mau menelaah sumber data agar bisa dijadikan sebagai sebuah rujukan untuk merekonstruksi sejarah Tobungku di masa lalu.
Oleh karena itu, sudah saatnya Pemda Morowali merevisi buku Sejarah Kerajaan Bungku. Bukan begitu teha ?
Discussion about this post