Di bawah langit penuh asap smelter, tubuh-tubuh Masyarakat Morowali perlahan rusak. Sementara negara memuja pertumbuhan ekonomi, masyarakat membayar dengan penyakit yang sistematis. Di Morowali, pembangunan bukan lagi soal angka-angka, tapi soal siapa yang hidup dan siapa yang dikorbankan.
Kabupaten Morowali di Sulawesi Tengah bukan hanya lokasi geografis, melainkan lokus eksperimentasi pembangunan ekstraktif yang dijalankan atas nama kemajuan. Dahulu dikenal sebagai kawasan agraris dan pesisir yang produktif—dengan ribuan ton hasil pertanian seperti kelapa, padi, kakao, hingga tangkapan laut yang menopang nelayan lokal, hari ini Morowali telah disulap menjadi kompleks industri nikel raksasa. Di atas tanah yang dulu menyuburkan kehidupan, kini berdiri pabrik-pabrik smelter yang membakar batu bara, mencemari udara, dan mengubah tubuh manusia menjadi alat produksi dan tempat buangan limbah industri.
Pada 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) Morowali mencatat pertumbuhan ekonomi menyentuh 20,34% pada 2023. Morowali dijadikan model pembangunan nasional yang diklaim berhasil. Namun pertanyaan pentingnya adalah: siapa yang menikmati pertumbuhan ini, dan siapa yang dikorbankan?
Alih-alih membawa kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi ini justru menyisakan kerusakan ekologis, hilangnya sumber nafkah tradisional, dan meningkatnya beban kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat bawah. Aktivis lingkungan India, Vandana Shiva dalam bukunya “Berdamai Dengan Bumi” mengatakan bahwa dalam logika yang paralel dengan “kelaparan yang direncanakan”, kita menyaksikan kesehatan yang dikorbankan secara sistemik: bukan karena ketiadaan kemampuan negara, tetapi karena pilihan politik untuk memprioritaskan kapital.
Narasi Pembangunan dan Realitas Penjajahan Ekologis
Pembangunan industri di Morowali kerap dibungkus oleh narasi kemandirian ekonomi dan strategi hilirisasi nasional. Dalam berbagai pidato pejabat negara, kawasan industri nikel disebut sebagai “masa depan Indonesia” karena dianggap mampu mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah dan membuka lapangan kerja. Namun narasi ini mengabaikan kenyataan bahwa bentuk pembangunan tersebut secara faktual adalah ekspansi kapital besar yang melibatkan modal asing, kontrol atas tanah berskala luas, dan eksploitasi atas ruang hidup komunitas. Pembangunan semacam ini bukan membebaskan, melainkan mengubah tanah menjadi objek kuasa dan masyarakat menjadi komoditas tenaga kerja yang bisa dipindahtangankan.
Transformasi ruang Morowali bukanlah sekadar perubahan fungsi lahan dari pertanian ke industri, melainkan perubahan struktur relasi kuasa atas ruang. Kehadiran PT IMIP dan perusahaan mitranya membawa model pembangunan yang menyeragamkan fungsi ruang: tanah, laut, dan udara diorientasikan untuk menunjang rantai produksi nikel. Tidak ada ruang untuk kehidupan ekologis yang berkelanjutan dalam logika ekstraksi. Dengan kata lain, pembangunan di Morowali adalah bentuk penjajahan ulang atas alam, di mana sumber daya lokal tidak lagi dikontrol oleh komunitas, tetapi oleh kekuatan modal yang terhubung dengan pasar global.
Data BPS Morowali (2023) menunjukkan bahwa pada 2022 sektor pertambangan tumbuh 17,22%, jauh meninggalkan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang hanya tumbuh 1,81%. Ini mencerminkan proses deagrarianisasi yang drastis: tanah pertanian dialihfungsikan, akses terhadap laut dibatasi oleh kawasan industri, dan nelayan dipaksa beralih profesi karena ekosistem rusak. Kondisi ini tidak bisa dianggap sebagai sekadar “transisi ekonomi”, tetapi sebagai bentuk pemiskinan struktural yang menyingkirkan masyarakat dari basis penghidupannya.
