Kontestasi politik lima tahunan tinggal menghitung hari. Di tengah pro-kontra pelaksanaan pemilu di masa pandemi Covid-19, para elit politik yang konon adalah perpanjangan tangan dari rakyat tetap keukeuh melaksanakan pemilu serentak. Awalnya pemilu serentak dijadwalkan berlangsung pada September, namun kemudian diundur pada 9 Desember 2020 akibat pandemi yang melanda dunia sejak 10 bulan terakhir ini.
Pemilu yang digelar secara serentak dilakukan di daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Pemilu tahun ini merupakan kali ketiga dilakukan dengan jumlah daerah yang mengikuti pemilu sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sulawesi Tengah adalah satu di antara daerah yang mengikuti pemilu serentak yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Sama seperti daerah-daerah lain di Indonesia yang menyambut suka cita pemilu, di Sulawesi Tengah pun demikian. Euforia pilgub Sulteng sejak beberapa bulan terakhir sudah mulai terasa. Di sudut-sudut jalan hingga pelosok setiap kampung di Sulawesi Tengah, baliho bakal calon terpampang dengan gagah disertai jargon dan visi-misi mereka.
Di Kecamatan Bahodopi misalnya, gambar para bakal calon (balon) telah meramaikan pinggiran jalan mulai dari Desa Lele hingga Bete-bete sejak awal tahun. Mereka (red: balon) yang merasa punya kedekatan emosional kepada Masyarakat Morowali telah lama memasang baliho sebagai bentuk perkenalan awal, seraya memberi sinyal bahwa figur jagoan mereka akan ikut serta dalam kontestasi pilgub mendatang.
Beberapa partai politik pun mulai berbenah diri. Mulai dari merombak kepengurusan dari tingkat daerah kabupaten hingga desa dengan tujuan melakukan penyegaran di internal partai. Selain itu, mereka juga berharap akan ada semangat baru dalam kerja-kerja politik mendatang. Strategi pemenangan pun mulai disusun agar kader yang diusung dapat memenangkan kontestasi pilgub.
Namun di balik itu semua, ada pertanyaan krusial yang sering kali dilupakan atau sengaja dilupakan oleh awam yaitu “Masihkah kita percaya pada elit politik?”
Pemilu di Indonesia
Sedikit bercerita tentang sistem dan pola pemilu di Indonesia. Tak lama setelah rezim Orde Baru yang otoriter berakhir pada Mei 1998, sistem kepartaian Indonesia memasuki era baru. Sebelum keran reformasi dibuka, partai politik dibatasi hanya tiga saja yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Golongan Karya (Golkar).
Setelah reformasi, partai baru bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan. Akibatnya, muncul sistem multipartai yang sangat kompetitif bersamaan dengan diperkenalkannya pemilu multilevel dari pemilihan legislatif hingga presiden dan wakil presiden secara langsung.
Sejak gelombang demokratisasi melanda dunia pada tahun 1970, pemilihan umum telah menjadi hal baru dalam sistem politik. Lebih dari 90% negara di dunia memilih pemimpinnya secara langsung dengan sistem multipartai yang kompetitif.
Namun karena banyaknya rezim demokrasi elektoral yang lahir secara prematur, maka penyelenggaraan pemilu pun dilakukan ala kadarnya saja, yaitu sekadar memenuhi standar minimal demokrasi elektoral. Akibatnya, kontestasi elektoral yang diselenggarakan oleh negara tidak mampu meningkatkan kualiatas pemilu, terutama dalam menjamin prinsip pemilu yang jujur, bebas dan adil.
Tak hanya itu, diferensiasi ideologi antar partai politik juga tidak terlalu kentara. Akibatnya, pemilih sering kali tidak dapat membedakan “jenis kelamin” partai politik berdasarkan posisi kebijakan atau platformnya. Sistem pemilu yang lebih menitikberatkan peran calon legislatif (candidate-centred) di mana pemilih dapat memilih kandidat tanpa perduli partainya. Dalam sistem pemilu semacam ini, para calon legislatif (caleg) “dipaksa” menghasilkan personal vote dan melakukan strategi kampanye yang mengutamakan ketokohannya daripada kampanye berbasis partai (party ID).
