Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi terletak di sebelah selatan Kabupaten Morowali. Desa ini bersisian langsung dengan kawasan tambang raksasa bernama PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Dalam lima tahun terakhir, desa ini menjadi sasaran yang paling banyak diserbu oleh pendatang baik yang hendak bekerja di perusahaan, maupun yang datang membuka usaha. Jika jam-jam sibuk datang, pagi dan sore, sepanjang Jalan Trans Sulawesi yang membelah kampung ini dipadati kendaraan karyawan yang hendak berangkat dan pulang kerja, sebagaimana lazimnya kota industri.
Jarak Perusahaan dan pemukiman warga hanya selemparan batu orang dewasa. Dengan begitu, dampak lingkungan yang harus ditanggung warganya bukanlah urusan sepele. Satu di antaranya adalah pencemaran udara yang disebabkan oleh debu batu bara.
Sejak pabrik pemurnian (smelter) mulai beroperasi dalam kurun lima tahun terakhir, kebutuhan pasokan energi listrik sejumlah pabrik di kawasan PT IMIP terus bertambah. Saat ini, terdapat empat PLTU dengan total kapasitas sekitar 1830 Megawatt yang digunakan untuk menghidupkan belasan pabrik di kawasan PT IMIP. Dengan kapasitas tersebut, keempat PLTU itu setidaknya memerlukan pembakaran batu bara sekitar 15.000 sampai 17.000 ton setiap harinya.
Karena itu, puluhan tongkang pengangkut batu bara dengan kapasitas 7.000-10.000 ton nyaris setiap hari berlalu lalang dari Kalimantan menuju sandaran pelabuhan (jeti) milik perusahaan. Di pelabuhan tersebut, batu bara kemudian dibongkar, sebagian ditampung di pelabuhan (stok file), sebagian lagi dibiarkan terparkir di lepas pantai Desa Fatufia menunggu penampungan stok file tersedia.
Pembongkaran batu bara yang dilakukan nyaris setiap hari tersebut menimbulkan debu dengan volume yang tidak sedikit. Apabila angin laut bertiup, debu batu bara akan terbawa memasuki pemukiman warga. Sebab itulah, udara segar di Fatufia kini sekadar menjadi sejarah.
Suatu sore, kami mengunjungi rumah salah seorang warga Fatufia yang jaraknya tak kurang dari 500 meter dari kantor PT IMIP. Namanya Nur Hidayah, seorang ibu rumah tangga berusia 32 tahun yang tinggal bersama suami dan dua anaknya. Saat kami datang, pintu dan jendela tertutup rapat.
“Yah harus ditutup rapat, kalau tidak debu yang masuk ke rumah tambah tebal. Jangankan di ruangan begini, di dalam lemari saja yang ditutup rapat masuk juga debu. Sedangkan piring saja biar habis dicuci, kalau mau makan harus dicuci kembali lagi,” ujarnya sambil meminta kami melihat telapak kaki yang menghitam karena tempelan debu.
“Menyapu lantai itu, dalam satu hari lima sampai enam kali, bahkan lebih dari itu”.
Kedua anaknya yang masing-masing berusia 3 tahun dan 10 tahun telah beberapa kali dibawa ke klinik perusahaan untuk diperiksa karena batuk dan sesak nafas. Jika dianggap terlalu parah, mereka akan dirujuk ke Rumah Sakit Daerah (RSUD) Morowali di Kota Bungku yang jaraknya sekitar 64 km atau ditempuh selama 1 jam 30 menit menggunakanan transportasi darat.
“Bukan cuma anak-anak, kami semua, sampai orang tua, saya juga pernah masuk rumah sakit karena batuk, dokter bilang, sasarannya paru-paru karena debu,” ungkapnya.
Ancaman kesehatan yang ditimbulkan oleh debu batu bara dan masuk ke paru-paru akibat terhirup melalui udara bukanlah perkara sepele. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Robert A Cohen dkk berjudul Lung Pathology in Rapidly Progressive Pneumoconiosis yang kemudian diterbitkan dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine pada 2016 menjelaskan bahwa debu batu bara yang komponen utamanya adalah senyawa silika apabila dihirup secara berlebih dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan penyakit pneumokoniosis yang dapat meningkat secara progresif.