Ironisnya, dalam banyak pernyataan pemerintah, pembangunan industri di Morowali disebut sebagai bentuk pemerataan dan kemajuan daerah tertinggal. Padahal kenyataannya, justru setelah industrialisasi, kesenjangan sosial dan kerentanan ekologis meningkat (Lihat: Ginting et al.,2021; Walhi Sulteng,2025). Pemerintah pusat dan daerah berlomba-lomba memfasilitasi investasi, tetapi abai terhadap kerusakan struktural yang ditimbulkannya: dari hilangnya tutupan lahan hijau, terganggunya siklus air, hingga penggusuran halus terhadap masyarakat lokal.
Dalam kondisi ini, pembangunan bukan alat pemberdayaan, tetapi instrumen dominasi—persis seperti kolonialisme dalam bentuk baru. Lebih dari itu, pembangunan semacam ini juga merampas hak generasi mendatang. Dalam perencanaan industri, tidak ada skema pemulihan ekosistem jangka panjang, tidak ada jaminan atas keberlanjutan ekonomi pasca-tambang, dan tidak ada perlindungan terhadap hak-hak ekologis masyarakat. Proyek ini dibangun untuk kepentingan jangka pendek kapital, bukan jangka panjang komunitas. Dalam perspektif keadilan ekologis, ini adalah pelanggaran intergenerasional: hari ini kita menyaksikan tubuh-tubuh anak-anak terpapar debu nikel, dan besok kita akan menyaksikan tanah-tanah itu tidak bisa ditanami kembali.
Maka, jika kita menyebut pembangunan di Morowali sebagai bentuk “kemajuan”, kita harus bertanya: kemajuan bagi siapa? Bila rakyat kehilangan tanah, air, dan udara bersih, lalu tubuh mereka menjadi korban pencemaran, maka pembangunan yang dipromosikan hanyalah versi baru dari penjajahan. Ini bukan persoalan teknis, melainkan persoalan ideologis: apakah kita ingin membangun yang berpihak pada kehidupan atau yang terus menerus menjadikan alam dan tubuh masyarakat sebagai mesin bagi logika pertumbuhan? Jika kita menormalisasi penjajahan atas alam ini, maka krisis ekologi dan kesehatan akan menjadi warisan abadi bagi generasi berikutnya.
Tubuh yang Terpapar: Penyakit Sebagai Biaya Resmi Pembangunan
Morowali saat ini bukan hanya kawasan industri nikel, tetapi juga zona penyakit. Pada 2024, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah mencatat bahwa dari 305.191 kasus ISPA, 57.190 kasus terjadi di Morowali—angka tertinggi dari seluruh kabupaten/kota. Ini bukan sekadar angka statistik. Ia mencerminkan bagaimana tubuh-tubuh manusia menjadi tempat akumulasi polusi yang dihasilkan oleh aktivitas industri, terutama dari pembakaran batu bara di PLTU kawasan industri, debu dari aktivitas pengolahan logam berat, serta asap dari kendaraan dan truk tambang yang lalu lalang sepanjang waktu.
Penderitaan yang dialami masyarakat bukan akibat dari kelalaian atau ketidaksengajaan, melainkan konsekuensi langsung dari kebijakan pembangunan yang menempatkan kesehatan sebagai biaya eksternal. Kondisi udara di Bahodopi, pusat kawasan industri IMIP, secara empiris berada dalam situasi yang tidak sehat. Hasil studi yang dilakukan Onara dan Sanjaya (2023), menemukan bahwa konsentrasi PM2.5 dan PM10, dua jenis partikel berbahaya bagi paru-paru manusia, berada di atas baku mutu kualitas udara yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan WHO. Hal ini berdampak langsung pada meningkatnya gangguan pernapasan, terutama pada anak-anak dan lansia. Tetapi tidak ada sistem pemantauan kualitas udara yang transparan dan dapat diakses publik secara real-time. Dalam kondisi ini, negara gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung masyarakat. Negara justru menjadi fasilitator pencemaran dengan membiarkan industri beroperasi tanpa pengawasan ketat.
Lebih dari itu, pencemaran tidak hanya terjadi di udara. Limbah industri nikel yang dibuang ke sungai dan laut juga menyebabkan kontaminasi air dengan logam berat seperti merkuri, kromium, dan nikel (Lihat: Walhi Sulteng, 2024). Paparan kronis logam berat ini menyebabkan berbagai penyakit mulai dari kerusakan ginjal, gangguan sistem saraf, iritasi kulit, hingga kanker. Kasus paling mencolok terjadi pada Maret 2025 ketika fasilitas penampungan tailing milik PT Huayue Nickel Cobalt jebol akibat hujan lebat, dan menyebabkan limbah merah mengalir ke Sungai Bahodopi serta membanjiri desa Labota. Setidaknya 341 keluarga terdampak langsung dari bencana ekologis ini.
