Menonton Spongebob Squarepants setiap pagi merupakan suatu rutinitas yang boleh dibilang hukumnya itu fardu a’in bagi saya. Betapa tidak, kartun itu sedikit ampuh untuk mengobati lara saya karena pernah gagal jadi seorang mahasiswa kelautan (ciee… yang gagal move on).
Dalam keadaan beke (red: tahi mata) yang belum sempat terbasuh air, saya sudah diam mematung di depan layar TV menyaksikan kehidupan Bikini Bottom yang sempurna: kedamaian dan keributan.
Dari beberapa tokoh yang ada, saya paling suka sama anaknya Mr. Krab, Karl Pearl. Dia seekor hiu muda yang cantik lagi ceria. Kalau kebanyakan hiu di lautan sana dikenal ganas, maka Karl Pearl tidaklah demikian. Dia sangat baik kepada warga Bikini Bottom.
Oh ya, ngomong-ngomong bicara soal Karl Pear saya lantas teringat dengan hiu paus bernama Luna yang beberapa waktu lalu nongol di Kawasan Konservasi Pulau Sombori, Morowali.
Februari silam, seekor whaleshark muda (hiu tutul), yang kemudian diberi nama Luna, ditemukan terdampar di laguna Kawasan Konservasi Pulau Sombori. Kemunculan hewan ini menjadi perhatian banyak orang untuk kepo dan susupo, mengingat perairan Morowali memang jarang disinggahi spesies-spesies langka.
Seolah mendapat jackpot, whaleshark ini menjadi buah bibir masyarakat. Di media sosial banyak digaungkan usaha untuk penyelamatan agar hewan ini bisa kembali ke lautan lepas sebagai habitat aslinya. Alhasil, stakeholder terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali dibantu beberapa orang non-dinas memutuskan untuk menjalankan misi penyelamatan.
Tapi sayang seribu sayang, misi tersebut ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa kendala seperti kondisi air laut pasang-surut yang dihadapi nyaris menyurutkan niat para rescuer. Kondisi air pasang untuk membantu melepas whaleshark hanya terjadi diwaktu subuh. Untuk meminimalisir bahaya, misi pertama harus rela pulang dengan tangan kosong. Selang beberapa waktu, misi tersebut kemudian dialihkan ke BPSPL Makassar.
Belum berhasilnya misi penyelamatan pertama, membuat maha-netizen saling lempar argumen agar pemerintah daerah bisa secepatnya menyelesaikan misi penyelamatan. Tak pelak, mulai bermunculan para ‘pahlawan’ yang terbangun dari tidur siangnya yang lelap.
Bersama spanduk yang bertajuk “Eskpedisi Penyelamatan Whaleshark”, dimulailah misi penyelamatan. Dan konon, usut punya usut misi kedua ini tanpa koordinasi langsung ke dinas terkait yang memang punya kapabilitas untuk itu. Entah apa alasannya, yang jelas sempat tersiar kalau lagu “Kecewa” milik Bunga Citra Lestari jadi andalan di kantor BSPL Makassar yang waktu itu batal untuk berangkat ke Morowali. Kolarooo… (kasian) 😀
Guess what? aksi penyelamatan kedua yang dilakukan oleh para ‘pahlawan’ tersebut ternyata berhasil dan sekaligus, ini informasi paling penting, mendapatkan piagam penghargaan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Ya, kamu tidak salah baca… penghargaan dari Ka-pol-ri.
Mereka dianggap berjasa karena turut menyelamatkan spesies langka yang terancam punah. Dan bukan seperti penghargaan biasa, piagam yang mereka dapatkan berupa gelar tanda jasa. Tanda jasa ya, bukan tanpa tanda jasa. Masing-masing dari mereka yang terlibat dalam tim penyelamatan dapat penghargaan
Sedikit bocoran info, tanda jasa merupakan penghargaan Negara yang diberikan Presiden kepada seseorang yang berjasa dan berprestasi luar biasa dalam mengembangkan dan memajukan suatu bidang tertentu yang bermanfaat besar bagi Bangsa dan Negara.
Hiu paus yang bernama latin Rhincodon typus atau lazim dikenal dengan sebutan whaleshark berstatus konservasi rentan (vulnerable). Populasinya yang semakin menurun karena perburuan manusia memaksa para konservator yang benar-benar fokus pada penyelamatan populasi hiu bergerak cepat mengambil tindakan.
