Sudah hampir dua minggu lamanya umat muslim di seluruh dunia menjalani ibadah puasa di bulan penuh kesakralan untuk melakukan kebajikan, itulah ramadhan. Para pencari Tuhan akan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah-rumah ibadah, tilawah one day one juz, menyambangi panti-panti asuhan untuk berbagi kasih, dan kegiatan peribadatan lainnya yang diharapkan membawa berkah. Saking istimewanya bulan ini, hidayah pun banyak berdatangan, menyebabkan fenomena “hijrah”.
Biasanya nih, mereka yang pada awalnya berpakaian terbuka akan berpakaian lebih tertutup (syari’i). Yang pada awalnya malas-malasan ibadah, akan tekun beribadah. Yang modoko mongka a.k.a keseringan makan harus rela menahan lapar selama belasan jam. Semuanya dilakukan semata-mata untuk mencari Ridho Sang Ilahi. Masha Allah
Namun tetap saja agaknya tidak semua orang bisa merasakan berkah Ramadhan, terutama bagi anak perantauan yang jauh dari keluarga. Salah satunya teman kece saya, Aswan Salapanga. Bang Toyib satu ini memang jarang sekali digoyang, eh maksudnya jarang pulang ketika bulan puasa tiba. Kewajibannya sebagai mahasiswa mengharuskannya untuk tinggal beberapa saat dan pulang hanya ketika lebaran sudah di pelupuk mata. Kalau biasanya untuk membangunkan orang-orang sahur menggunakan suara radio masjid atau tetabuhan gendang, maka cara yang dilakukan Aswan sangatlah anti-mainstream. Ia hanya akan bangun ketika lagu lawas yang menjadi alarm tidur bergema di kosnya. “masak-masak sendiri, cuci baju sendiri …. “. Sepenggal lagu yang filosofis untuk jomblowers seperti dia, bukan? Kuruuu-ee. Hehehe
Anw sahabat kamputo, bicara alarm sahur, saya teringat akan budaya di kampung halaman saya yang masih eksis sampai sekarang. Walaupun dampak negatif dari perkembangan teknologi dewasa ini mematikan banyak kearifan lokal, tapi tampaknya yang satu ini ada pengecualian. Masyarakat setempat menyebutnya ndengu-ndengu, sebuah bangunan yang diperuntukkan untuk membangunkan orang sahur. Konon, ndengu-ndengu telah ada ratusan tahun lalu ketika Kerajaan Bungku masih berkuasa. Keberadaan bangunan ini hanya akan ditemukan ketika bulan puasa, dan agaknya menjadi satu-satunya di Indonesia. Karena statusnya yang spesial dan tidak ditemukan di wilayah lain, tokoh adat yang pernah saya wawancarai ketika masih berstatus anak sekolahan menyebut jika ndengu-ndengu aslinya berasal dari kayangan. Lah, kalau demikian ndengu-ndengu tempatnya bidadari, dong? Entahlah. Hehehe.
Ndengu-ndengu sendiri merupakan sebuah menara yang umumnya berukuran kira-kira 2×3 meter, dengan ketinggian mulai dari 5 meter sampai ada yang 20 meter dengan pondasi dasar berupa empat batang bambu. Biasanya dibangun di halaman masjid ataupun di belakang pemukiman penduduk. Om Einstein pernah bilang jika imajinasi lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan dan agaknya pemuda di kampung saya akan melakukan seperti apa yang disarankan. Mereka akan menghias bangunan menara seganteng mungkin (bukan cantik yah karena yang memainkan ndengu-ndengu adalah laki-laki) melebihi kegantengan mereka. Di sinilah julukan mereka sebagai calon imam diuji, apakah mereka bisa membangun sebuah bangunan atau tidak. Kadang tak ada bantuan dari para lelaki dewasa, semua dilakukan secara gotong royong oleh para pemuda/remaja dengan mengandalkan imajinasi.
Selain itu, bambu yang dibutuhkan membuat ndengu-ndengu terbilang cukup banyak. Bambu itu diperoleh dari kebun. Tak lupa memilih dan menebang batang bambu yang siap pakai, dan kemudian menggotongnya beramai-ramai ke kampung. Sama seperti tradisi “angkat rumah” oleh Suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan, berdiri atau tidaknya sebuah bangunan bergantung pada kekompakan dan kerjasama mereka.
Di dalam bangunan ndengu-ndengu, berbagai instrumen alat musik seperti gendang, gong, dan gamelan juga dipersiapkan. Biasanya nih, jika alat musik seperti itu tidak ada, alhasil peralatan dapur akan digasak tanpa sepengetahuan mama di rumah. Galon, botol kaca, sendok, ember cat, dan baskom yang dipakai menyimpan pakaian, semuanya akan menjadi alat tetabuhan. Entah nantinya rusak atau tidak, itu urusan belakangan, yang penting orang-orang terbangun.
Para remaja juga tidak akan menjadi tukang melego (berkeliaran) ketika malam menjelang. Keberadaan ndengu-ndengu dijadikan markas pertemuan oleh sesama remaja. Selepas tarwih, mereka tidak pulang ke rumah melainkan ke ndengu-ndengu sambil menunggu waktu sahur. Kegiatan seperti medome (main kartu), bernyanyi ria diiringi gitar, susupo (eitz… laki-laki juga bisa bergossip yah), atau sekadar numpang tidur, mereka lakukan itu semalaman suntuk.
Merekalah pahlawan puasa, patut diacungi jempol karena mau puasa kedua kalinya. Maksudnya adalah mereka menahan kantuk dan lelah sampai waktu sahur tiba di saat yang lain sedang berlayar ke pulau kapuk.
Ketika waktu sahur tiba, mereka akan mulai memainkan tetabuhan. Iramanya bervariasi, tergantung dari kemampuan bermusik si pemain. Semakin bervariasi alat musiknya maka alunan musik juga akan semakin bervariasi. Hanya butuh waktu sebentar untuk memainkannya, mungkin sekitar 10-15 menit. Setelahnya, mereka akan kembali ke rumah masing-masing untuk sahur.
Serba-serbi ramadhan di Kampung Tobungku memang selalu menarik untuk ditelisik. Zaman yang semakin modern tak menggerus tradisi yang telah turun-temurun dilakukan sejak dulu. Keberadaan ndengu-ndengu menjadi bukti bahwa Suku Bungku masih menghargai warisan leluhurnya walaupun hanya bersifat sesaat, yakni pada saat bulan puasa saja. Semoga penghargaan musimannya bisa cepat berakhir yah. Karena menghargai warisan leluhur itu harus dilakukan seterusnya dan selamanya. Itulah tradisi di kampung saya ketika bulan puasa.
Ngomong-ngomong nih, gimana yah mereka yang di perantauan, apalagi yang berstatus jomblo, yang ngebangunin siapa? *mikir. Wahaha
Discussion about this post