Penting untuk dipahami bahwa pembangunan yang memproduksi polusi bukanlah kegagalan teknis, melainkan hasil desain kebijakan yang mengabaikan nilai kehidupan. Dalam sistem yang didominasi oleh korporasi dan negara yang lebur dalam logika akumulasi kapital, risiko penyakit dianggap sebagai bagian dari “biaya pembangunan” (Lihat: Christensen, 2017; McKee and Struckler, 2012). Padahal, setiap tubuh yang sakit, setiap anak yang sulit bernapas, setiap keluarga yang kehilangan akses air bersih adalah dampak langsung dari sistem politik dan ekonomi yang menyingkirkan hak atas hidup sehat. Dalam hal ini, penyakit telah menjadi proyek sistematis, bukan sekadar efek.
Kondisi kesehatan masyarakat di Morowali semakin diperparah dengan lemahnya sistem pelayanan kesehatan dasar. Rumah sakit dan puskesmas di Bahodopi tidak dilengkapi dengan fasilitas penanganan penyakit pernapasan akut yang memadai. Tenaga medis sering kewalahan, sementara populasi pendatang terus bertambah seiring perluasan kawasan industri. Ironisnya, perusahaan-perusahaan besar seperti IMIP membangun rumah sakit korporat untuk buruh kontraknya, sementara warga lokal harus antre berjam-jam untuk mendapat pengobatan. Ini memperlihatkan struktur layanan ganda yang memisahkan siapa yang berhak atas kesehatan dan siapa yang harus bertahan hidup dalam tubuh yang tercemar.
Ketika tubuh masyarakat menjadi ladang penderitaan dan kesehatan dianggap sekadar eksternalitas pembangunan, maka yang terjadi bukanlah pembangunan, melainkan proyek penyakit yang dilembagakan. Penyakit yang masif di Morowali adalah penanda kegagalan negara dalam melindungi masyarakat. Tubuh masyarakat yang sakit adalah arsip hidup dari pembangunan yang cacat, dan sekaligus seruan bahwa kesehatan tidak boleh lagi disubordinatkan oleh logika laba. Jika pembangunan terus mengorbankan tubuh-tubuh ini, maka ia bukan membawa kemajuan, tapi memperluas penderitaan.
Produksi Penderitaan yang Terstruktur
Penting untuk mengakui bahwa kerusakan kesehatan dan lingkungan di Morowali bukanlah kejadian yang muncul secara spontan atau tanpa pengetahuan negara. Negara dan korporasi memahami dengan sangat baik bahwa industri ekstraktif, terutama smelter dan tambang nikel, menghasilkan polusi yang membahayakan udara, air, dan tanah. Mereka tahu bahwa populasi akan bertambah, bahwa kebutuhan air bersih akan meningkat, bahwa sistem kesehatan lokal akan terbebani.
Namun semua itu dibiarkan. Ketika negara terus mengeluarkan izin operasi, memperluas kawasan industri, dan mengabaikan peringatan dampak ekologis, maka itu bukanlah kelalaian, melainkan kesengajaan sistematis. Logika pembangunan yang dijalankan tidak lagi berpijak pada prinsip perlindungan masyarakat, melainkan pada penciptaan iklim bisnis yang “ramah modal”. Dalam kerangka ini, tubuh-tubuh manusia—terutama masyarakat lokal dan pekerja tambang—direduksi menjadi sumber daya yang bisa dieksploitasi, dilemahkan, dan dibuang. Mereka tidak lagi dilihat sebagai subjek pembangunan, tetapi sebagai collateral damage yang sah. Inilah bentuk mutakhir dari apa yang Vandana Shiva (2023), sebut sebagai “desain penderitaan”: penderitaan yang tidak terjadi karena kekurangan teknologi atau sumber daya, tapi karena arah kebijakan yang disengaja menyingkirkan kehidupan demi pertumbuhan angka.