Penyakit pneumokoniosis berhubungan dengan gangguan pernapasan yang signifikan, merusak paru-paru, serta dapat menyebabkan kematian dini. Dalam jurnal tersebut, Cohen mengatakan bahwa pencegahan penyakit ini membutuhkan upaya lebih ketat untuk memantau dan mengontrol paparan debu tambang batu bara yang mengandung konsentrasi tinggi silika agar tidak terhirup.
Masyarakat Fatufia telah menghadapi situasi seperti ini setidaknya dalam kurun waktu sekitar lima tahun terakhir. Pada penghujung 2018, pihak perusahaan mulai merencanakan membangun dua PLTU tambahan dengan total kapasitas sekitar 480 Megawatt. Kedua PLTU tersebut saat ini telah dalam tahap finalisasi. Dengan demikian, volume kebutuhan batu bara otomatis akan bertambah.
“Menderita kasian kami di sini. Saran dokter itu menjauh dari kawasan perusahaan, bagaimana mau jauh, rumah kami di situ, memang kami mau tinggal di mana,” sesal Nur Hidaya.
Dalam tiga tahun belakangan ini kata Nur Hidayah, isu relokasi sudah mulai beredar di tengah masyarakat, tetapi hal tersebut masih sebatas wacana dan jika pun benar, pro dan kontra di kalangan masyarakat tentu masih menjadi perkara yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
“Kalau saya tidak setuju. Kami mau pindah ke mana? Masa perusahaan mau pindahkan kami. Saya sudah lahir dan besar di sini, sementara perusahaan itu baru kemarin datang. Tidak semudah itu mau relokasi, mau pindahkan ini kampung. Saya dan keluarga besar yang lain, tidak setuju,” ujarnya.
Nasib serupa juga dialami oleh salah satu tokoh pemuda Fatufia yang tak mau disebutkan namanya. Ia merupakan mantan karyawan PT IMIP yang pernah bekerja selama 7 tahun dan memilih keluar atas permintaan pribadi dengan alasan tidak ingin terikat.
“Saya batuk, cuma belum pernah periksa, gejalanya sering pendek saya bernafas, sesak, rata-rata tetangga di sini juga mengalaminya,” ujarnya.
Anaknya yang baru berusia 3 tahun juga pernah dibawa ke RSUD Kota Bungku karena batuk dan demam. “Saya disarankan oleh dokter, untuk menggunakan masker baik di dalam maupun di luar rumah, tapi susah juga kami ini tidak biasa pake masker kalau beraktivitas, apalagi anak kecil,” katanya.
Menurut keterangan dari dia, pihak perusahaan sebelumnya pernah membuat kesepakatan dengan masyarakat untuk melakukan check-up rutin di kantor Desa Fatufia dalam jangka waktu tertentu. Tim medis dari perusahaan akan datang sesuai jadwal tertentu di kantor desa untuk memeriksa kondisi kesehatan masyarakat.
“Tapi sampai saat ini kan tidak ada, sama sekali tidak pernah. Itupun kalau kami ke klinik, tidak diprioritaskan, harus antri sampai jam 12 malam biasanya,” kata dia.
Hari Jumat di penghujung Agustus 2019, kami berkunjung ke kantor PT IMIP untuk meminta tanggapan terkait debu batu bara di Desa Fatufia. Setelah janjian dan mengatur jadwal yang cukup rumit, kami akhirnya diterima oleh Koordinator Humas PT IMIP Thomas, Deni Bintoro di kantornya.
Pria asal Bandung itu antusias menjelaskan beberapa penanganan yang sudah dilakukan oleh pihak perusahaan dalam mencegah terjadinya paparan debu batu bara kepada masyarakat. Salah satunya adalah menggunakan dinding penghalang berwarna biru setinggi 20 meter yang mengelilingi kawasan pelabuhan jeti. Dinding tersebut diberi lubang berukuran 3 sentimeter yang diperkirakan dapat mengarahkan debu agar tidak terbawa angin terlalu jauh.
