“Kamu ingin berkunjung ke Morowali? siap-siap bawa candle light atau ucapkan bye-bye untuk dunia mayamu”
Jika kamu pernah menonton film susah sinyal yang tayang di awal tahun 2018, kamu tentu akan paham betapa film yang berlatar di Pulau Sumbawa itu memiliki sinyal yang terbatas dengan sistim GSM (Geser Sedikit Mati).
Kondisi macam difilm itu ternyata tak beda jauh dengan apa yang terjadi dibeberapa wilayah di Kabupaten Morowali. Walau jaringan kekinian yang 4G-nya telah ada, tetapi itu hanya mampu menjangkau sekitar wilayah perkotaan saja. Apalagi jumlah satelit telepon yang berdiri hanya beberapa sehingga berefek pada lambat atau kencangnya sinyal yang ada.
Sebabnya jangan heran sewaktu menyambangi wilayah ini, akan berjumpa dengan kondisi sinyal yang sering naik-turun-naik-turun dan juga susah biar cuma sekadar mengakses internet. Karena memang tower yang tersedia sangat sedikit, sedang penggunanya banyakkk.
Kalau kamu seorang pendatang atau mahasiswa yang lagi kuliah di luar Morowali, maka bersiaplah untuk mengganti SIM card yang kamu punya dengan menggunakan jaringan termahal se-Indonesia (tahukan?) ketika sudah menginjakkan kaki di sini. Saya sarankan agar kamu tidak nekat untuk menanyakan ketersediaan jaringan Indosat, XL, atau Axis agar kamu tidak menerima jawaban yang mengecewakan. Supaya kamu tahu kalau jaringan yang ada di Morowali ini cuma satu dan jadi satu-satunya, Telkomsel.
Telkomsel memang satu-satunya sinyal yang tersedia di Morowali, tapi apakah sinyalnya sebagus taglinenya “Makin Indonesia Telkomsel Begitu Dekat dan Begitu Nyata?”. Wah, lagi-lagi kamu harus menerima jawaban yang agak tak mengenakkan: tidak bagus. Nyatanya, pada kondisi di lapangan masih belum meng-Indonesia.
Selain itu, keputusan pihak operator untuk menerapkan tarif yang berbeda-beda berdasarkan 12 zona wilayah di Indonesia juga berakibat pada tarif harga kartu Telkomsel di daerah ini. Intinya, kamu harus menguatkan hati bahwa semuanya seakan baik-baik saja, di mana harga kartu Telkomsel yang 1 gigabite di Morowali hampir sama dengan harga yang 30 gigabite di Makassar.
Saya lalu teringat satu pengalaman. Waktu itu saya diajak oleh seorang sahabat berlibur di Desa A. Salah-dua hal yang membikin saya mengernyitkan dahi, ketika handphone harus diletakkan di pinggiran jendela demi menjangkau jaringan. Agar bisa bermain ria dengan HP maka harus rela menaiki jendela dengan berpegangan pada terali jendela. Sungguh suatu kondisi yang butuh tenaga ekstra karena gelantungan seperti layaknya tarzan.
Solusi lain yang bisa dilakukan, yakni ke dermaga, bukit, atau siap mengerjakan sesuatu yang paling anti-mainstream: panjat pohon kelapa. Untuk tindakan yang terakhir ini, dijamin kamu akan mendapatkan sinyal yang melimpah ruah dan bebas hello-hello tanpa takut jaringan akan terputus. Atau kalau kamu mau, supaya ada bahan yang bisa diunggah ke instagram, kamu bisa berselfi ria atau live streaming pas tepat berada dipuncak pohon. Dengan itu kamu dapat memberitahukan kepada dunia bahwa yang berat itu bukan rindu, tapi sinyal.
Yang juga memilukan tatkala menyambangi sebuah desa yang kabarnya memiliki smelter terbesar se-Asia Tenggara, lokasi di mana nikel diproduksi dan diekspor keluar negeri. Kemudian punya puluhan ribu karyawan dengan penghasilan produksi milyaran per hari. Tahu, tidak? Ternyata sinyalnya itu, Masyaallah, berkedip-kedip macam lampu diskotik begitu. Jangkauan satelitnya hanya menjangkau daerah-daerah tertentu saja. Jika pun ada, pasti lalod alias lambat loading. Bagaimana mungkin daerah yang berada dilingkaran tambang yang maha melimpah tidak diberikan fasilitas komunikasi yang memadai? Apakah ini yang namanya kesehjateraan perusahaan juga kesejahteraan warga?
Terlepas dari masalah sinyal, agaknya hal lainnya yang sedang melanda Morowali saat ini ialah jahiliah jaman now. Pada sebagian pelosok wilayahnya, penduduk desa masih mengandalkan lampu pelita waktu malam hari dan dinner romantisnya menggunakan candle light. Saya jadi bingung, antara pengin terharu atau bangga.
Walaupun telah terdapat tiga stasiun PLTN, nyatanya ini belum mampu menyelesaikan permasalahan asupan listrk di Morowali. Terkadang tanpa diminta, surat cinta dari PLN datang tanpa permisi dengan berisikan kalimat-kalimat puitis yang wagu “Mohon maaf kepada para pelanggan, akan ada pemadaman bergilir”. Biasanya pemadaman listrik berdurasi dari 3 jam di siang hari dan 6 jam di malam hari. Kalau sudah begini, generator dan penjual bensin akan diserbu oleh para pencari listrik yang membutuhkan listrik untuk menunjang aktivitas mereka. Sungguh terlalu!
Well, mungkin julukan Morowali sebagai salah satu daerah di Indonesia yang kekayaan Sumber Daya Alamnya (SDA) melimpah ruah benar adanya. Namun, argumen yang menyebutkan bahwa pembangunan Morowali yang tergolong paling cepat seantero Sulawesi Tengah patut untuk dipertanyakan kembali. Melihat kondisi akses teknologi jaringan komunikasi yang juga belum memadai dan masih sangat memprihatinkan.
Discussion about this post