Hari ini, 5 Desember 2018, Kabupaten Morowali berulang tahun yang ke-19 tahun. Masih terbilang muda memang, tetapi pertumbuhan dan perkembangan kabupaten yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Poso ini terbilang cukup pesat. Tahun 2016 silam, Bupati Morowali sebelumnya mendapat penghargaan bergengsi dari Presiden RI. Tak tanggung-tanggung, penghargaan Anugerah Dana Rakca diberikan atas pencapaian Morowali sebagai kabupaten berkinerja terbaik dan merupakan satu-satunya di Sulawesi Tengah. Mantul coy!!!
Tak berhenti sampai di situ, Morowali juga dikenal sebagai hidden paradise karena keindahan gugusan pulau-pulau beserta pasir putihnya yang membahana ke penjuru negeri. Pada sektor pertambangan, Morowali dikenal sebagai “lumbung nikel” dengan kualitas numero uno seantero Asia Tenggara. Hal ini menyebabkan banyak investor asing yang tertarik untuk menanamkan modal di wilayah ini. Tak pelak hal ini tentunya akan menambah pundi-pundi pendapatan pribadi daerah.
Berita menggembirakan lainnya adalah, daerah ini dicadangkan sebagai lokasi pembangunan pabrik batterai pertama di Indonesia di tahun 2019 nanti. Yakin saja, Kabupaten Morowali yang dulunya terbelakang akan menjadi daerah industri tersohor di kawasan Indonesia Timur.
Oke, itu dulu perkenalannya. Sekarang mari fokus ke perayaan Ultah Morowali.
Ingat kan iklan Oreo yang digawangi bocah perempuan cerigis bernama Afika dengan jargon terkenalnya: “Afika .. iya … ada yang baru nih … apa?”
Di ulang tahun Morowali kali ini, pemerintah daerah setempat membuat sebuah gebrakan yang pastinya anti mainstream, beda sekali dengan perayaan ulang tahun sebelumnya. Yups, ada yang baru nih!
Perayaan ulang tahun Morowali setiap tahunnya identik dengan kedatangan artis ibu kota yang untuk mendatangkannya butuh biaya yang sangat besar. Kemudian pameran dinas SKPD se-Kabupaten Morowali dan pesta rakyat yang diadakan selama sebulan lamanya. Tahun ini, cukup katakana sayonara karena perayaan yang ada sangat sederhana yaitu upacara bendera disertai karnaval singkat yang seremonial.
Yaa…itu saja, teha.
Saya pribadi sangat terharu dan memberikan applause meriah pada Pemda karena tindakan nekat ini. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan hingar-bingar perayaan ulang tahun pasti akan susupo tingkat tinggi dengan perubahan yang tidak biasa ini. Boleh jadi bagi sebagian orang ini sangat mengecewakan. Namun, Barangkali saja Pemda berpikir daripada menghamburkan banyak uang (red: Morowali lagi defisit), mending uangnya dipakai untuk sesuatu yang bermanfaat.
Nah, berikut beberapa usulan saya untuk merayakan Ultah Morowali yang tentu saja beda dari yang biasanya.
Kawan-kawan sekalian, pernahkah kalian terbesit kalau Morowali itu agaknya merindukan Festival budaya? Kalo pernah terbesit dalam pikiranmu, berarti kita sehati, dan sepemikiran. Hehehe.
Pariwisata Morowali masih begitu terbelakang, ini fakta. Walaupun kaya akan potensi daerah pariwisata, tapi pengelolaan dan pemanfaatannya masih kurang. Ini terbukti dari minimnya sarana pendukung pariwisata seperti hotel/penginapan, restoran, sarana telekomunikasi, dan akses jalan. Padahal, beberapa program di TV Nasional sudah beberapa kali meliput akan ragam budaya dan pariwisata di daerah ini, cuma saja masih belum mampu menarik minat para wisatawan untuk berkunjung. Sehingga, penyelenggaraan event wisata seperti festival budaya sebagai komponen pendukung diharapkan mampu mendatangkan wisatawan.
Selama ini, pengelolaan pariwisata Morowali hanya dikhususkan di Kawasan Pulau Sombori. Nyatanya, sampai sekarangpun, kawasan ini masih belum terkelola dengan baik. Tangan-tangan investor yang masuk malah merusak dan menyebabkan Morowali seakan kehilangan ruhnya. Seperti lagu “Senja di Tanah Anarki” yang dinyanyikan oleh Via Vallen dengan versi dangdut dan kemudian mendapat protes keras dari penyanyi aslinya, Superman Is Dead. Ya, benak kawan-kawan, senja mengundang anarki.