Politik Uang Jadi Alternatif
Tentu saja, sistem semacam ini memiliki alur yang mudah ditebak yaitu para caleg terperangkap dalam lingkaran setan politik uang. Mereka rela melakukan segala macam cara agar lebih menonjol dibandingkan dengan pesaing internal dari dalam partai sendiri.
Pasca reformasi, Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah perjalanannya. Sistem orde baru yang terbilang otoriter dengan berbagai macam pembatas di dalamnya kini berubah menjadi sistem demokrasi dengan berbagai kebebasan yang ditawarkannya. Kondisi ini mengubah wajah Indonesia secara menyeluruh termasuk wajah perpolitikan bangsa, mulai dari sistem multipartai sampai pada pemilihan yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpinnya.
Ironisnya, alih-alih mengurangi politik uang, fase transisi dari rezim Orde Baru otoriter ke Reformasi justru mendorong maraknya praktik-praktik non-demokrasi. Singkat kata, gelombang besar perubahan desain kelembagaan politik sejak 1998 telah menciptakan lebih banyak ruang bagi strategi klientelistik atau politik uang.
Praktik klientelistik elektoral yang busuk ini sejatinya sudah harus mulai dihilangkan secara perlahan di Indonesia, karena praktik jual beli suara dalam setiap pemilu hanya akan merusak dan mencederai sistem demokrasi bangsa. Mereka yang senang menduduki kursi kekuasaan di negeri ini akan selalu melakukan cara apapun termasuk praktik jual beli suara di setiap kontestasi elektoral.
Jika praktek jual beli suara dalam setiap pemilihan terus terjadi, maka proses penyelenggaran negara dari tingkat atas sampai bawah termasuk fungsi kontrol dari para wakil rakyat pun tidak akan berjalan normal.
Kebanyakan dari mereka yang ikut terlibat dalam praktik politik uang pada saat pemilu lebih banyak memfokuskan diri pada bagaimana cara untuk mengembalikan dana yang telah mereka habiskan pada saat pembelian suara. Maka bukan hal yang perlu dipertanyakan lagi mengapa praktik korupsi masih sangat kental dan massif dilakukan di negeri ini.
Bonus demokrasi 2045 menjadi cikal bakal masa keemasan bangsa Indonesia. Kita, generasi muda penerus bangsa harus bisa melek politik. Tidak hanya sekadar melek saja tetapi juga harus betul-betul paham bagaimana memperlakukan politik. Menghindari praktik politik uang dalam tiap kontestasi politik elektoral negeri ini adalah salah satu jalan menuju kejayaan bangsa.
Peran pemerintah dan seluruh elemen untuk terus mengkampanyekan tentang haramnya terlibat pada politik uang. Pemerintah tidak hanya sekadar mengimbau masyarakat untuk tidak terlibat dan terjebak pada politik uang, tetap juga harus memberi edukasi tentang prinsip politik yang baik dan benar dengan memberi teladan dan contoh yang baik.
Kontestasi elektoral Gubernur Sulawesi Tengah adalah jalan pintas menuju Sulawesi Tengah yang maju dan sejahtera. Banyak harapan dan mimpi besar yang dititipkan oleh masyarakat Sulteng dari penyelenggaran pilgub tahun ini.
Pemilihan yang sisa menghitung hari ini, mari kita sama-sama sukseskan dengan prinsip pemilu yang jujur, bebas, adil, dan jauh dari praktik politik uang. Semua orang seyogyanya sudah harus lebih cerdas dalam memilih pemimpin. Tidak hanya dilihat dari segi kedekatan emosional, latar belakang suku, agama, apalagi hanya sekadar melihat paslon yang memiliki banyak doi (uang).
Inilah saatnya kita menentukan arah Sulawesi Tengah ke depan. Kita harus memilih pemimpin yang dapat memberikan garansi kesejahteraan bukan untuk lingkaran oligarki kekuasaan mereka, tetapi untuk masyarakat Sulteng secara keseluruhan.
Program para calon juga penting untuk dijadikan salah satu pertimbangan. Lihatlah visi-misi calon yang relevan dengan kehidupan saat ini yaitu mereka yang mampu mengatasi persoalan sosial dan ekonomi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai ini.
Sekali lagi, mari memilih pemimpin yang benar-benar baik secara akhlak dan perilaku, punya track record, dan tidak banyak bija sehingga dapat membawa Sulteng maju dan sejahtera ke depannya.
Discussion about this post