Mengapa sebagian nama-nama wilayah di Kabupaten Morowali menggunakan kata baho?
Pertanyaan yang sederhana dan mungkin tidak begitu penting bagi separuh dari kita. Namun, ini tentu saja butuh penjelasan saat memang ada alasan dibalik nama-nama itu. Agaknya bagi sebagian orang, pertanyaan itu dianggap menguras pikiran dan tenaga. Untungnya, ketika bertemu teman lama di suatu acara dan membahas sedikit tentang kesejarahan Bungku, ide ini datang secara tiba-tiba layaknya hujan di tengah musim kemarau. Ca ileee …
Lantas, mengapa dan apa alasannya ?
Baho dalam bahasa Bungku berarti air. Pada hakikatnya, pemberian nama kampung (lokasi atau tempat tinggal) orang-orang dahulu didasarkan pada topografi dan landscape daerahnya. Misalnya daerah yang memiliki bentang alam berupa sungai. Orang Betawi menyebut air dengan kata ci, orang Mori koro, orang Kalimantan loa, dan orang Bungku dengan kata baho.
Memang tak dapat dipungkiri, air merupakan sumber kehidupan yang memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup makhluk hidup. Sehingga manusia akan memilih pemukiman di dekat sumber air agar memudahkan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Di Morowali sendiri, setidaknya ada 14 desa yang menggunakan kata baho dan tersebar di lima kecamatan. Di antaranya Bahoruru, Bahomohoni, Bahomoleo, Bahomante (Kecamatan Bungku Tengah), Bahoea reko-reko (Kecamatan Bungku Barat), Bahomotefe, Bahomoahi, Bahopombine (Kecamatan Bungku Timur), Bahonsuai, Bahombelu (Kecamatan Bahonsuai), dan Bahodopi, Bahomakmur (Kecamatan Bahodopi).
Sedikit banyak, tapi yakin saja miano tobungku hanya memasang tampang manyun dengan banyak tanda tanya melayang di atas kepala ketika ditanya “apa artinya dan apa maksudnya?”
Jadi, keseluruhan nama desa di Morowali pada umumnya terdiri atas dua suku kata. Dari beberapa referensi lisan maupun tulisan, kami menemukan beberapa penjelasan sekilas mengenai nama-nama yang unik ini, karena itu, mari sebentar kita berkeliling Morowali hanya lewat usapan ibu jari anda, dari barat sampai ke timur, bisa juga bolak-balik, pokoknya ikut saja kemana tulisan ini membawa anda. ckckcck
Dimulai dari desa Bahoruru (baho; air dan ruru: gemuruh) yang secara harfiah memiliki arti air gemuruh. Walaupun debit air di desa ini sekarang terbilang kecil, namun dulunya berdasarkan penuturan masyarakat sekitar, desa ini memiliki sungai yang aliran airnya deras dan menimbulkan riuh gemuruh. Karena itulah, desa ini kemudian dinamakan Bahoruru.
Berbeda halnya dengan Desa Bahoruru, penamaan Desa Bahomante didasarkan pada airnya yang tidak lagi mengalir. Desa ini merupakan pemekaran dari Desa Lanona yang dulunya memiliki dua anak sungai dengan delta di tengah. Namun, erosi yang terus-menerus terjadi menyebabkan satu anak sungai berhenti mengalir dan hanya menyisakan satu sungai yang sekarang menjadi batas antara Desa Lanonan dan Desa Bahomante.
Ada juga nama desa yang didasarkan pada legenda masyarakat sekitar, semisal Bahomoleo. Kalau diartikan per kata baho;air dan moleo;lurus berarti air yang lurus. Namun, Bahomoleo pada dasarnya memiliki cerita tersendiri. Konon, dulunya sungai di Bahomoleo dihuni oleh sepasang buaya kembar. Buaya ini akan mengganggu dan menyerang siapapun yang bukan berasal dari Desa Bahomoleo jika memiliki niat buruk. Sehingga orang-orang yang bermukim ataupun datang di desa ini harus memiliki niat dan hati yang lurus. Selain itu, juga terdapat desa Bahopombine atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kolono. Seorang laki-laki bernama Pombine yang tak diketahui asal usulnya menemukan sebuah sungai yang sekarang berada di perbatasan antara Desa Geresa dan Kolono. Sungai ini langsung bermuara ke laut. Orang-orang yang bermukim kemudian menamainya Bahopombine (airnya Pombine).
