Rumah-rumah panggung itu terpancang di lautan dangkal. Sebagian beratapkan seng, sebagiannya lagi atapnya terbuat dari dedaunan rumbia. Beberapa terlihat lebih kokoh, dengan pondasi beton. Ada pula serupa keramba yang terapung. Pondasinya berupa drum plastik yang terapung. Dinding papannya telah aus diterpa terik matahari. Tampak anak-anak sedang bermain di depannya, sedang sampan lalu-lalang di belakang rumah mereka.
Antara rumah yang satu dengan rumah lainnya terhubung dengan jembatan kayu. Sebagiannya lagi terpisah. Jika hendak menyeberang, mereka menggunakan sampan kecil yang terparkir di belakang rumah.
Di ujung tepi pantai, di sana sedang duduk seorang pemuda suku Bajo pada sebuah sampan hiasan miliknya. Sembari memandangi sebuah bangunan megah yang berada di pulau seberang yang tepat berhadapan dengan garis pantai tempat perahunya terparkir. Bangunan itu adalah sebuah resort internal milik perusahaan tambang Nikel yang kini sedang beroperasi di wilayah itu. Terlihat dari raut wajahnya, ada sesuatu yang sedang dia renungi tatkala menatap bangunan-bangunan mahamegah itu.
Namanya ialah Madilao, nelayan berusia 28 tahun yang sejak lahir sudah tinggal di dusun Kurisa. Sejak kecil dia telah berprofesi sebagai nelayan yang mengikuti pamannya. Ayah Madilao wafat saat dia masih usia kanak-kanak, 3 tahun. Saat kepergian Ayahnya, ibu Madilao tidak mampu menghidupi keluarga mereka. Madilao lantas dititipkan kepada pamannya. Sejak Madilao tinggal bersama pamannya, ia sudah tidak pernah lagi melihat wajah ibunya. Konon kabarnya, ibu Madilao memilih jadi seorang tenaga kerja Wanita (TKW) di Filipina dan belum kembali atau sekadar memberi berita.
Dari keluarga pamannyalah dia tumbuh dan merasakan cinta kasih sebuah keluarga. Itu dia rasakan sampai Madilao tumbuh dewasa seperti saat ini. Pamannya sangat manyayanginya. Dan dari pamannya pulalah, profesi nelayan itu dia lakoni mulai dari kecil. Madilao menamatkan sekolahnya hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Setelah itu hampir seluruh hidupnya dia pertaruhkan menjadi seorang nelayan mengikuti pamannya.
Sebagai suku Bajo, Madilao dan keluarganya memang sudah terbiasa hidup di tepian pantai, yang tentu saja berprofesi sebagai nelayan. Wajar saja karena nenek moyang mereka telah bertahan hidup selama berabad-abad dengan memanfaatkan sumber daya laut.
Paman Madilao tidak punya anak laki-laki. Madilao lah yang menjadi andalan di keluarga paman Madilao. Apabila pamannya tidak bisa melaut karena kurang sehat, Madilao menggantikannya untuk tetap melaut seorang diri.
Paman Madilao satu dari nelayan dengan predikat sukses di dusun Kurisa. Selain menangkap dan menjual ikan, dia juga memiliki pembudidayaan rumput laut yang cukup luas mengapung di belakang rumah mereka. Kalau musim panen tiba, pamannya menjual hasil rumput laut itu ke makelar-makelar dari perkotaan dengan harga yang relatif murah. Dengan cara seperti itulah paman Madilao menghidupi keluarganya.
Paman Madilao punya 3 anak perempuan. Yang sulung berusia 7 tahun dan sudah duduk di bangku sekolah kelas 2 SD, sedangkan 2-nya lagi masing-masing berusia 1 tahun dan 3 tahun. Keduanya masih hidup bergantung dengan susu formula. Sehingga Madilao dan Pamannya harus tetap melaut dengan gigih untuk bisa membelikan susu dan menyekolahkan anak-anaknya.
Madilao sangat menyenangi profesinya sebagai nelayan. Bagi orang Bajo pada umumnya, menjadi nelayan bukan sekadar profesi belaka, lebih dari itu, menjadi nelayan adalah cara mereka melanjutkan tradisi nenek moyang mereka untuk menghormati laut. Setidaknya itulah yang menjadi falsafah hidup Madilao. Dan orang Bajo begitu menghormati laut.
Saking dekatnya hubungan emosional masyarakat Bajo dengan laut, sampai-sampai muncul tradisi yang akrab disebut mamia kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang saat melaut berdasarkan jangka waktu serta perahu yang digunakannya. Ada tiga kelompok tradisi ini yaitu palilibu, bapongka, dan sasakai.
