Sedikitnya ruang kreativitas pada bidang seni dan budaya yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali membuat dua insan muda asal Kecamatan Bungku Tengah memutuskan untuk mendirikan sanggar tari yang mereka beri nama Sanggar All Utari. Ialah Alaudin dan Winda Utari Hamid yang menjadi sosok dibalik berdirinya sanggar yang dibentuk pada 2020 lalu.
Keduanya bukan sosok baru dalam dunia perhelatan seni dan budaya di Morowali. Alaudin yang merupakan mahasiswa pascasarjana di Universitas Muslim Indonesia Makassar memang dikenal karena kemampuan bermusiknya yang mumpuni, terutama pada alat musik tradisional. Pada beberapa kesempatan, lelaki yang akrab disapa Ala ini sering terlibat dalam pagelaran musik baik di tingkat regional maupun nasional. Semasa S1, ia juga aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Seni di kampusnya. Bahkan saat ini, dirinya ditunjuk untuk mengikuti program dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Pembina Budaya Desa di Desa Mbokita, Kec. Menui Kepulauan. Program tersebut mengharuskannya untuk mendata, mengembangkan, dan memanfaatkan potensi budaya di Desa Mbokita bagi kelangsungan dan perkembangan desa tersebut.
Pun dengan Windha Utari Hamid. Mahasiswi pascasarjana program Teknik Industri di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta ini lebih dikenal sebagai Juara 1 Putri Pariwisata Morowali tahun 2012. Padahal perempuan berdarah Menui ini sejak sekolah dasar telah menekuni dunia tari hingga kemudian ia beberapa kali didaulat mewakili Kabupaten Morowali dalam lomba tari yang diselenggarakan baik di tingkat provinsi maupun nasional. Hampir sama dengan Alaudin, saat ini dirinya tengah mengikuti program dari Kemendikbud yaitu GSMS (Gerakan Seniman Masuk Sekolah). Pada September mendatang, dirinya akan mementaskan karya berupa seni tari sebagai output dari program tersebut.
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Kamputo pada Sabtu (10/7), Ala menyatakan bahwa keduanya mendirikan Sanggar All Utari semata-mata dengan tujuan untuk mengangkat, memelihara, dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan daerah demi generasi ke depan.
”Generasi muda sekarang sudah tidak lagi mengetahui kesenian dan kebudayaan daerahnya sendiri. Hal ini sangat memprihatinkan sebab kita seakan sudah tidak memiliki lagi identitas sebagai orang Tobungku. Budaya daerah lain kita gaungkan sedangkan budaya daerah sendiri dilupakan”, tandasnya.
Memang, Sanggar All Utari baru seumur jagung tapi prestasi mereka patut diacungi jempol. Hampir di setiap acara besar yang digelar oleh Pemda Morowali, Sanggar All Utari selalui dilibatkan untuk mengisi acara. Pada acara Musyawarah Adat/Seba Tobungku yang diselenggarakan 28 Juni lalu misalnya, Sanggar All Utari turut berpartisipasi dengan menjadi penampil utama. Selain itu, pada acara penyerahan PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) 28 Maret lalu, Sanggar All Utari juga turut tampil bersama dengan beberapa sanggar untuk menampilkan legenda Mateantina.
Keduanya berpandangan bahwa pengembangan dan pelestarian kebudayaan dan kesenian daerah membutuhkan kerja sama dan sinergitas antar para pemangku kepentingan terutama para pemilik sanggar. Hal ini mereka lakukan agar setiap sanggar memiliki kesempatan untuk menunjukan kreativitasnya. Oleh karena itu, hampir di setiap acara, Sanggar All Utari menggaet beberapa sanggar untuk tampil bersama seperti Sanggar Kontau Laba-laba, Sanggar Mesaraya Karambangan, Sanggar Rabana Nakato, dan Sanggar Tomatabaho. Tak hanya bekerja sama dengan sanggar-sanggar di Morowali, Sanggar All Utari juga pernah terlibat kerja sama dengan Sanggar Seni Katangka Gowa asal Sulawesi Selatan pada acara pernikahan yang digelar di desa Emea, Kec. Witaponda.
“Lupakan penangia-nangia, belajar dalam seni tidak memandang usia dan jabatan. Kita butuh generasi muda yang berani untuk menunjukkan kreativitasnya”, ucap Windha dengan tegas
Discussion about this post