Bahontobungku atau yang memiliki arti airnya orang Bungku (Baho; air dan tobungku: orang Bungku) adalah salah satu desa yang menjadi saksi sejarah kejayaan Kerajaan Bungku di masa lalu. Desa ini dulunya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Bungku setelah dipindahkan dari Desa Lanona sebagai wilayah Kerajaan Bungku pertama. Salah satu mata air yang dikeramatkan oleh Kerajaan Bungku dan sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat sekitar. Berada di seberang jalan raya, mata air ini telah dipagari dan dilindungi oleh pemerintah daerah setempat sebagai aset budaya yang berharga.
Ada juga yang menamai desa berdasarkan warna seperti Desa Bahomohoni (baho ; air dan mokohoni ; kuning) atau air kuning. Walaupun sekarang aliran sungai di Desa Bahomohoni sudah jarang ditemukan namun di beberapa tempat masih tersisa. Dinamakan Bahoea Siumbatu karena pada bagian tenggara sudut desa ini, terdapat sebuah gunung batu. Penamaan gunung sebenarnya kurang tepat, namun karena bongkahan batu tersebut terbilang besar sehingga oleh masyarakat setempat menamainya seperti itu, siu ; sudut dan mbatu/fatu ; batu).
Nama Bahoea juga digunakan oleh desa lainnya yaitu Bahoea reko-reko. Pada tahun 1960-an, terdapat gelombang perpindahan besar orang-orang Lafeu dari Kecamatan Bungku Pesisir ke Kecamatan Bungku Barat. Mereka bermukim pada wilayah yang sebagain kontur dan tekstur tanahnya berlumpur. Sehingga menimbulkan kesan bece dan sehingga dinamai reko-reko. Tak hanya itu, salah satu daerah di Kecamatan Bahodopi, Desa Bahomakmur yang menjadi lokasi perpindahan agaknya tidak memiliki arti khusus seperti desa-desa lainnya. Karena daerah ini merupakan wilayah yang dihuni oleh para transmigran, maka untuk mempertahankan nilai ke-Bungku-an dipilihlan nama tersebut.
Berpindah ke arah timur Morowali, Desa Bahomotefe dan Bahomoahi dibedakan hanya dari perbedaan rasa airnya. Bahomotefe (baho;air dan motefe;tawar) dan Bahomoahi (baho;air dan moahi:asin). Lain lagi dengan Desa Bahodopi (Baho; air dan dopi;papan) yang sekaligus menjadi nama kecamatan. Dinamai Bahodopi karena dulunya wilayah ini ditumbuhi banyak kayu tiro yang dipergunakan oleh masyarakat untuk membuat bangunan rumah. Semakin ke selatan, ada lagi desa Padabaho (pada;bawah dan baho;air), tetapi ini tidak berarti perkampungan ini terletak di bawah permukaan air dalam arti yang sesungguhnya seperti sebuah atlantis hilang yang terletak jauh di bawah samudra,wkwkwk melainkan letak desa ini konon berada di dataran paling rendah, dimana gunung-gunung tempat sumber air berhulu terletak tepat di belakang desa ini.
Pada akhirnya, mari kita kembali ke Morowali sendiri. Sesuai dengan namanya, Morowali berasal dari bahasa Wana memiliki arti gemuruh air karena dulunya Suku Wana (suku pedalaman di Morowali Utara) bermukim di sekitar aliran Sungai Bongka beserta anak-anak sungainya. Sehingga tak heran jika nama-nama desa di Morowali di kemudian hari juga menggunakan nama air walaupun dalam bahasa berbeda. Demikianlah, Morowali begitu dekat dengan air, karena itu sebetulnya orang Morowali itu rajin mandi dan tidak bau sagu…eh…!
Discussion about this post