Selain itu, pihak perusahaan juga sedang melakukan penambahan beberapa alternatif lain yaitu pipa penyiraman air secara kontinu di dekat dinding penghalang agar debu yang menempel di dinding akan langsung disirami air. Kemudian penggunaan bahan kimia untuk menyirami tumpukan batu bara, bahan kimia tersebut dapat membuat batu bara mengeras.
“Beberapa tambahan penanganan ini masih sedang direncanakan, target selesainya belum bisa saya pastikan,” kata Deni.
Meski begitu, Deni mengakui bahwa untuk menghilangkan debu bata bara adalah perkara yang mustahil dilakukan, yang bisa dilakukan hanyalah alternatif yang bersifat mengurangi volume debu.
“Jadi sulitnya adalah, memang tempat ini (Kawasan Penampungan Batu Bara) sudah begitu berdekatan dengan masyarakat, sudah tidak bisa diantisipasi lagi, artinya kami juga tidak akan pernah bisa menghilangkan seratus persen, saya sudah bilang tidak bakal bisa. Kami hanya mencoba mengurangi dan di waktu-waktu tertentu saja,” ujarnya.
Ditanya soal dampak kesehatan, “kalau masalah kesehatan pasti ada pengaruhnya. Tapi kami harapkan ini tidak berdampak begitu signifikan lah kepada masyarakat, kemarin kan sudah ada perjanjiannya, jadi klinik itu bisa dipakai,” kata Deni
Pihak perusahaan kata Deni, sudah pernah menawarkan alternatif untuk melakukan relokasi jika memang masyarakat mau terhindar secara total dari paparan debu batu bara, tetapi dua kendala besarnya adalah pertama pro dan kontra di kalangan masyarakat, kedua adalah besaran biaya ganti rugi yang dianggap kurang relevan.
“Kalau Fatufia ini tidak ingin terkena debu, itu sudah tidak mungkin, jalan satu-satunya adalah relokasi. Kami sudah pernah menawarkan ini, saat itu, satu rumah minta Rp 1-3 miliar, yah tidak bisa. Seandainya nilainya itu sesuai, kami akan bantu untuk relokasi, kami bisa carikan tanah di suatu tempat nanti kerjasama dengan pemerintah kabupaten untuk buat pemukiman di sana, kemudian pindah,” ujar Deni.
Relokasi dianggap sebagai jalan buntu untuk menghindarkan masyarakat Fatufia dari paparan debu batu bara. Masyarakat tentu masih banyak berbeda pendapat tentang alternatif ini. Sementara di saat yang sama, pabrik perusahaan akan terus jalan dengan pasokan energi batu bara yang akan selalu bertambah.
Modal yang mengalir di PT IMIP merupakan investasi raksasa milik swasta yang dibekingi langsung oleh negara. Sejak tahun 2016, kawasan industri nikel ini sudah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional melalui Peraturan Presiden No. 3/2016. Sehingga perkara yang ditimbulkannya tak hanya melibatkan satu atau lebih pihak swasta, melainkan institusi negara juga tegap berada di belakangnya.
Jika sudah demikian, bagaimana nasib penduduk Desa Fatufia yang tinggal di titik terujung sebelah Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah dan 2.444 kilometer dari gedung pemangku kebijakan yang ada di Ibukota Negara ? Masih dipandangkah mereka sebagai bagian dari warga negara yang memerlukan udara segar untuk sekadar bernafas?
Salah satu anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Fatufia Muhyar mengatakan Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sebetulnya sudah pernah melakukan pemeriksaan pencemaran udara di Fatufia pada September 2019, dan hasilnya positif tidak sesuai dengan standar Amdal yang sebelumnya ditetapkan. Hanya saja, pihak pemerintah daerah dianggapnya tak memiliki kekuatan besar untuk melakukan intervensi kepada pihak perusahaan.
“Mereka (DLH) bilang, nanti ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya,” kata Muhyar.
Reporter: Moh Said Mashur dan Baso Anjasman
Discussion about this post