Skema hubungan antara negara dan korporasi dalam konteks Morowali menunjukkan pola pengalihan beban sosial dan ekologis dari perusahaan kepada masyarakat. Limbah yang dihasilkan tidak ditanggung oleh korporasi, tetapi oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Sumber air yang tercemar tidak diatasi dengan pembangunan sistem sanitasi publik, melainkan dengan pasokan air dalam galon berbayar. Udara beracun tidak direspons dengan penghentian operasi PLTU batu bara, tetapi dengan program layanan kesehatan gratis berbasis KTP dan berani sehat. Di sinilah degradasi menjadi sesuatu yang direncanakan: ia dibungkus dengan kebijakan atau program yang tampak sah, tetapi sebetulnya melembagakan perampasan hak atas lingkungan dan kesehatan.
Dalam berbagai dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang pernah dikritik oleh akademisi dan LSM, sering ditemukan bahwa evaluasi risiko terhadap kesehatan masyarakat sangat minim, bahkan nyaris absen. Fokus AMDAL hanya pada aspek teknis operasional dan potensi konflik horizontal, sementara isu polusi kronis, kerentanan tubuh perempuan dan anak-anak, serta implikasi jangka panjang terhadap kesehatan mental tidak pernah dianggap penting. Ini membuktikan bahwa tubuh masyarakat tidak pernah benar-benar menjadi pusat perencanaan pembangunan. Mereka hanya dihitung sebagai angka statistik pasif—yang bisa diredam dengan CSR atau pemberian sembako.
Dalam situasi semacam ini, degradasi kesehatan tidak bisa lagi disebut sebagai efek samping atau kecelakaan. Ia adalah bagian dari struktur kekuasaan yang menormalisasi penderitaan. Ketika negara tahu bahwa industri akan merusak paru-paru masyarakat dan tetap melanjutkan proyek tersebut, maka penyakit menjadi bagian dari kebijakan. Ketika kerusakan ekologis dianggap wajar demi pertumbuhan, maka penderitaan masyarakat menjadi bagian dari strategi ekonomi.
Tubuh-tubuh yang sakit di Morowali hari ini adalah bukti bahwa pembangunan bisa menjadi bentuk paling mutakhir dari kekerasan—yang tidak datang dengan senjata, tetapi dengan dokumen izin usaha.
Menuju Pembangunan yang Berpihak pada Kehidupan
Apa yang terjadi di Morowali seharusnya menjadi alarm keras bagi arah pembangunan nasional. Di tengah euforia pertumbuhan ekonomi dan ekspor nikel, kita menyaksikan bagaimana tubuh-tubuh warga dikorbankan dalam diam. Air yang tak bisa diminum, udara yang penuh debu logam, dan anak-anak yang batuk sepanjang malam adalah “biaya” yang dibayar oleh masyarakat agar negara bisa mengklaim keberhasilan industrialisasi. Dalam perspektif Vandana Shiva (2023), pembangunan yang tidak berakar pada keadilan ekologis dan penghormatan terhadap kehidupan bukanlah pembangunan, melainkan bentuk baru dari kekerasan yang dilegalkan.Kita tidak bisa lagi menerima logika bahwa kerusakan adalah harga yang harus dibayar untuk kemajuan. Ketika kerusakan ekologis menjadi struktural, dan penyakit menjadi sistematis, maka pembangunan telah berubah dari alat pembebasan menjadi proyek penderitaan. Sebagaimana “kelaparan yang direncanakan” terjadi karena kebijakan yang mengabaikan distribusi dan akses pangan, maka “penyakit yang direncanakan” di Morowali terjadi karena kebijakan yang menomorduakan kesehatan. Dan ketika negara tahu bahwa smelter dan PLTU batu bara menghasilkan polusi berbahaya tetapi tetap memberi izin, maka negara telah menjadi bagian dari mesin perusak itu sendiri.
Situasi ini menuntut perubahan mendasar dalam cara kita melihat pembangunan. Kita tidak hanya membutuhkan evaluasi teknis, tapi juga refleksi moral dan politik. Apakah pertumbuhan PDRB sebanding dengan tubuh-tubuh yang sakit? Apakah pendapatan daerah bisa menebus kualitas air yang rusak permanen? Jika jawabannya tidak, maka seluruh model pembangunan kita harus ditinjau ulang. Kita membutuhkan paradigma baru yang tidak mengukur kemajuan dengan tonase nikel, tetapi dengan kualitas hidup manusia dan kesehatan ekosistem.
*Penulis adalah Direktur CELYS Think Thank, sebuah pusat studi pembangunan dan kebijakan publik yang berbasis di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Discussion about this post