Palilibu adalah kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang digerakkan dengan dayung. Waktu melautnya hanya dalam satu atau dua hari dan kemudian kembali kepemukiman untuk menjual hasil tangkapan dan sebagiannya lagi dinikmati bersama keluarga.
Bapongka (babangi) adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan berbulan-bulan dengan menggunakan kapal besar berukuran kurang lebih 4×2 meter yang disebut leppa atau sopek. Kegiatan ini sering mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak, bahkan tidak jarang didapati ada yang melahirkan di atas perahu.
Lalu, sasakai, yakni kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah yang sudah lumayan jauh, biasanya antar pulau.
Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut) ada beberapa pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut. Pantangan itu, antara lain dilarang membuang air cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk ke laut serta larangan mencuci alat memasak (wajan) di laut.
Air cucian maupun bahan-bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di darat. Ada pula pantangan memakan daging penyu. Mereka percaya jika itu dilanggar makan akan mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya banyak menolong manusia yang mengalami musibah, karena itu bagi mereka satwa ini tidak boleh dibunuh.
Madilao dan pamannya lebih sering dengan tradisi Palilibu, dikarenakan dusun Kurisa yang mereka diami masih memiliki sumber daya laut yang memadai. Mereka tidak mesti pergi jauh-jauh dan tinggal berlama-lama di lautan lepas untuk menangkap ikan. Bahkan tidak jarang anak-anak suku Bajo yang tinggal di sana hanya memancing ikan dari belakang rumah tanpa harus keluar menggunakan perahu.
Banyak pengalaman yang telah dilalui Madilao bersama Pamannya selama melaut. Pernah suatu ketika, dia bersama pamannya sedang melaut dalam kondisi cuaca buruk. Ketika badai tiba, perahu mereka oleng dihantam gulungan ombak yang lumayan besar. Semakin lama, ombak dan angin semakin kencang menghantam perahu mereka ketika itu. Naas, sial tidak dapat ditolak, perahu itu terbalik bersama tangkapan mereka yang kepalang lenyap ditelan lautan.
Di situ Madilao sangat ketakutan. Kali pertama dia mengalami kejadian seperti itu. Wajahnya pucat. Nyaris kepalanya tertimpa badan perahu.
“Madi… awas!!!” Samar-samar Madilao mendengar teriakan pamannya. Madilao menyelam melindungi dirinya dengan menjauhi badan perahu. Beruntung Pamannya sudah cukup berpengalaman dengan situasi seperti begitu. Pamannya tetap berusaha memegang perahu mereka yang sudah terbalik sembari mengawasi Madilao agar tetap selamat dari maut.
“Paman tidak kenapa?” Sesaat setelah cuaca mulai membaik dan Madilao bersama pamannya sudah sama-sama berpegangan pada badan perahu yang meraka jadikan sebagai pelampung.
“Jangan pusingkan, Paman! Paman baik-baik saja. Kamu bagaimana? ada yang luka?”
Madilao tahu betul kalau pamannya tidak sedang baik-baik saja. Ada darah yang keluar dari pelipis mata pamannya. Tapi, Madilao juga paham kalau pamannya tidak ingin Madilao mencemaskan itu. Makanya dia lebih memilih untuk tidak menanyakan soal itu. “Iye… tidak kenapa-kenapa juga saya, om. Tidak ada juga yang luka”, kata Madilao.
“Jangan takut, Nak. Lautan ini sudah lama menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. Laut tidak akan mencelakakan kita jika bukan dari ulah kita sendiri. Dan, hari ini lautan tidak akan tega untuk menyakiti kita, sebab kita datang untuk mengambil sebagian yang menjadi hak kita yang telah disediakan laut sejak dahulu untuk nenek moyang kita, untuk paman, untuk kamu dan orang-orang selanjutnya. Jangan takut, Nak!”
Madilao hanya bisa tersenyum mendengar kalimat yang terlontar dari Pamannya. Dari situ Madilao mulai memahami bahwa kejadian itu seumpama salam sapa dari lautan buat Madilao sebagai seorang nelayan. Madilao benar-benar telah menjadi seorang nelayan.
Madilao dan pamannya digiring ombak sampai kemudian terdampar di sebuah pulau. Pulau polo’e. Sebuah pulau yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka di dusun Kurisa. Kuatnya badai yang menghantam mengakibatkan perahu mereka rusak total dan tidak bisa ditumpangi. Sehingganya mereka terpaksa menginap di pulau polo’e sampai pagi.
Esok paginya saat mereka bangun, satu-satunya cara untuk pulang yang terpikir ialah dengan mengandalkan kaki dan tangan mereka untuk berenang menuju rumah. Jarakn antara pulau polo’e dengan dusun Kurisa kurang lebih 500 meter. Tidak ada pilihan lain, akhirnya mereka pulang dengan cara berenang sambil mendorong perahu mereka yang rusak untuk kemudian dapat diperbaiki saat tiba di Kurisa.