Tapi, menyelamatkan paus tak hanya sekadar membantunya kembali ke lautan lepas. Itulah mengapa setiap ada hiu paus terdampar, pihak konservator harus turut ambil bagian. Penyelamatan harus berbasis perekaman data tentang ukuran, jenis, tingkah laku, dan foto ID untuk kemudian dilaporkan secara ilmiah.
Nah, soal per-misi-an penyelamatan seperti yang dilalukan pada si Luna, kejadian serupa-tapi-tak-sama (karena memang ada bedanya) juga terjadi dibeberapa belahan bumi Indonesia lainnya.
Saya ingat akan kejadian lima tahun lalu. ada seekor whaleshark berukuran panjang delapan meter dan berat dua ton ditemukan terdampar pada pukul 16.00 WITA di perairan Pantai Dulupi, Gorontalo.
Nelayan yang melihat kemalangan whaleshark itu lantas berupaya menyelamatkan hiu tersebut dengan mengikat ekor hiu dan menariknya ke bibir pantai menggunakan katinting. Sontak saja kejadian tersebut mengundang penasaran warga yang ingin melihat secara langsung. Bukan cuma jadi penonton, beberapa warga turut serta membantu misi penyelamatan tersebut. Meski butuh waktu yang lumayan lama, hiu merana itu akhirnya berhasil diselamatkan keesokan paginya.
Hal lain yang tak kalah heroik juga terjadi di Ambon, Maluku. Beredar video yang viral di media sosial yang memperlihatkan seokor hiu yang terdampar, tetapi banyak warga malah menaiki punggungnya layaknya seperti kuda. Sontak hal tersebut banyak mengundang berbagai kecaman dari netizen. Dan salah seorang turis Rusia yang sempat menyaksikan video tersebut, sebagai bentuk kepeduliannya ia lantas membeli hiu paus tersebut senilai 1 juta rupiah. Tapi bukan untuk dipepes, melainkan melepasnya kembali ke lautan.
Bukan hanya itu saja. Sebetulnya masih banyak lagi di luar sana nelayan yang rela pukatnya rusak, melepas ikan hasil tangkapannya atau menjadikan ikan hasil tangkapan untuk makanan si hiu sebelum dilepas kembali ke lautan apabila tidak sengaja terperangkap jaring atau kail. Hanya saja kebetulan tidak sempat viral dan netizen tidak menyaksikan.
Hiu paus yang merupakan spesies dilindungi yang kedudukannya sama dengan tuturuga alias penyu. Rasanya tak terhitung lagi jumlah aksi penyelamatan yang banyak dilakukan oleh para lembaga konservator ataupun nelayan yang ingin menjaga habitat kedua spesies langka tersebut.
Di Minahasa Utara contohnya, jaring nelayan yang seharga puluhan juta robek, konsekuensinya ikan hasil tangkapan selama beberapa hari harus rela terbuang percuma hanya demi menyelamatkan seekor penyu belimbing tersebut.
Oke, seperti yang saya katakan di atas tadi bahwa beberapa kejadian penyelamatan yang dilakukan oleh konservator dan sebagian nelayan dibeberapa daerah tersebut punya kejadian yang serupa-tapi-tak-sama dengan aksi penyelamatan si Luna di Sombori.
Samanya, adalah sama-sama aksi penyelamatan. Tak samanya, ada yang dapat penghargaan tanda jasa, ada juga yang dapat penghargaan, tapi penghargaan ucapan terima kasih. Barangkali yang dapat ‘terima kasih’ ini tidak terhitung sebagai penyelamat, tapi hanya penyemangat saja. Mungkin saja, kan? Apa tidak mungkin lah yang dapat ‘Tanda jasa’ itu dianggap sebagai penyemangat saja. Kalau begitu kan terbalik… ya, tho?!
Yang jelasnya, penghargaan tanda jasa dari sebuah institusi resmi punya nilai yang sama dengan (sebatas) ucapan terima kasih dihadapan para koloni whaleshark maupun penyu. Tapi, apakah hal itu juga akan sama nilainya dihadapan para netizen maha-menyaksiksan?
Discussion about this post