Sampai sini paham maksud saya? intinya promosi yang sering gencar kesana-kemari harus berbarengan dengan tata pengelolaan kawasan wisata yang baik, supaya promosinya tidak sia-sia.
Lanjut lagi, Sissss…
Dewasa sekarang, cerita rakyat dianggap kuno, monoton, dan ketinggalan zaman. Namun, pada hakikatnya cerita rakyat mengandung nilai budi pekerti yang luhur berikut pesan-pesan moral yang mendidik khususnya bagi anak-anak generasi Alpha. Di dalamnya, banyak sifat-sifat positif yang dapat diteladani dan menjadi media pembelajar efektif untuk anak-anak. Misalnya bagaimana cara menghormati dan menghargai orang yang lebih tua, bersikap jujur, mengembangkan sikap gotong royong, mengasihi sesama makhluk, dan menjaga persahabatan.
Gini, gini, gini. Saya mau bilang bahwa Cerita Rakyat itu penting untuk kemudian dilestarikan. Dengan cara apa? Tentu saja menghadirkannya ulang di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita. Maka, membuat semacam kegiatan lomba menulis cerita rakyat, saya pikir itu hal yang begitu keren deh pokoknya. Seriusan.
Lagian, generasi Morowali saat ini boleh dikata mengalami degradasi Moral. Bayangkan saja, menguasai bahasa daerah dianggap memalukan, tidak geol dan lebih parahnya lagi terkadang orang tua mereka sendiri melarang untuk menggunakan bahasa daerah. Pernah dalam suatu waktu, seorang ibu menegur saya ketika berbicara dengan anaknya menggunakan bahasa ibu, dan si ibu lantas menegur “siu bitarakono hai bahasa bungku fainto” (Jangan ajak bicara menggunakan bahasa Bungku).
Seharusnya sebagai madrasah pertama bagi pendidikan anak, orang tua harus mampu memberikan pembelajaran kearifan lokal kepada anak-anak agar mereka mampu menjadi pribadi yang berkarakter, beretika, dan menghargai budaya leluhurnya.
Morowali yang miskin : miskin budaya, miskin literasi, miskin kearifan lokal, dapat menjadi boomerang bagi keberlangsungannya ke depan. Dengan adanya lomba ini diharapkan mampu meng-cover ketiganya. Selain untuk melindungi kekayaan budaya Morowali yang kebanyakan berupa tradisi tutur, lomba ini juga mampu mengembangkan dan meningkatkan kreativitas anak-anak dalam menulis. Siapa tahu, output dari lomba ini bisa dibikinkan sebuah buku. Kan mantap tuh!
Dan, yang terkahir nih. Saya sendiri begitu mendambakan di Morowali ini ada semacam Pameran Peninggalan Sejarah Morowali.
Ini semacam membuat museum mini dengan membawa kembali aset-aset kesejarahan Bungku untuk diperlihatkan kepada khalayak. Hal ini penting dilakukan karena generasi Morowali dewasa ini bahkan tak tahu menahu (atau tidak mau tahu) tentang peninggalan daerahnya sendiri. Miris memang.
Dimulai dari zaman prasejarah, sejarah, kolonial, dan islam yang disusun berdasarkan urutan waktu. Di zaman prasejarah, pemerintah dapat membuat gua tiruan di mana di dalamnya terdapat artefak batu, lukisan gua (rock art), kerang-kerangan sebagai sumber makanan manusia purba. Kesemuanya dapat dijadikan sarana edukasi untuk memperlihatkan bagaimana manusia purba menjalani kehidupannya ribuan tahun silam. Karena pemda kekurangan tinggalan arkeologis, maka Pemda dapat menyiasatinya dengan membuat replika (tiruan) seperti Masjid Tua Bungku ataupun meriam-meriam yang keadaaannya sekarang sudah antah-berantah. Selain itu, media berupa foto juga bisa menjadi alternatif yang bisa digunakan untuk memperlihatkan keadaan Bungku dari masa ke masa.
Demikian beberapa saran kegiatan yang bisa dilakukan oleh Pemda Morowali ke depannya. Walau memang menghibur masyarakat itu menjadi poin utama yang harus diprioritaskan oleh Pemda karena merekalah pemegang kekuasaaan tertinggi. Namun, memberikan yang diinginkan namun tidak dibutuhkan, itu juga perlu menjadi pertimbangan dengan melihat kondisi Morowali sekarang ini, dari kawula muda sampai tetuanya.
Sungguh, kita merasa menjadi masyarakat yang berbudaya namun ketika ditanya “apa rumah adat Morowali?” pasti jawabannya naku toorio alias tidak tahu. Waddduh!!!
Discussion about this post