Pulau polo’e memang sudah dijadikan sebagai tempat perlindungan pertama bagi para nelayan saat badai datang. Tidak jarang nelayan lain mengalami hal yang sama dengan Madilao dan pamannya. Sehingga para nelayan menyebutnya sebagai pulau penyelamat.
***
Seiring berjalannya waktu, kehidupan Madilao dan para nelayan lain berubah drastis setelah kehadiran aktivitas pertambangan nikel di sana. Apalagi perusahaan raksasa asal Tiongkok itu mendirikan pabrik dan pelabuhan yang tidak jauh dari tempat Madilao yaitu dusun Kurisa. Bahkan pulau Polo’e telah disulap menjadi daratan lewat aktivitas reklamasi yang dilakukan oleh perusahaan. Pulau Polo’e kini telah bersambungan langsung dengan daratan yang menjadi pelabuhan mirik perusahaan.
Pasca hadirnya aktivitas tambang ini, penampakan air laut mulai berubah warna menjadi keruh akibat tanah merah pertambangan. Apalagi setelah reklamasi, biota laut yang ada di sana punah dengan sendirinya. Belum lagi limbah perusahaan yang dibuang langsung ke lautan. Ini tentu pukulan telak bagi para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut.
Akibatnya, untuk menangkap ikan para nelayan harus mendayung perahunya ke lepas pantai yang cukup jauh dan melewati kapal-kapal besi berukuran raksasa milik perusahaan yang sedang parkir mematung menunggu terisi tanah hasil tambang yang hendak dibawa ke negeri seberang.
Akibat kurangnya ikan di pesisir pantai Kurisa ini, Madilao dan pamannya berikut juga nelayan lain yang melaut dengan tradisi Palilibu harus mengubah tradisi mereka menjadi tradisi Bapongka. Madilao dan pamannya harus meninggalkan Kurisa dengan membawa perahu mereka selama berhari-hari demi mendapat ikan. Tapi anak dan istri paman Madilao tetap tinggal di rumah menunggu Madilao dan Pamannya pulang.
Hingga peristiwa itu terjadi. Kejadian Nahas menimpa Madilao dan keluarganya. Saat itu paman Madilao menyelam dengan bantuan selang yang terhubung ke kompresor. Di luar dugaan, kompresor yang digunakan mengalami kerusakan ketika paman Madilao sedang dalam posisi menyelam. Satu-satunya alat bantuan untuk pernapasan dalam laut itu rusak total dan tidak berfungsi.
Menyadari akan hal itu, sekuat tenaga Madilao teriak-teriak minta tolong. Saat itu bukan hanya mereka yang sedang melaut di area tersebut. Ada beberapa nelayan lain yang jaraknya masih dalam jangkauan teriakan Madilao. Dan Sewaktu di tarik ke atas perahu dengan bantuan nelayan lainnya, takdir tidak dapat dihindari, paman Madilao sudah tidak bisa tertolong.
Pamannya menghembuskan nafas terakhir tepat ketika tubuhnya berada di atas perahu. Posisi mereka saat itu tengah berada di lautan lepas yang jaraknya berkilo-kilometer dari Kurisa. Madilao sangat terpukul atas kepergian pamannya terlebih lagi istri dan anak-anaknya yang masih berusia belia.
Mulai dari situ Madilao lah yang menggantikan tanggung jawab pamannya. Madilao menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga pamannya. Kini dia harus berjuang sendirian menafkahi keluarga pamannya. Setiap kali pulang dari melaut selama berhari-hari, dia selalu duduk termenung di situ, di atas perahu kesayangannya. Perahu yang baginya mennyimpan banyak kenanangan bersama pamannya.
Perahu yang sedang didudukinya itu merupakan perahu yang pernah digunakannya bersama pamannya saat terdampar di pulau Polo’e. Setelah kejadian badai itu, kerusakan perahu tersebut terlalu parah dan tidak bisa lagi digunakan untuk melaut.
Untuk mengenang kejadian itu, perahu tersebut hanya dipajang di tepi pantai menghadap tepat dengan posisi pulau Polo’e yang kini sudah tak jadi pulau penyelamat bagi para nelayan, melainkan pulau pembawa lara bagi para nelayan. Di tempat itu pula pesan pamannya selalu terngiang dalam kepalanya, “Jangan takut, Nak. Lautan ini sudah lama menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. Laut tidak akan mencelakakan kita jika bukan dari ulah kita sendiri”.
Selamat hari nelayan Indonesia.
*Cerita ini hanyalah fiktif belaka, hanya saja latarbelakang tempat cerita ini dikisahkan adalah benar adanya.
Discussion about this post